Ekspresionline.com–Warga Dusun Wiyu, Kembang, Nanggulan, Kulon Progo mengadakan upacara adat Baritan Sedekah Bumi Kenduri Rojokoyo pada Minggu (24/07/2022). Kegiatan ini mengusung tema “Menjaga Lingkungan di Kali Progo Bukan Hanya Angan-angan, Tapi Butuh Tindakan”. Upacara adat ini dihadiri oleh para warga Dusun Wiyu RT 36, serta turut dihadiri oleh Dinas Kebudayaan Kulon Progo dan LBH Yogyakarta. Acara ini merupakan hasil refleksi dari kegiatan penambangan Kali Progo yang dilakukan di Desa Wiyu serta sebagai ungkapan rasa syukur atas rezeki yang dilimpahkan.
Kegiatan dimulai dengan melakukan kirab baritan dari jalan masuk dusun menuju ke pinggir Kali Progo. Lalu, dilanjutkan dengan pembukaan dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, jamasan rojo koyo, jamasan alat pertanian, hingga ditutup dengan teatrikal oleh mahasiswa.
Triharjono atau yang kerap disapa Pak Gagik selaku panitia kegiatan ini menuturkan bahwasanya kegiatan ini berawal dari kasus Covid-19 yang melanda serta refleksi dari imbas penambangan Kali Progo yang dilakukan di daerah tersebut. “Dulu itu di sini ada penambangan pakai alat berat dan tidak memperhatikan lingkungan, sehingga menjadi kontra di masyarakat,” tuturnya.
Lebih lanjut, Triharjono menjelaskan bahwa adanya penambangan Kali Progo menyebabkan daerahnya susah mencari air bersih. “Padahal kita dekat Kali Progo yang mana dikenal airnya melimpah. Itu kan, tidak masuk akal. Pinggir Kali Progo kok susah air, cari air bersih itu susah,” imbuhnya.
Mraja, salah satu warga Dusun Wiyu mengatakan bahwa adanya kegiatan penambangan di Kali Progo begitu berdampak bagi warga Dusun Wiyu, khusunya yang tinggal di pinggir Kali Progo. Kebisingan yang tercipta dari alat-alat berat penambangan membuat warga dusun susah untuk istirahat siang. “Jam kerja mereka juga tidak sesuai dengan jam operasional. Lebih dari jam lima sore. Bantaran sungai semakin dalam dan menimbulkan sumur-sumur [menjadi] kering, terutama warga yang berada dekat langsung dengan sungai,” jelas Mraja.
Sebelumnya, soal tambang membuat gonjang-ganjing masyarakat sekitar. Masyarakat sekitar terbagi menjadi pro dan kontra dengan tambang. Lebih lanjut Mraja menuturkan bahwa terdapat ketegangan antara kedua pihak tersebut. Namun, setelah diadakan mediasi, warga sepakat untuk mengadakan upacara adat baritan untuk merekatkan kembali persaudaraan, khususnya di antara warga yang berselisih mengenai tambang. “Makanya [para warga] dibersatukan dengan adat tradisi seperti baritan ini supaya kita bersatu kembali seperti kemarin. Artinya, guyub rukun seperti sebelum adanya tambang,” tutup Mraja.
Sejalan dengan Mraja, Triharjono mengungkapkan harapannya dengan adanya upacara adat baritan ini. Melalui tradisi baritan tersebut, ia berharap agar lingkungan bisa kembali [seperti sedia kala] melalui permohonan-permohoan [doa-doa] di upacara adat ini. “Nanti air bersih kembali [mudah didapat] dan sosial kemasyarakatan [di sini] bisa terbangun lagi dengan baik, tidak ada lagi sengketa-sengketa. Kita juga bisa istirahat, karena selama kegiatan penambangan kami tidak bisa istirahat siang,” tutupnya.
Triharjono juga berharap bahwa upacara adat baritan ini bisa menjadi agenda tahunan secara berkelanjutan, mengingat kegiatan ini juga didukung oleh dinas kebudayaan.
Ayu Cellia Firnanda
Editor: Nugrahani Annisa