Pahami Kondisi Penyintas Kekerasan Seksual

Ekspresionline.com–Dini ini, kasus kekerasan seksual marak diperbincangkan di media sosial. Di satu sisi, kasus-kasus yang terangkat oleh media akan menarik perhatian khalayak—guna dibaca, dianalisis, dikritisi, dsb. Namun bagi penyintas, kasus kekerasan seksual dapat memberikan dampak yang sangat menakutkan. Memang ada beberapa penyintas yang merasa mendapat “kekuatan baru” saat mengetahui ada penyintas lain yang berani speak up soal kekerasan seksual di media sosial. Namun, tak sedikit yang trauma buruknya tersulut kembali lantaran mendengar pengalaman kekerasan seksual orang lain.
Tanpa sadar, trauma semacam itu membuat penyintas memilih menghindar dari pembahasan apapun yang berhubungan dengan kasus tersebut. Keadaan ini sering disebut defense mechanisms ‘mekanisme pertahanan’, merupakan respons tanpa sadar yang digunakan untuk melindungi diri dari perasaan yang tidak diinginkan.
Salah satu respons yang sering muncul adalah puasa media sosial. Penyintas melakukannya sebagai respons atas perlindungan prevetif agar tidak terpapar cerita kekerasan seksual. Sehingga, semakin kecil peluang risiko kembali mengingat peristiwa traumatis yang pernah dialaminya.
Lebih dari itu, tidak jarang kita menemukan laporan tentang kasus kekerasan seksual yang diceritakan secara gamblang di media sosial. Misalnya, kasus kekerasan seksual yang terjadi di UGM dalam laporan Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan. Di dalam laporan tersebut terdapat peringatan untuk pembaca ‘Trigger Warning’, bahwa tulisan ini mampu memicu ingatan tidak mengenakkan bagi penyintas. Trigger Warning yang terdapat dalam konten kekerasan seksual sangat membantu penyintas. Membantu untuk menyiapkan diri, akan melanjutkan membaca atau memilih untuk menyudahinya.
Keadaan tersebut membuktikan bahwa kekerasan seksual membawa dampak yang sangat berat untuk penyintas, baik trauma fisik maupun psikis. Trauma fisik, misalnya, korban perkosaan dapat menderita radang sendi, nyeri panggul kronis, atau gejala pramenstruasi yang intens. Tentunya, secara psikis tindakan kekerasan seksual akan sangat berdampak kepada penyintas. Bahkan, trauma tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sembuh. Di sisi lain, tidak bisa dimungkiri bahwa kasus ini semakin marak kita temui.
Menurut Catatan Tahunan 2021 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan), jumlah kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 mencapai 299.991 kasus. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan dua kali lipat pada tahun 2021. Data WHO menyebutkan bahwa setiap hari terdapat setidaknya 1 orang perempuan yang dilecehkan, diperkosa, dan dipukuli di seluruh dunia.
Kekerasan seksual juga tidak hanya dialami perempuan, tetapi juga laki-laki. Data Badan Pusat Statistik tahun 2015 menjelaskan sebanyak 46,8% korban kekerasan seksual dialami laki-laki. Artinya, kasus kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapa saja dan juga di mana saja; baik di ranah privat seperti keluarga hingga ke publik seperti sekolah dan maupun perusahaan.
Dominasi dan Relasi Kuasa
Kasus kekerasan seksual yang terjadi di UNY yang diliput suarajogja.id menunjukkan bahwa ketimpangan relasi kuasa berperan dalam tindakan kekerasan seksual. Kasus ini memaparkan kejadian kekerasan seksual yang pelakunya adalah senior kampus penyintas. Relasi kuasa ini, membuat senior menggunakan dominasinya untuk mengelabui penyintas.
Dalih demi organisasi, sang senior membohongi penyintas yang awalnya hanya berkepentingan mengembalikan barang, malah diajak pergi ke indekosnya. Tidak hanya berhenti di situ, relasi kuasa juga terjadi pada saat penyintas sudah berani melapor. Beberapa bahan laporan tidak menemui tindak lanjut, karena laporan telah bocor ke pelaku.
Dominasi dan relasi kuasa yang terjadi membuktikan bahwa budaya patriarki di kampus masih eksis. Bahkan, kultur senioritas dan junior memperlihatkan kondisi kampus yang jauh dari spirit egaliter. Adanya ketimpangan kuasa antara kaum laki-laki terhadap perempuan sebabkan kerugian bagi para penyintas. Apalagi penyintas adalah seorang perempuan. Hal itu membuat penyintas tak memiliki daya untuk menolak perlakuan seksual dari pelaku.
Kondisi Penyintas Kekerasan Sosial
Dampak yang terjadi pada penyintas bisa berupa gejala stres mendalam, yang biasa disebut Gangguan Stres Pasca Trauma ‘Post Traumatic Stress Disorder’ (PTSD). Gejala ini adalah suatu keadaan yang muncul setelah seseorang mengalami pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan, dan mengancam jiwa.
Menurut Sadock B.J. & Sadock V.A Professor of Psychiatry, PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas otonomi, dan mengalami kilas balik dari pengalaman yang amat pedih. Efeknya dapat muncul setelah korban mengalami stres fisik maupun psikis, yang mana dinilai melebihi batas ketahanan orang biasa. Selain itu, PTSD dapat pula didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan mental secara ekstrem. Mayoritas timbul setelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang mengancam kehidupannya.
PTSD muncul sebagai perilaku yang memengaruhi psikologis maupun fisik. Secara psikologis, misalnya, korban mengalami mati rasa terhadap “pemikiran”, perasaan, atau pembicaraan tentang peristiwa yang bersangkutan. Individu dengan PTSD sering mengalami ketidakmampuan untuk mengingat bagian-bagian dari pengalaman, berkurangnya keinginan untuk beraktivitas dan bersosialisasi, merasa tidak memiliki ikatan dengan orang lain, serta ketidakmampuan mengenali emosi secara penuh. Terkadang stres ini juga memunculkan dampak fisik, seperti problem sulit tidur.
Salah satu yang berpeluang besar mengidap PTSD adalah penyintas kekerasan seksual. Mereka yang mengalami masalah mental ini akan merasakan beberapa hal. Pertama, pengulangan pengalaman trauma, meski peristiwa tersebut terlampau cukup lama. Penyintas akan terganggu dengan ingatan traumatis yang pernah dialaminya. Pengalaman traumatis akan berada dalam alam bawah sadar, yang biasanya muncul menjelma mimpi buruk. Kedua, penyintas kadang akan memunculkan reaksi emosional dan fisik yang berlebihan ketika merasa terpicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan tersebut. Misalnya, mereka kedapatan menangis ketika membaca ulasan kasus kekerasan seksual—yang juga dialami penyintas lain—di media sosial.
Kejadian yang menimpa penyintas kerap kali menimbulkan perilaku menghindar–menjauh dari pembahasan tentang kasus serupa yang dialaminya. Hal ini sering ditunjukkan dengan perilaku menghindari aktivitas, tempat, atau percakapan yang ada hubungannya dengan peristiwa traumatis yang dialami.
Akibat dari perilaku tersebut, penyintas kekerasan seksual kurang mampu mengenali perasaan mereka sendiri. Mereka juga memiliki emosi yang dangkal dan lebih sensitif dari biasanya. Kesulitan mengenali emosi dapat menyebabkan penyintas mengalami kecemasan. Di taraf yang lebih tinggi, masalah ini juga membuat seseorang merasa kehilangan gairah hidup, seperti memudarnya minat terhadap segala hal, termasuk dirinya sendiri.
Individu dengan PTSD seringkali merasa teralienasi dari lingkungan sosialnya karena masyarakat menstigmakan mereka secara sepihak. Risikonya, korban akan merasa malu dan berusaha menghindar dari lingkungan sosialnya. Stigma masyarakat juga menyebabkan korban kekerasan seksual semakin merasa jijik pada diri sendiri, merasa takut karena tidak ada teman, marah, dan semakin cemas. Lebih lanjut, pengaruh stigma justru akan memunculkan pengalaman traumatis baru, sehingga penyintas ditempa traumatis yang bertumpuk-tumpuk, alih-alih berhasil menyelesaikan permasalahan awalnya.
Dampak traumatis korban kekerasan seksual yang kompleks seharusnya menjadi studi evaluasi berkelanjutan. Upaya menghilangkan relasi kuasa dan stigma masyarakat terhadap korban kekerasan seksual adalah salah duanya.
Mulai untuk memahami keadaan korban kekerasan seksual dengan memberi mereka ruang aman dan nyaman untuk bercerita adalah cara yang mampu untuk dilakukan. Ruang aman untuk tidak mendapatkan kekerasan seksual lagi dan penghakiman dari orang-orang. Ruang nyaman untuk “mampu” bercerita terkait pengalaman traumatis dan perasaan korban, atau sekadar memberi waktu bagi penyintas untuk berdamai dengan dirinya sendiri.
Seringkali kita menyalahkan korban yang baru mau bercerita padahal peristiwa tersebut sudah terlampau lama terjadi. Padahal, penyintas yang mampu bertahan melawan peristiwa traumatis saja sudah sangat hebat, apalagi berani untuk bercerita ke masyarakat umum. Butuh keteguhan hati, kesiapan mental, dan pertimbangan risiko-risiko terburuk jika pengalamannya akhirnya terceritakan.
Membentuk ruang aman dan nyaman secara kolektif dapat membuat penyintas percaya bahwa banyak orang yang peduli akan korban kekerasan seksual. Korban juga merasa tidak sendirian menghadapi traumatis yang dialaminya.
Fatonah Istikomah
Editor: Abi Mu’ammar Dzikri