Ekspresionline.com
  • Sentra
  • Japat
  • Fokus
    • Analisis Utama
    • Laporan Khusus
    • Telusur
  • Berita
    • Lingkup Kampus
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Jogja
  • Perspektif
    • Ruang
    • Opini
    • Resensi
      • Buku
      • Film
      • Musik
  • Wacana
  • Margin
  • Sosok
  • Foto
  • Infografik
No Result
View All Result
Ekspresionline.com
  • Sentra
  • Japat
  • Fokus
    • Analisis Utama
    • Laporan Khusus
    • Telusur
  • Berita
    • Lingkup Kampus
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Jogja
  • Perspektif
    • Ruang
    • Opini
    • Resensi
      • Buku
      • Film
      • Musik
  • Wacana
  • Margin
  • Sosok
  • Foto
  • Infografik
No Result
View All Result
Ekspresionline.com
No Result
View All Result
Home Opini

Yang Bertahan dan Mati Perlahan

by Arfrian R
Jumat, 6 Desember 2019
0

Ernest Miller Hemingway. Ilustrasi oleh Sunardi/EKSPRESI.

Share on FacebookShare on Twitter

“Hemingway once said ‘This world is beautiful and worth fighting for,’ and I agree with the second one.”

–Epilog narasi film Seven.

Ekspresionline.com–Menjelang akhir tahun lima-puluhan, Hemingway masih terlihat di arena pertandingan adu banteng di Kota Dax, Prancis. Ketika dikerubuti para wartawan dan diwawancarai, seperti diwartakan majalah Warnasari terbitan April 1982, dia menyatakan demikian:

“Saya memulainya dengan diam-diam, tapi telah saya pukul roboh Tuan Turgenev di atas ring kesusastraan. Lalu saya berlatih keras dan saya kalahkan Tuan Maupassant. Dua kali saya bermain seri melawan Tuan Stendhal.”

Dia lantas menghirup napas dalam-dalam dan melanjutkannya,”Akan tetapi, saya tidak bisa dipaksa siapa pun untuk menghadapi Tuan Tolstoy, apalagi Tuan Dostoyevsky, di atas ring apa pun. Ya, kecuali kalau saya sudah gila atau di dalam waktu yang singkat saya bisa terus semakin baik. Hal itu kan mustahil!”

Dan apa yang dikatakannya sebagai mustahil itu bukanlah omong-kosong?meski peristiwa ini sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Sebab beberapa minggu sebelum peringatan hari kelahirannya yang ke-62, pada bulan Juli 1961, dia berpamit oleh peluru yang meletus dari bedil perburuannya sendiri. Mungkin kecelakaan, tetapi ada juga orang yang mengiranya bunuh diri.

Jiwa Petualang

Ernest Miller Hemingway dilahirkan di Oak Parks, Illinois, pada tanggal 21 Juli 1899. Anak kedua dan putra pertama dari enam bersaudara yang terdiri dari dua lelaki dan empat perempuan. Ayahnya, dr. Clarence Edwonds Hemingway, seorang dokter berjambang lebat yang terkenal karena kegemarannya berburu serta mengail. Dia memberikan kepada Ernest joran-pancing ketika bocah itu baru berusia tiga tahun dan senapan berburu pada usia sepuluh tahun. Ibunya, Grace Hall, adalah musikus.

Gairah pada alam terbuka dan petualangan yang ditanamkan oleh ayahnya ternyata lebih dalam merasuki Ernest dibanding musik yang secara intens diajarkan oleh ibunya. Sebab ia tidak merasa tertarik sama sekali kepada nada-nada cello.

Ketika masih bersekolah di Oak Park High School, pada usia 14 tahun, dua kali Ernest pernah melarikan diri dari rumah. Dalam pelariannya, dia bekerja sebagai buruh harian: pencuci piring dan terkadang menjadi sparing-partner bagi petinju-petinju semiprofesional. Akan tetapi, akhirnya ia tak betah dan kembali lagi ke rumahnya, melanjutkan sekolah sampai tamat.

Lulus dari sekolah menengah pada tahun 1917, Ernest mulai bekerja pada harian The Kansas City Star. Koran ini terkenal dengan kecakapan sastra staf redaksinya. Tujuh bulan digembleng latihan menulis, Ernest berhasil memesona hampir seluruh staf redaksi dengan gaya penulisannya yang bersih nan segar. Sesungguhnya dia mempunyai masa depan sebagai reporter yang baik, demikian pendapat mereka, jika saja tak meletus Perang Dunia Pertama dan Amerika Serikat melibatkan diri dalam peperangan itu.

Terdorong oleh darah petualangan, Ernest keluar dari The Kansas City Star lalu mendaftarkan diri menjadi tentara. Namun, karena bekas cedera pada matanya waktu sekolah dulu, dia ditolak. Dia mencari jalan lain dan berhasil bergabung pada Korps Ambulans pada pasukan Palang Merah sebagai pengemudi. Dia dikirim ke Italia pada Juni 1918.

Di Italia, Ernest menyaksikan pertempuran-pertempuran getir. Dia bergabung dengan Arditi, suatu kesatuan pelopor tentara Italia. Bersama kesatuan itu ia berangkat ke garis terdepan. Dua minggu sebelum ulang-tahunnya yang ke-19, dia mendapat cedera parah dalam suatu pertempuran di Fossalta di Piave—yang kelak akan sangat memengaruhi kehidupan dan karya-karyanya.

Berposisi di pos pengintai terdepan, Hemingway dan koleganya jadi korban ketika sebuah parit berisi mortir Austria meledak. Tiga tentara Italia yang sedang bersama dia terputus kakinya dan dua di antaranya mati seketika. Hemingway sendiri jatuh pingsan dan ketika siuman ia mendapati salah satu kakinya terluka parah. Dengan memapah salah seorang tentara Italia yang masih hidup, dia merayap menuju parit perlindungan.

Malang baginya, tiba-tiba sorot lampu dari kubu pertahanan musuh menimpanya dan serentetan tembakan dari senapan mesin kaliber berat menghujani daerah sekitarnya. Sebutir peluru menembus kaki kanannya dan melemparkan tempurung lututnya. Untuk memperpanjang napas, dia berdiam diri pura-pura mati. Baru sesudah lampu sorot beralih, dia merangkak pelan-pelan dan akhirnya berhasil mencapai parit perlindungan. Namun, tentara Italia yang ia panggul sudah menjadi mayat.

Para dokter di Milan mengeluarkan 237 kepingan pecahan mortir dari kedua kakinya. Setelah dilakukan dua belas operasi dan tempurung lututnya diganti dengan alumunium, dia segera saja meninggalkan rumah sakit, membiarkan para dokter dan perawat di sana menggeleng-gelengkan kepala keheranan. “Betapa hebat daya tahan tubuhnya, pun betapa hebat semangatnya untuk hidup,” sebut satu dokter.

Pria avonturir ini belum jera. Sekeluarnya dari rumah sakit, dia lantas bergabung dengan batalion infanteri Italia dan bertempur sampai perang berakhir.

Untuk jasa-jasanya, Pemerintah Italia menganugerahinya dua medali: Groce di Guerra dan Medaglie d’Argento al Valor Militare.

Berkali-kali (Hampir) Mati

Perawakan Hemingway tinggi-besar, berat sekitar 200 pon, tinggi enam kaki, bahunya bidang dan dadanya tegap, lengan tebal dan berotot kuat, serta pinggang yang ramping. Dia sengaja membiarkan jambangnya tumbuh lebat karena kulitnya sangat peka terhadap perubahan udara. Dia tidak merokok, tetapi adalah seorang peminum alkohol berat.

Dengan tubuh gagahnya, dia pernah membuat reputasi gemilang sebagai olahragawan, di samping sebagai pengail yang ulung, pemburu yang besar, dan petinju amatir yang tangguh. Reputasi-reputasi tersebut akan jadi nomor kesekian dibanding tersohornya pengalaman dalam mengakali sang maut.

Pada tahun 1954, Hemingway mengalami kecelakaan pesawat di Afrika. Dia disangka telah mati. Lantas koran-koran seantero dunia memasang berita kematiannya sebagai berita utama. Setelah sadar, sambil tangan lainnya membawa segelas gin, Hemingway terbahak-bahak kegirangan membacanya. Beberapa hari kemudian, di atas pesawat udara yang lain, dia mengalami kecelakaan lagi. Pesawat yang ditumpanginya terbakar sewaktu akan lepas-landas.

Hemingway tentu selamat. Seperti tak mau mengulangi kesalahan, para wartawan lebih teliti dan mengambil topik berita akan kejengkelan Hemingway perihal kehilangan botol-botol ginnya yang ikut terbakar bersama pesawat. Luka-luka yang dia peroleh dari kedua kecelakaan pesawat secara beruntun itu ialah ginjal sebelah pecah, luka-luka bakar, dua tulang punggungnya yang melesek dan satu retak, tulang lengan dan pundak kanannya terlepas, ditambah beberapa luka lainnya.

Kecelakaan memang tak pernah jauh-jauh dari Hemingway. Dua kecelakaan mobil pernah menimpanya. Satu ketika dia di London saat mengejar pendaratan tentara Sekutu di Normandia. Saat itu, di tengah sinar matahari musim semi tahun 1944 menerpa gedung-gedung tua Inggris, ia berkendara di London. Lantas entah mengapa jipnya menabrak tangki air. Hemingway menerima 57 jahitan di sekujur tubuhnya karena peristiwa tersebut.

Dalam keadaan yang sebenarnya belum diizinkan meninggalkan rumah sakit, Hemingway malah minggat dan menjadi kepala pasukan bermotor kaum partisan Prancis yang berjumlah 200 orang menuju peperangan. Ia pergi dengan membawa cukup senjata dan mengangkut botol-botol alkohol yang cukup untuk mengguyur basah satu divisi tentara. Sedang kecelakaan mobil lainnya terjadi dalam tahun 1930 di Montana. Nyaris menyebabkan dia kehilangan sebelah lengan.

Sementara keaktifannya terlibat dari kedua perang menghasilkan setengah lusin luka di kepalanya, dan lebih dari selusin luka-luka pada kedua tangan dan kakinya, kunci paha, tempurung lututnya, serta jahitan pada banyak bagian tubuhnya. Seperti Kolonel Cantwell, salah seorang tokoh dalam novelnya Across the River and into the Trees, Hemingway pernah mengalami sepuluh kali gegar otak, lima di antaranya cukup gawat.

Ketika mengalami gegar otak yang terakhir kalinya, Hemingway masih sempat bergurau. “Untung tidak memengaruhi bagian otak yang kupakai untuk menulis!” selorohnya sambil mengangkat gelas penuh gin.

Dari kegemarannya berburu, Hemingway juga pernah hampir mati. Bencana itu terjadi ketika dia berburu bebek liar di daerah dekat Venice. Pecahan peluru telah membenam masuk ke dalam matanya dan menghabiskan 20 juta unit penisilin untuk menyelamatkan nyawanya.

Selain beruntung, dia punya daya tahan tubuh yang memang hebat. Hingga saat itu dia masih lolos dari semua incaran maut.

Pria Tua Menyedihkan

Hari-harinya di Finca Vigía, dekat Havana, Kuba biasanya ia mulai pada pukul 06.30. Di ruang kerjanya, selama 22 tahun sudah dari seluruh masa hidupnya dihabiskan. Dikelilingi oleh pembantu-pembantu rumahnya, dua lusin ekor kucing, dan tamu-tamunya yang tak berkeputusan sepanjang tahun.

Dalam pekerjaanya sebagai penulis, dia bukanlah sosok yang bekerja dengan terburu-buru. Malah sering kali kelihatan seperti orang yang sedang bersantai?tetapi sesungguhnya penuh konsentrasi. Terkadang Hemingway menulis sambil berdiri. Dalam sehari, dia menulis sebanyak 400 sampai 1.200 kata.

Biasanya dia menulis sampai tengah hari, lalu berenang di kolam renangnya dan minum gin untuk pertama kalinya pada hari itu. Sorenya dia pergi mancing sambil berbincang dengan kawan-kawannya atau membaca buku.

Sesekali dia menghentikan kegiatannya menulis dan pergi berburu ke Afrika atau Idaho. Akan tetapi, kegiatan yang paling sering dan paling ia sukai adalah bersantai di atas Pilar—nama perahu motornya—sambil memancing, mengapung di atas air laut yang biru gelap. “Di sinilah tempat kebebasanku yang terakhir di dunia,” kata Hemingway menyanjung tinggi Pilar.

Sanjungan setinggi langit itu memang tak bisa dibantah. Pada 1952, Hemingway menerbitkan novelnya yang paling besar: The Old Man and the Sea. Novel yang terinspirasi oleh adanya Pilar, misteriusnya laut, dan menyedihkannya manusia. Setahun kemudian novel tersebut memenangkan hadiah Pulitzer dan tahun berikutnya Hemingway menerima Nobel Kesusastraan.

Merayapnya nomor usia yang kian bertambah serta menderita dimensia, Hemingway seperti tahu sang maut sudah benar-benar mendekat. Sebelum kematiannya pada Juli 1961, dia sempat “menoleh” ke belakang untuk menelusuri jejak petualangannya dan merenungkan ketenaran namanya dalam dunia sastra. Hal itu ia tuliskan pada surat-surat balasan pada kawan-kawannya.

Pada intinya, dia tak menyesal dengan apa yang ia perbuat: ikut perang dunia, hampir mengorbankan nyawanya. Lantas, ia tak peduli akan ketenaran namanya?itu bukanlah sesuatu yang amat penting. Dalam bukunya, Death in the Afternoon, dia menulis, “Yang terpenting adalah untuk menyelesaikan pekerjaanmu dan menulis lagi yang baru bila ada sesuatu yang lain yang kamu ketahui. Silakan kamu berkeinginan menyelamatkan dunia, bila kamu dapat memandangnya dengan jelas dan secara menyeluruh. Kemudian setiap bagian yang kamu lakukan akan menghadirkan keseluruhan yang benar. Akan tetapi, paling penting untuk dilakukan adalah bekerja dan belajar menghasilkan.”

Dunia ini indah, kata Hemingway sepertinya menyemangati dirinya sendiri, tetapi perlu diperjuangkan. Il faut d’abord durer atau “di atas segalanya, orang mesti bertahan”.

Arci Arfrian

Editor: Fiorentina Refani

Previous Post

Pemilwa UNY 2019 Akan Dilaksanakan Secara Daring

Next Post

Mahasiswa D4 FT Korban Kecelakaan Berhak Dapat Asuransi

Related Posts

Mendobrak Kesucian Max Havelaar Melalui Mitos dari Lebak

Mendobrak Kesucian Max Havelaar Melalui Mitos dari Lebak

Sabtu, 9 November 2019

Jokowi Harus Belajar Jadi Koplak!

Selasa, 5 November 2019
Marvin Harris: Mendobrak Dogma dengan Materialisme Budaya

Marvin Harris: Mendobrak Dogma dengan Materialisme Budaya

Minggu, 3 November 2019
Sastra dan Pendidikan Bahasa di Era Budaya Siber

Sastra dan Pendidikan Bahasa di Era Budaya Siber

Kamis, 31 Oktober 2019
Ironi dan Melankolia Cinta Pak Tua

Ironi dan Melankolia Cinta Pak Tua

Rabu, 31 Juli 2019
Erich Fromm: Pakar Cinta Anti Menye-Menye

Erich Fromm: Pakar Cinta Anti Menye-Menye

Minggu, 14 Juli 2019
Next Post

Mahasiswa D4 FT Korban Kecelakaan Berhak Dapat Asuransi

Ekspresionline.com

© 2019 Lembaga Pers Mahasiswa EKSPRESI UNY

Navigate Site

  • KONTRIBUSI
  • IKLAN
  • BLOG
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • TENTANG KAMI

Follow Us

No Result
View All Result
  • Sentra
  • Japat
  • Fokus
    • Analisis Utama
    • Laporan Khusus
    • Telusur
  • Berita
    • Lingkup Kampus
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Jogja
  • Perspektif
    • Ruang
    • Opini
    • Resensi
      • Buku
      • Film
      • Musik
  • Wacana
  • Margin
  • Sosok
  • Foto
  • Infografik

© 2019 Lembaga Pers Mahasiswa EKSPRESI UNY