Dokumenter Angka Jadi Suara diproduksi oleh Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) setelah pada 2012 lalu mendapat lokakarya produksi film oleh Partisipasi Indonesia. Film dokumenter ini memperlihatkan realitas kehidupan buruh yang perlu diketahui khalayak, yang kemudian perlu diperjuangkan, tetapi juga selama ini jauh dari atensi masyarakat: pelecehan seksual terhadap buruh perempuan. Sebuah tindakan amoral—sebuah kejahatan sunyi.
Produksi film ini dimulai pada 2016, di tengah kepadatan aktivitas keseharian buruh FBLP. Pembuatan film ini dilatarbelakangi oleh kejadian di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung. Kawasan ini menampung sekitar 45 pabrik dengan total buruh mencapai 50.000 orang yang mayoritasnya perempuan.
Judul: Angka Jadi Suara
Produser: Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP)
Sutradara: Dian Septi Trisnanti (Sekjend FBLP)
Penata kamera: Ari Widiastri (Ketua Bidang Multimedia FBLP), Kurniati (Bendahara FBLP)
Penyunting: Manik Wijil Sadmoko (Ketua Bidang Litbang FBLP)
Durasi: 22 menit
Tahun: 2017
Riset yang dilakukan selama dua bulan mulai dari September hingga Oktober 2016 menunjukkan, terdapat 25 kasus pelecehan seksual di 15 pabrik KBN Cakung. Bentuk pelecehan seksualnya pun beragam, mulai dari catcalling, mencolek-colek bagian tubuh seperti pantat dan payudara, hingga memeluk dan mencium dengan sembrono di tempat umum.
Judul film ‘Angka Jadi Suara’ merepresentasikan makna bahwa angka atau data terkait korban pelecehan seksual semestinya tidak berhenti menjadi data statistik saja; melainkan mampu menjadi modal untuk membawa kasus tersebut naik ke permukaan, menyuarakan ketertindasan, menggerakkan hati khalayak, dan bersama melawan kekerasan seksual terhadap perempuan.
Sebab, apabila menilik realitasnya, persoalan kekerasan berbasis gender di tempat kerja semacam itu dinomorsekiankan oleh masyarakat. Isu pelecehan seksual di tempat kerja masih kalah seksi dibanding isu upah buruh, meski keduanya sama-sama penting. Maka, produser berharap film ini bisa menjadi media kampanye untuk memberantas praktik pelecehan seksual terhadap buruh perempuan.
Dapat diyakini bahwa bertahan di kawasan pabrik semacam itu bukan hal yang mudah bagi perempuan. Saking masifnya aktivitas pelecehan seksual dalam ranah kerja tersebut, posisi perempuan dianggap remeh dan sebegitu lemahnya. Tidak berkutik ketika mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Seperti kata seorang buruh korban pelecehan seksual, “Rasanya menyakitkan, saya nggak tahu apa-apa, orang awam. Ngomong ke siapa? Saya tuh malu, takut disalahin, karena saat kejadian terjadi, saya nggak bisa berbuat apa-apa, benar-benar nggak berdaya.”
Proses produksi film pun sempat diberhentikan selama dua jam sebab terdapat korban yang menangis dan ragu untuk melanjutkan. Ini membuktikan bahwa keberanian untuk berbicara di hadapan publik masih tipis sekali.
Perasaan takut disalahkan bagi korban pelecehan seksual menunjukkan masih kentalnya kebiasaan victim blaming (menyalahkan korban) dalam masyarakat kita. Lingkungan yang tidak mendukung itu justru menekan korban sehingga banyak yang lebih memilih untuk bungkam. Pun pelaku pelecehan seksual ini tidak hanya dari kalangan tertentu saja, melainkan beragam; mulai dari satpam, mekanik, hingga bos di tempat kerja tersebut.
Masih ingat kasus Yuyun, siswi SMP berusia 14 tahun yang tewas diperkosa oleh 14 pemuda? Dalam kasus tersebut, bahkan Ketua Komisi VIII DPR, Saleh P. Daulay menyalahkan korban karena berjalan sendirian melewati kebun-kebun. Seolah mewajarkan bahwa pemerkosaan yang berujung kematian adalah ganjaran setara karena melewati daerah kebun-kebun seorang diri. Berkaca dari itu, wajar banyak korban pelecehan seksual berpikir lebih dari sekali untuk melaporkan kasusnya.
Kondisi macam ini tidak lepas dari kuatnya patriarki di masyarakat kita. Sistem patriarki yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki, khususnya dalam ranah seksualitas, telah menciptakan ketimpangan kuasa dan stigma. Laki-laki dianggap membutuhkan seksualitas, sedangkan perempuan tidak. Karenanya, perempuan cenderung dianggap sebagai pemuas kebutuhan seksualitas laki-laki, dan tidak sebaliknya. Dari sinilah muncul argumen menggelikan macam, “Wajar dong, laki-laki kan memang nafsunya tinggi. Jadi para perempuan kalau tidak mau dilecehkan, ya, jangan memancing!”
Alih-alih mengoptimalkan akal sehat untuk mengendalikan nafsu dan emosinya, laki-laki macam tadi lebih memilih menyudutkan perempuan karena penampilan fisiknya. Alih-alih introspeksi diri mengapa tidak bisa mengontrol hasratnya, laki-laki macam itu lebih memilih menyalahkan perempuan karena melewati daerah rawan kriminal. Bagaimanapun kondisinya, apakah perbuatan melecehkan dapat dibenarkan?
Ramai-ramai menghakimi dan mengutuki korban pelecehan seksual sama dengan membiarkan pelaku pelecehan seksual menggandakan dirinya. Khalayak seolah-seolah membenarkan perilaku pelecehan seksual. Sanksi sosial yang semestinya ditimpakan pada pelaku rasa-rasanya justru lebih ditimpakan pada korban.
Ini hanya beberapa dari kasus serupa yang ada di lingkungan kita—lingkungan yang membuat korban pelecehan seksual merasa tertekan dan memilih menutup mulut ketika memerlukan bantuan; lingkungan dengan konstruk bahwa pemilik aib adalah korban pelecehan seksual, bukan pelaku pelecehan seksual.
Atas apa yang diuraikan tadi, menyalahkan korban adalah aktivitas melepas tanggung jawab. Selaku bagian dari masyarakat, tiap-tiap individu memiliki andil dalam menciptakan kondisi sosial yang aman bagi korban. Tiap-tiap pundak memikul tanggung jawab yang sama untuk mewujudkan lingkungan yang suportif bagi korban. Maka, diakui atau tidak, pelecehan seksual adalah representasi dari sikap lalai masyarakat.
Sabine Fassawa
Editor: Ikhsan Abdul H.