Informasi:
Sebagai pengantar, tulisan ini akan mengurai pengalaman residensi saya di Cianjur, selama masa pemulihan gempa bumi berlangsung di sana. Jika pembaca menghendaki hadirnya data dan persentase statistik dalam tulisan ini, kiranya mudah bagi pembaca untuk menjumpai itu di berbagai kanal digital di luar sana.
Terlebih, volunterisme arus utama juga banyak melakukan kerja-kerja penimbunan data semacam itu. Sedangkan upaya untuk memahami korban dari perspektif mental menjadi penting untuk dihadirkan. Perspektif yang mungkin luput dari volunterisme arus utama yang kadung melihat korban sekadar untuk “diketahui” dan diartikulasikan sebagai objek.
Ekspresionline.com–Memasuki dua belas hari pasca terjadinya gempa bumi di Cianjur, tepatnya pada 3 Desember 2022 lalu, saya memutuskan untuk berangkat seorang diri dari Yogyakarta menggunakan layanan lokomotif ekonomi menuju Cianjur.
Seusainya lokomotif itu mengantarkan saya ke Cianjur, seorang kawan menawari ruang singgah. Kebetulan, ruang itu sedang digunakan sebagai posko logistik. Dari ruang singgah itulah, saya dapat beristirahat dan melanjutkan residensi keliling di keesokannya.
“Gempa susulan masih kerasa, Boy. Gempanya gak besar-besar amat sih, cuma traumanya itu masih kerasa. Orang-orang masih pada panik, apalagi anak-anak, pada histeris kalau poskonya geter dikit,” sahut kawan saya yang hampir dua minggu tinggal di Cianjur.
Sore itu, berbekal sepeda motor matic, kami menyusuri jalan menuju ke Desa Cibulakan. Di sepanjang perjalanan, kami menjumpai beton, teralis besi, hingga material bangunan lainnya nampak rata di sepanjang bahu jalan. Sementara itu, Desa Cibulakan diketahui sebagai lokasi dengan tingkat kerusakan yang cukup parah.
Menyusuri Desa Cibulakan dari dalam, kami pun mendapati para warga sibuk membongkar sisa puing-puing, ibu-ibu mengepul kompor untuk kebutuhan pangan keluarganya, penduduk rentan nampak pasrah di depan teras halaman, serta posko dan tenda darurat di pinggir-pinggir reruntuhan. Tak lupa baliho dan spanduk-spanduk partai dengan tampang foto berukuran besar berjejeran di depannya.
“Awas, kade rubuh!”
(Awas, nanti rubuh!)
Teriak seorang warga yang mendapati kerumunan anak sedang bermain dan mengevakuasi barang kesayangannya di atas puing bangunan. Sementara di atas balkon bangunan, puing-puing itu dapat sewaktu-waktu ambruk menimpa tubuh mereka.
Fenomena ini kerap kami jumpai, ketika tanah-tanah lapang untuk bermain telah dialihfungsikan menjadi tenda-tenda pengungsian. Sedangkan ruang anak untuk bermain, hanya berukuran jalan setapak yang juga digunakan sebagai jalur distribusi bantuan.
Ketika malam tiba, kami menyempatkan diri untuk mengunjungi posko warga di Desa Limbangsari. Di sana, kami mengobrol bersama Pak Djunaedi selaku ketua RT di desa itu. Dari pertemuan itu, dorongan empati membuat saya tidak mengulik banyak perihal kejadian traumatis yang belum genap dua minggu ia alami.
Terlebih, seharian itu ia nampak kelelahan. Sedari pagi hingga siang, ia mesti mendistribusikan bantuan ke setiap posko bagi setiap kepala keluarga. Belum lagi para volunter yang meminta wawancara dan bantuan tenaga untuk mengumpulkan data di lapangan.
Kemudian sore harinya, ia bersama warga lainnya mesti bergotong royong membongkar bongkahan rumah dan mengevakuasi barang-barang vital di rumahnya sendiri. Dan hanya malam itulah, waktu bagi Pak Djunaedi beserta keluarganya untuk beristirahat.
“Hanya Allah yang Tahu, mau diapain. Terkecuali, paribasana mah eweh-eweh teing ker ngalengkah cek paribasana mah, moal ditenden naon-naon.“
(Akan terjadi apa, hanya Allah yang tahu. Terkecuali, peribahasanya tidak ada lagi jalan buat melangkah, karena tidak akan bisa ditaruh apa-apa)
Sepenggal kalimat yang masih bisa saya tangkap dari perbincangan kami bersama Pak Djunaedi. Sepenggal kalimat yang mungkin terlalu sederhana untuk menggambarkan kondisi mental dan upaya Pak Djunaedi. Upaya bertahan dari bongkahan bencana yang mungkin akan kembali menimpa keluarganya. Pun juga menerjemahkan penggalannya menjadi upaya “mentah” untuk menyampaikan kondisi mental Pak Djunaedi malam itu.
Kegetiran pun dimulai. Keesokannya, kami menjumpai dua orang anak sedang berlari menggapai sebungkus es krim yang ditawarkan oleh rombongan ibu-ibu di atas bak pikap. Pikap itu masih terus melaju, meskipun dua anak itu mengejarnya dari belakang. Mirisnya, tingkah semacam ini kembali mereka lakukan pada rombongan anak lainnya.
Fenomena semacam ini mengingatkan pengalaman kecil saya tentang safari keliling di kebun binatang. Waktu itu, para simpanse menghampiri pisang yang saya julurkan dari dalam mobil.
Pengalaman safari semacam itu nampaknya juga dilakukan oleh rombongan tersebut. Memberi bantuan sebatas diam dan menyawer es krim di atas bak pikap, kemudian anak-anak itu berlarian menggapainya. Seperti simpanse yang menghampiri pisang yang saya julurkan.

Belum selesai di sana, kegetiran kami berlanjut ketika menjumpai palang pengungsian bertuliskan “BUKAN WISATA GEMPA” di sebuah tenda pengungsian. Terminologi semacam inilah yang menginspirasi hadirnya tulisan ini.
Terminologi macam ini bukan hadir tanpa alasan. Pasalnya di sepanjang jalur evakuasi, kami menyaksikan kendaran-kendaraan dari arah kota berebut momen untuk mengabadikan penderitaan.
“Itu belum seberapa, Boy, yang parah itu ketika rombongan dari kota pada keliling foto-foto doang. Ada juga yang ngasih donasi, tapi cuma ngasih kotak Indomie, terus minta difoto. Itu yang bikin warga di sini pada marah, sampe dibuatin palang,” sahut kawan saya itu.
Lebih jauhnya, safari bantuan yang cenderung dilakukan oleh orang-orang kota tersebut, turut menghambat upaya evakuasi dan pendistribusian bantuan. Terjadi kemacetan total di sepanjang jalur yang kami lewati, terlebih jalur tersebut memiliki dimensi ruang yang sempit dan hanya dapat dilalui oleh sebuah mobil dari satu arah.
Mobil ambulans dengan sirine nyaring mesti berebut ruang dengan mengambil laju di sebelah kanan, bahkan sangat berisiko bagi kendaraan-kendaraan logistik di hadapannya. Setiap pikap logistik mesti mengantri panjang di simpang desa guna mendapat giliran untuk melaju. Bahkan, kendaraan kecil seperti motor warga juga kesulitan mengakses jalan.
Sedangkan jauh di depan sana, mobil-mobil berjalan pelan untuk menangkap momen di sekitarnya. Mobil-mobil kelas menengah atas berdomisili kota menjulurkan gawai dari ventilasi mobil, kemudian merekamnya sepanjang kamera itu dapat menangkap reruntuhan.
Ada pula rombongan ibu-ibu yang tak saya ingat dari mana domisilinya, mengacungkan gawai sembari masih mengendarai sepeda motor. Rombongan itu bukan hanya menggunakan satu motor, melainkan beberapa rombongan motor yang juga turut memperparah kondisi jalan.
Fenomena ini kerap kami jumpai, khususnya memasuki waktu siang menuju sore hari di sepanjang jalur evakuasi. Ketika para warga sedang sibuk membongkar rumahnya masing-masing, ketika sebagiannya sedang beristirahat di tenda masing-masing, dan ketika kendaraan-kendaraan dari kota datang berjalan pelan menghambat laju distribusi bantuan.

Membongkar Wisata Gempa
“Wisata Gempa” menjadi terminologi yang hadir secara organik, ketika warga terdampak mendapati diri mereka sedang diobjektifikasi sebagai korban. Masyarakat urban yang kadung fomo tersebut, menangkap kesempatan itu sebagai agenda safari kebencanaan. Agenda melepas penat—berwisata gempa—ketika penderitaan orang lain dapat direfleksikan sebagai upaya mensyukuri kenikmatan dan kemapanan yang telah mereka peroleh.
Jika benar demikian, wisata gempa tampaknya dapat menjadi alternatif menarik bagi kepenatan masyarakat urban. Bermodal sekotak mie instan atau cukup sebungkus es krim, siapa pun bisa menikmati safari kebencanaan. Bahkan, pengalaman semacam ini jelas tak dapat diperoleh dari paket wisata konvensional di luar sana.
Betapa mengesankan ketika menjumpai penderitaan dan kesusahan orang lain dapat diabadikan melalui berbagai bidikan. Lalu didistribusikan menjadi komoditas visual, guna menarik orang lain untuk terlibat dalam wisata gempa.
Melalui gangguan urban semacam ini, penderitaan berusaha diabadikan dan didaur menjadi ereksi populerisme. Hasrat berempati dialihtukarkan menjadi hasrat menjaring popularitas simbolik. Hasrat turun ke lapangan menjadi hasrat menuntaskan keingintahuan. Hasrat membantu menjadi hasrat mengeksploitasi eksotisme ruang dan penderitaan.
Alternatif lain untuk membaca gangguan urban semacam ini menjadi dorongan solidaritas artifisial. Dorongan yang sekadar untuk meredakan perasaan sedih ketika menjumpai kesusahan orang lain.
Bencana ramai dikomersialkan melalui media dan penderitaan berebut ruang di beranda digital. Hal itu memantik “kesedihan” masyarakat urban untuk terjun langsung ke daerah bencana. Sebagaimana yang pernah saya singgung pada tulisan sebelumnya, bahwa siapapun bahkan di manapun dapat dengan mudah bersolidaritas.
Namun upaya bersolidaritas yang ramai belakangan ini sebatas upaya untuk menyingkirkan ketidaknyamanan batin. Ketidaknyamanan akibat kesedihan yang mereka tangkap dari citra visual. Para korban digambarkan begitu menderita dan tertekan akibat musibah yang mereka alami. Timbunan ketidaknyamanan tersebut “mengusik” batin untuk membantu orang lain.
Letak problemnya adalah setelah kebaikan dilakukan. Ada timbal balik yang diharapkan, berupa respons publik melalui foto-foto yang mereka dapatkan di lapangan. Sekilas nampak altruistik, namun sejauh tindakan tersebut merupakan respons dari meredakan perasaan bersalah serta aksi-aksi heroisme lainnya, hasrat kepentingan diri justru menyusup ke dalamnya.
Respons untuk meredakan perasaan bersalah menjadi respons yang dapat mengabaikan posisi korban. Posisi korban diletakkan sebatas pihak yang memerlukan bantuan. Kebaikan yang mereka peroleh setara dengan derajat kepentingan diri dari si pemberi.
Kemudian kebaikan kembali disebar di beranda digital, upaya tersebut memancing aksi-aksi heroisme lainnya untuk melakukan hal yang sama. Alhasil, korban mengalami penderitaan berlapis yang nampaknya belum benar-benar berakhir.
Solidaritas Batin
“Di tengah penderitaan, di manakah letak kemanusiaan kita?”
Mengorek seeksploitatif mungkin penderitaan orang lain, membebani diri untuk memosisikan orang lain sebagai manusia. Benar bahwa apa yang mereka lakukan mungkin sekadar memfoto kemudian menimbunnya menjadi konten digital. Akan tetapi sangat jelas di depan matanya, tragedi sedang ia saksikan “di hadapannya”.
Apakah kita secara sadar datang sekadar membidik momen? Apakah bidikan foto yang kita tangkap justru dapat mengabadikan dan memperlebar trauma yang mereka alami? Lebih jauhnya, apakah kita sudi memosisikan diri dari sudut pandang korban?
Kupikir pertanyaan semacam ini menjadi penting. Meskipun sederhana—namun ia dapat merefleksikan kembali hubungan kita dengan orang lain. Kemanusiaan mestinya dapat menawarkan proyeksi alternatif semacam ini. Manakala diri dapat melebur ke dalam diri orang lain. Manakala penderitaan orang lain dapat diproyeksikan sebagai bagian dari penderitaan kita.
Kemanusiaan mestinya dapat memfasilitasi kemampuan untuk memahami kondisi mental, keinginan, serta keyakinan para korban untuk bertahan, sehingga ia dapat mengantisipasi kecenderungan untuk mengeksploitasi saudara kita sendiri.
Dorongan untuk memanusiakan orang lain mestinya dapat membantu korban untuk memaknai ulang, serta meraih kendali atas penderitaan yang mereka alami. Kesulitan yang dialami korban bukan lagi beban yang mesti ditanggung seorang diri, karena solidaritas mental mestinya mendorong upaya bergotong royong yang lebih inklusif. Sedangkan upaya membidik penderitaan, justru memvalidasi makna bahwa mereka patut untuk diberi dan dikasihani sebagai “objek”.
Suden
Editor: Abi Mu’ammar Dzikri
1. Kolonialisme Bantuan: Volunterisme Arus Utama dan Kapitalisasi Bencana
2. Jurnalis dan Manusia di Tengah Bencana
3. Wisata Gempa