Ekspresionline.com–Orang Islam, terutama di Jawa, kaya akan budaya luhur. Budaya ini tak lepas dari perpaduan kultur masyarakat dengan syariat Islam. Dalam tataran Ahlussunnah Wal Jamaah, tradisi masyarakat lokal dengan intisari diubah menjadi syariat Islam, sehingga kenampakan budaya dari luarnya sekadar bungkus saja.
Di dalam budaya tersebut, mengandung nilai filosofi agama yang sangat mendalam. Seperti yang dapat kita lihat dalam tradisi sekaten, Grebeg Syawal, dan selamatan.
Salah satu dari tradisi tersebut adalah ziarah wali. Kegiatan ini dijalankan dengan mengunjungi dan melantunkan zikir di makam sang wali. Pengertian wali sebenarnya sangat kompleks. Namun, menurut penulis sendiri, seorang wali adalah ia yang secara ruh mampu terhubung dengan Tuhan. Hal ini dikarenakan ketekunan sang wali tersebut dalam beribadah, menjalankan syariat, dan menjauhi larangan.
Para wali kebanyakan berasal dari tokoh-tokoh agama, pejuang Islam masa lampau, atau bahkan kalangan awam yang gentur dalam beribadah. Di wilayah Yogyakarta sendiri, terdapat banyak makam wal,i baik dari golongan priayi maupun agamawan.
Makam yang dapat kita kunjungi sebagai destinasi ziarah adalah Pajimatan Imogiri-Girilaya, Makam Kyai Munawwir, Makam Gunung Pring, dan beberapa makam keramat lainnya di Yogyakarta. Mayoritas dari tokoh tersebut merupakan tokoh Mataram Islam dan tokoh keagamaan.
Wali Sebagai Pintu Mendekat Kepada Allah
Bagi masyarakat yang menganut paham ahlussunnah, ziarah tak diartikan sebagai ritual doa semata. Ziarah menjadi sumber mencari kedekatan intens dengan Sang Pencipta. Hal itu dilakukan dengan cara bertawasul kepada tokoh yang diziarahi.
Konsep tawasul sendiri secara sederhananya dapat dianalogikan dengan kita yang memiliki proposal atau memiliki kepentingan. Namun dengan kesadaran akan kekurangan diri kita yang penuh dosa, kita tidak langsung memintanya kepada Allah. Kita memerlukan orang dalam sebagai jembatan penghaturan doa kita kepada Allah. Para wali tersebut adalah orang dalam yang kita tuju.
Dengan alasan yang demikian, fungsi berzikir dan membaca kitab suci di makam wali adalah suatu metode mendekatkan diri kepada-Nya. Pendekatan yang memosisikan para kekasih-Nya sebagai jembatan keterhubungan, sehingga manusia menjadi lebih dekat kepada Tuhan. Hal inilah yang dipahami para pelaku ziarah kubur.
Mencari Kesejatian Diri dan Penguatan Batin
Fenomena ziarah dan tradisi tarekat atau mistik Islam sangat lazim dijumpai di Indonesia. Hal itulah yang mengandung minat para ilmuwan untuk meneliti. Berbagai kajian itu telah melahirkan imuwan yang mahir dalam mengkaji Islam di Nusantara, seperti Dr. Simuh, Purwadi, dan Mark Woodword.
Namun, bagi para pelaku yang menekuni ziarah, mereka memiliki pengalaman empiris tersendiri. Ziarah wali bagi mereka sudah seperti laku semedi. Hal ini dikarenakan dalam berzikir, dituntut untuk berkonsentrasi penuh dan memusatkan pikiran hanya pada tuhan.
Bagi mereka yang menekuni ilmu kebatinan sendiri, ziarah menjadi wahana peningkatan kualitas spiritual. Dengan berziarah, selain ditekankan pada konsentrasi zikir, badan juga dipaksa menutup seluruh hasrat nafsu. Oleh karena itu dengan ketekunan dalam dua hal tersebut, terjadilah keselarasan antara rasa-karsa-cipta pelakunya.
Dalam titik inilah, ziarah menjadi kegiatan yang berkesan bagi para pelakunya. Dengan menyelami keheningan kuburan, dan lantunan ayat suci, jiwa peziarah seolah dibawa melayang ke negeri antah-berantah yang indah. Dalam posisi ini, ia tidak akan sadar bahwa dirinya masih terjaga atau tidur.
Praktik yang demikian adalah suatu ritus yang biasa dijalankan pelaku tarekat. Tarekat sendiri bisa dipahami sebagai salah satu dari sekte Islam. Banyak kalangan ahlussunnah yang masih menjalani praktik tarekat. Penekanan bagi para pelaku tarekat ialah dituntut untuk menyeimbangan hubungan dengan Allah dan alam sekitar. Salah satu wujud dari hubungan kepada Allah adalah dengan berdzikir tadi.
Dengan ziarah yang hening, hingga pikiran satu dalam rasa dan karsa kita akan dapat menilai diri dengan baik. Keheningan itu membawa kita pada satu sumbu filosofis pikiran, “Dari mana asal kita, kemana tujuan kita”.
Pendalaman secara intens tersebut membuat kita memahami lebih mendalam terkait jati diri kita yang sebenarnya. Oleh karenanya bagi para para pelaku, termasuk penulis, terfokus dalam hening tersebut membuat diri menjadi paham sangkan paraning dumadi hidup kita.
Hal tersebut juga berdampak pada terbukanya satu persatu indra kita ke tataran lebih tinggi. Kita menjadi lebih peka terhadap alam sekitar, dan perasaan orang lain. Inilah yang menjadi buah dari pemusatan pikiran dan penekanan hawa nafsu. Bagi orang yang telah mencapai tahap itu, maka ia telah sentosa batinnya.
Bagi masyarakat Jawa, perlawanan terhadap nafsu digambarkan secara epik melalui lakon Dewa Ruci. Sang Bima yang berusaha mencapai kesejatian diri dituntut melakoni hidup yang keras dengan sabar. Ia harus melakoni kerasnya hidup dengan berkonsentrasi pada tujuan, hingga seluruh nafsunya dapat dikendalikan.
Bima yang melalui ketekunan dan kekuatan tekadnya tersebut akhirnya mendapat anugerah. Begitu pula bila manusia mampu menguatkan tekad dan tekun beribadah. Perjalanan dalam lakon Dewa Ruci tersebut menjadi perlambang bahwa manusia yang mengingat Tuhan akan mampu melewati setiap tahapan kehidupan (syariat, tarekat, hakikat, ma’rifat).
Melawan hawa nafsu memang tidaklah mudah, sehingga diperlukan tempat yang hening untuk berkonsentrasi. Ziarah menjadi alternatif untuk yang demikian. Bagi penulis, dengan melawan nafsu dan konsentrasi tadi, ziarah menjadi wahana self healing yang mujarab.
Tidak jauh berbeda dengan praktik yoga, ziarah menjadi olah tubuh yang sangat berdampak positif bagi pikiran. Terlebih dengan bacaan zikir yang menyertai, dapat menambah dan meningkatkan kualitas spiritual kita.
Rizqy Saiful Amar
Editor: Rosmitha Juanitasari