Masihkah Ibu Pergi ke Pasar?

Walau hujan, ayah tetap pergi ke kantor

Walau hujan, ibu tetap pergi ke pasar

Walau hujan, aku tetap pergi ke sekolah

Karena hujan adalah rahmat Tuhan

Saya masih ingat dengan buku pelajaran terbitan Balai Pustaka yang mengacu pada kurikulum tahun 1994. Buku pelajaran bahasa Indonesia untuk kelas 3 itu berwarna hijau lumut dengan gambar anak-anak sedang membaca. Di buku inilah saya menemukan puisi di atas, Hujan judulnya. Puisi ini selalu dijadikan senjata oleh ibu saya ketika saya malas berangkat sekolah sebab ada bait, “Walau hujan, aku tetap pergi ke sekolah”.

Akan tetapi bukan perkara hujan atau kemalasan yang akan dibahas kali ini, tapi mengenai hal lain. Dalam puisi Hujan menggambarkan aktivitas orang ketika hujan turun. Saya, yang kala itu masih SD tentu merasa sebagai aku. Dan di sini, ibu digambarkan pergi ke pasar. Barang kali untuk belanja keperluan rumah seperti sayur. Sedangkan ayah pergi ke kantor, tentu untuk bekerja.

Kalimat ayah pergi ke kantor dan ibu pergi ke pasar merupakan contoh pebuatan kalimat yang sangat sering ditemui dalam pendidikan sekolah dasar, khususnya pelajaran bahasa Indonesia. Tak hanya itu, tokoh yang paling terkenal untuk dijadikan contoh kalimat adalah Budi dan Ani. Ani bermain boneka, Budi bermain bola, dan lain sebagainya. Contoh kalimat yang niat utamanya untuk memudahkan siswa paham tentang pembentukan kalimat, jika dicermati mengandung bias gender. Contoh kalimat yang mengaitkan antara laki-laki dengan sifat maskulin dan perempuan yang identik dengan sifat feminin ini hadir terus-menerus hingga akhirnya melekat dalam ingatan.

Padahal, ketika bayi lahir, mereka tidak membawa sifat bawaan maskulin atau feminim. Sifat itu hadir dalam proses pertumbuhan anak. Pengenalan stereotip ini dilakukan secara perlahan oleh lingkungan tumbuh si anak baik secara sadar maupun tak sadar. Bila sebelum memasuki usia sekolah anak diajarkan oleh orang tua yang sadar gender maka anak tersebut tidak akan melakukan pembedaan dalam pembagian pekerjaan dan melepaskan sifat-sifat yang sering kali dilekatkan pada kelamin tertentu.

Namun orang tua yang sadar gender dan mendidik anaknya dengan pola kesetaraan gender tidak menjamin anaknya akan terlepas dari bias gender. Pasalnya, anak mendapatkan pendidikan dan ilmu pengetahuan tak hanya dari orang tua di rumah tapi juga dari guru di sekolah. Pada usia sekolah dasar, anak mulai diajari tentang pola kalimat yang terdiri atas subjek, predikat, dan objek. Celakanya, contoh yang sering diberikan pada pelajaran bahasa Indonesia ini antara lain, “Ayah pergi ke kantor” dan “Ibu pergi ke pasar” seperti puisi Hujan di atas. Dari contoh kalimat tadi jelas-jelas menggambarkan pembagian kerja  yang diusung oleh budaya patriarki.

Dalam masyarakat yang menganut budaya patriarki terdapat pembagian pekerjaan antara perempuan dan laki-laki juga pelekatan sifat. Perempuan yang diidentikkan dengan sifat lembut, lemah, dan sifat-sifat feminim lain ditempatkan pada kerja-kerja domestik, seperti memasak, mencuci, menyapu rumah, dan mengurus keluarga. Sedangkan laki-laki yang dilekati sifat maskulin, seperti keras, kuat, dan tegas, bekerja di luar rumah atau ruang publik. Dalam budaya patriarki laki-laki memiliki tanggung jawab menafkahi keluarga. Konstruksi social yang sudah melekat dalam masyarakat ini seolah menekankan bahwa perempuan yang baik bekerja di ranah domestik dan laki-laki yang baik adalah laki-laki yang bertanggung jawab dalam memimpin keluarganya.

Tak selesai pada contoh kalimat, pembedaan perlakuan yang dilakukan oleh guru di masa sekolah juga menjadikan bias gender semakin melekat. Misalnya saja ada anak perempuan dan anak laki-laki yang terlambat masuk sekolah. Ketika memberikan hukuman, taruhlah disuruh hormat bendera, guru memberikan hukuman yang lebih ringan untuk siswa perempuan. Misal lama waktu untuk hormat adalah 5 menit sedangkan siswa laki-laki harus hormat selama 10 menit. Sekali lagi, hal ini karena adanya anggapan bahwa perempuan lebih lemah dari laki-laki. Tentu hal tersebut tidak adil karena pelanggaran yang dilakukan sama. Ditambah lagi perlakuan seperti ini tetap diamini oleh pelbagai pihak sehingga bias gender semakin tertanam.

Pengajaran dan perlakuan yang berbeda dan dimulai sejak SD ini kemudian terus berlanjut sehingga membuat anak berlaku sesuai konstruksi patriarki tadi. Hal semacam ini seringkali memantik bias dan diskriminasi gender. Ketidaksetaraan dan bias gender merupakan kondisi yang memihak salah satu gender. Pemisahan pekerjaan domestic-publik antara lelaki-perempuan yang mulanya sebuah contoh kalimat ketika duduk di bangku sekolah dapat memicu bias gender di usia dewasa. Hal inilah yang menarik untuk dibahas. Akibat yang dialami perempuan adalah dianggap tidak kompeten bekerja di ranah publik. Perempuan tersubordinasi dan menyingkir ke rumah, selanjutnya karena tak memiliki upah dan akses ke ruang publik, perempuan jadi bergantung pada laki-laki. Laki-laki pun mengalami akibat dari bias gender ini. Laki-laki musti menanggung hidup perempuan yang sebenarnya bisa perempuan urus sendiri ketika bias dan diskriminasi gender tak ada.

Padahal, perempuan dan laki-laki itu setara, tinggal bagaimana masyarakat memberi kesempatan serta melepaskan stereotip gender. Perempuan bisa saja menjadi seorang pekerja yang handal dan cakap sedangkan rekan laki-lakinya tidak. Begitu pun dengan laki-laki bisa saja mengerjakan tugas domestik dengan rajin dan teliti sementara perempuan tidak. Karena bayi lahir tak membawa sifat bawaan maupun bakat. Hal-hal tadi diperoleh ketika mulai bersosialisasi di masyarakat. Jadi, masihkah ibu pergi ke pasar dan ayah pergi ke kantor? Atau kini Ani sudah bermain mobil-mobilan?

Nur Janti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *