Permasalahan Buruh Migran dan Rendahnya Harga Diri Bangsa

banjarmasin.tribunnews.com/KJRI Jeddah

Buruh migran Indonesia tak pernah luput dari berita tak sedap. Tiap tahun selalu saja ada kasus yang menerpa, mulai dari disiksa majikan, upah yang tidak dibayar, hingga pulang merenggang nyawa. Bila dicari akar permasalahannya, bias gender dalam pembangunan negara menjadi salah satu penyebabnya.

Dastin binti Tasja, buruh migran asal Indramayu, Jawa Barat, berhasil ditemukan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Amman, Yordania. Dastin bernasib malang, selama 13 tahun ia kehilangan kontak dengan keluarganya.

Selama lebih dari satu dekade pula ia tak berkomunikasi dengan warga negara Indonesia. Akibatnya, kini ia tak lagi mampu berbahasa Indonesia. Bahkan, untuk berkomunikasi dengan bahasa daerahnya Dastin juga tak mampu.

Saat ini Dastin telah berada di Shelter Griya Singgah KBRI Amman, menunggu proses hukum otoritas Yordania dalam upaya pemulangannya ke Indonesia. Kabar tersebut merupakan rilis yang dikeluarkan oleh KBRI Amman pada 19 April 2018.

Seminggu sebelumnya, ada kasus Parinah. Parinah adalah buruh migran asal Banyumas yang bekerja di Inggris. Upahnya selama 18 tahun tidak dibayarkan. Selama itu pula, ia tak diizinkan oleh majikannya untuk pulang. Parinah berhasil dipulangkan ke Indonesia pada 11 April 2018, setelah berhasil mengirim surat ke keluarganya lewat kantor pos.

Masih di bulan yang sama, tepatnya 8 April 2018, Karsinah, buruh migran Indonesia yang bekerja di Singapura harus pulang tanpa nyawa. Baru tiga bulan bekerja, ia harus mengalami nasib nahas.

Catatan hitam soal buruh migran Indonesia seolah tak pernah berhenti. Kasusnya bisa jadi ibarat gunung es, yang tak terlihat jauh lebih banyak dari yang terlihat. Dari data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), selama 2017 terdapat 4.475 pengaduan oleh buruh migran Indonesia. Dari data dengan tahun yang sama pula, 217 buruh migran meninggal di luar negeri.

Banyaknya catatan hitam tersebut tak menyurutkan masyarakat Indonesia untuk menjadi buruh migran. Buktinya, angka penempatan TKI oleh BNP2TKI masih tinggi, bahkan cenderung mengalami peningkatan. Pada 2016, total ada 234.451 penempatan TKI, sementara pada 2017 total ada 261.820 penempatan. Artinya, ada penambahan sejumlah 27.396 penempatan dalam rentang waktu satu tahun.

Menjadi rancu ketika banyak catatan hitam dalam dunia buruh migran, beriringan dengan peningkatan minat masyarakat untuk bekerja di luar negeri. Masyarakat seakan tidak takut dengan bayang-bayang kasus buruh migran yang acapkali diberitakan lewat televisi, koran, maupun internet.

Pertanyaannya, apakah benar masyarakat senekat itu? Apa motif masyarakat menjadi buruh migran? Bagaimana realitanya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita mesti terlebih dahulu melihat kondisi Indonesia saat ini.

Dilihat dari konteks budaya, sebagian besar masyarakat Indonesia masih memegang erat warisan budaya patriarki. Terjadi bias gender yang dipraktikkan masyarakat secara massal. Ada panduan ideal yang masih dipegang oleh sebagian besar masyarakat.

Laki-laki wajib memenuhi kebutuhan hidup keluarga dengan mencari nafkah. Perempuan idealnya bekerja di sektor domestik, seperti memasak, mencuci baju, serta membersihkan rumah. Adanya stereotip tersebut menjadikan laki-laki lebih superior dari perempuan.

Stereotip tersebut juga turut mempengaruhi cara masyarakat mencari tenaga kerja. Dampaknya, di Indonesia lowongan kerja didominasi untuk laki-laki sementara untuk perempuan bisa dikatakan minim. 

Keadaan tersebut berbanding terbalik dengan kebutuhan tenaga kerja di luar negeri. Tiap tahun, jumlah buruh migran perempuan selalu lebih banyak dibanding dengan laki-laki.

Pada tahun 2016, berdasarkan data BNP2TKI ada 145.392 penempatan TKI untuk perempuan, sementara itu hanya ada 89.059 untuk laki-laki. Jika dibandingkan rasionya akan sangat mencolok, yakni 62:38.

Sampai di sini cukup menjelaskan bahwa budaya patriarki turut andil dalam menyumbang banyaknya buruh migran perempuan di luar negeri. Padahal kenyataannya, antara laki-laki dan perempuan mempunyai potensi yang sama untuk menghasilkan uang.

Selain budaya patriarki, tingginya minat masyarakat untuk bekerja di luar negeri juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Hingga September 2017, Badan Pusat Statistik mencatat jumlah masyarakat miskin di Indonesia menyentuh angka 26,58 juta penduduk. Kemiskinan selalu menjadi masalah yang tak kunjung teratasi. Mau tidak mau masyarakat miskin harus mencari pekerjaan dengan upah yang tinggi.

Upah bekerja di luar negeri lebih tinggi ketimbang bekerja di Indonesia. Akhirnya, tidak sedikit masyarakat yang bertaruh nasib menjadi buruh migran daripada tetap miskin jika bekerja di Indonesia.

Saya berani bertaruh  jika faktor pendidikan juga ikut andil di dalamnya. Data terakhir BNP2TKI pada 2016 menunjukkan bahwa 40,92% TKI tamatan SMP, 29,83% tamatan SMU, 27,47% tamatan SD, 1,27% tamatan Diploma, 0,051% tamatan Sarjana, sisanya 0,01% tamatan Pascasarjana.

Banyaknya tamatan SD, SMP, dan SMA menunjukkan mudahnya syarat untuk menjadi buruh migran. Hal ini tentunya mempengaruhi masyarakat, sebab dengan pendidikan rendah masyarakat tetap bisa mendapatkan upah yang tinggi.

Setelah beberapa uraian di atas, kita bisa meringkasnya. Pertama, masih kuatnya budaya patriarki, adanya bias gender menyebabkan sedikitnya peluang kerja bagi perempuan di Indonesia. Kedua, tingginya angka kemiskinan, serta rendahnya upah pekerja di dalam negeri. Ketiga, mudahnya syarat menjadi buruh migran terutama dalam hal syarat pendidikan minimal.

Ketiga faktor tersebut cukup menjelaskan mengapa dengan risiko yang tinggi, minat masyarakat untuk menjadi buruh migran tetap tinggi. Tiga faktor tersebut juga jadi bukti kurang berhasilnya pembangunan di Indonesia. Dalam hal ini pembangunan tidak hanya yang berbentuk fisik, tetapi pembangunan nonfisik. Bukan sekadar infrastruktur, tetapi juga membangun suprastruktur yang kokoh.

Dalam Cengkeraman Patriarki

Lepas dari kandang buaya, masuk ke kandang macan bisa jadi analogi yang pas buat menggambarkan perempuan Indonesia yang menjadi buruh migran. Setelah keluar dari Indonesia dengan budaya patriarkinya, di negara tujuan mereka juga terjebak dengan budaya yang sama.

Berdasarkan catatan dalam data BNP2TKI tahun 2016, buruh migran Indonesia tersebar di 145 negara. Namun, ada negara-negara tertentu yang menjadi favorit para buruh migran. Sebut saja beberapa negara seperti Malaysia, Taiwan, Arab Saudi, Hong Kong, Singapura dan Uni Emirat Arab.

Masih dari data yang sama, Malaysia berada di posisi tertinggi dalam penempatan buruh migran dengan angka 87.616 penempatan pada 2016. Disusul oleh Taiwan dengan jumlah 77.087 penempatan. Selanjutnya ada Singapura dengan jumlah 17.700 penempatan dan berturut-turut disusul oleh Hong Kong, Arab Saudi, Brunei Darussalam dan Uni Emirat Arab. Negara tersebut merupakan penganut budaya patriarki yang kuat kecuali Taiwan, Singapura dan Hongkong.

Buruh migran dibagi dalam dua kelompok besar yaitu buruh yang bekerja pada sektor formal dan informal. Buruh migran yang termasuk sektor formal biasanya bekerja pada instansi, lembaga, atau pabrik resmi, sementara mereka yang termasuk dalam sektor informal biasanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau perawat di panti jompo.

Mereka yang bekerja pada sektor informal inilah yang memprihatinkan. Dalam hal pekerjaan, buruh migran perempuan di sektor ini kian melanggengkan budaya patriarki. Mereka dituntut untuk mengerjakan pekerjaan di sektor domestik, sesuai dengan stereotip yang berkembang dalam masyarakat. Pihak majikan laki-laki menjadi lebih superior disini.

Masalah bertambah ketika majikan mengeksploitasi tubuh buruh migran perempuan untuk memenuhi nafsu berahinya. Sulistyowati Irianto dalam bukunya yang berjudul Akses Keadilan dan Migrasi Global: Kisah Perempuan Indonesia Pekerja Domestik di Uni Emirat Arab yang terbit pada 2012, memberikan beberapa contoh kasus perkosaan yang dilakukan oleh majikan kepada para buruh migran perempuan. Perlakuan tersebut membuat banyak buruh migran perempuan kaget dan memilih kabur dari rumah majikannya.

Wajar bila buruh migran perempuan tersebut kaget. Dari tanah air, mereka menjadikan tanah Arab sebagai tujuan karena identitas religius. Masih banyak anggapan bahwa Arab adalah tanah harapan, tanah suci, tetapi mereka nihil pemahaman ihwal konteks sosial dan budaya Arab.

Padahal, pemahaman tersebut sangat penting sebelum memutuskan untuk menjadi buruh migran di Arab. Dengan memahami konteks sosial dan budaya, setidaknya mereka akan siap menghadapi segala kemungkinan.

Demi Devisa

Bekerja di negeri orang bukan hanya soal remitansi yang kuat. Menjadi buruh migran merupakan konstruksi sosial yang melibatkan perempuan dengan berbagai pihak yang terkait dengan orang-orang bisnis migrasi.

Dalam hal ini perempuan kemudian diperlakukan sebagai komoditas, baik oleh negara, maupun agen penyalur. Negara menjual jasa perempuan-perempuan untuk bekerja di luar negeri. Timbal baliknya, Indonesia mendapat devisa yang tidak sedikit.

Untuk melanggengkan devisa yang tidak sedikit tersebut, negara memberi gelar kepada buruh migran sebagai “pahlawan devisa”. Menggelikan melihat cara negara dalam mencari pundi-pundi devisa.

Pertanyaannya, apa pengaruh gelar pahlawan devisa tersebut bagi buruh migran? Tidak ada sama sekali. Faktanya, di negara tempat buruh migran bekerja, status sosial mereka adalah kelas bawah.

Hal tersebut tercermin dari preferensi pengguna jasa buruh migran. Irianto (2011) menjelaskan bahwa buruh migran asal Indonesia lebih disukai ketimbang buruh migran asal Ethiopia. Namun, buruh migran asal Filipina lebih disukai ketimbang buruh migran Indonesia.

Ada banyak faktor yang membentuk preferensi tersebut. Buruh migran asal Filipina disukai karena memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik. Buruh migran Indonesia disukai karena mereka pekerja keras dan penurut, sayangnya mereka sangat mudah homesick, merindukan kampung halaman. Sementara buruh migran dari Ethiopia cenderung kurang disukai, ada stereotip bahwa mereka memiliki bau badan yang tidak enak.

Kondisi tersebut berdampak dalam sistem pengupahan. Upah buruh migran asal Filipina biasanya lebih tinggi ketimbang buruh migran asal Indonesia, sementara buruh migran asal Ethiopia mendapat upah paling murah.

Adanya bias dalam pengupahan menunjukkan bahwa strata sosial tidak berhenti pada hubungan antara majikan dengan buruh migran, melainkan juga strata antarburuh-migran dari berbagai negara.

Rofi Ali Majid

Editor: Ikhsan Abdul H.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *