/ /

Girl In The Basement : Relasi Kuasa yang Timpang dan Lahirnya Kekerasan.

Sumber foto dari mylifetime.com
Judul : Girl in the Basement
Penulis skenario :
Manu Bloyer dan Leslie Greif
Sutradara :
Elisabeth Rohm
Produser :
Big Dreams Entertaiment, Lifetime, dan Swirl Films
Durasi :
88 menit
Tahun :
2021

Ekspresionline.com–Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berpedoman Pada Hukum, relasi kuasa merupakan hubungan yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya dalam konteks relasi antar gender sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah.

Relasi kuasa yang timpang menimbulkan dominasi dari salah satu pihak yang merasa memiliki kuasa lebih tinggi. Hal itulah yang akhirnya menimbulkan pelbagai kekerasan, baik verbal fisik hingga seksual.

Ketimpangan relasi kuasa tersebut tergambarkan dalam film Girl In The Basement karya Elizabeth Rohm. Karakter bernama Sara yang diperankan oleh Stefani Scott yang mengalami kekerasan seksual oleh ayahnya yang bernama Don (Judd Nelson). Dalam film tersebut, Sara memiliki saudari bernama Amy dan ibu bernama Irene.

Don merupakan sosok ayah dan suami yang berkarakter keras dan sosok yang otoriter. Semua kehendak dan aturannya harus ditaati. Bahkan, ia tak segan memukul anggota keluarganya apabila melanggar aturan dan keinginanya.

Kesewenang-wenangan itu dilakukan lantaran Don merupakan pencari nafkah utama bagi keluarganya. Dengan itu, ia menuntut semua anggota keluarga patuh terhadap aturan Don. Namun, tidak demikian dengan Sara. Sebagai anak terakhir, ia merasa sangat tertekan dengan aturan ayahnya yang sangat mengekang.

Sara mulai mual dengan aturan-aturan Don, hingga suatu hari mencapai puncaknya ketika ia berencana pergi ke pesta bersama teman-temannya. Karena ayahnya tidak mengizinkan, Sara akhirnya keluar rumah secara diam-diam dan baru pulang esok harinya. Di titik tersebut Don sangat marah dan merasa Sara tidak sopan padanya.

Persoalan maskulinitas yang sering tumbuh pada laki-laki adalah rasa ingin menguasai dan mengatur. Terlebih ketika laki-laki itu sudah berperan sebagai ayah, merasa bahwa ia merupakan raja utama di keluarga. Dominasi semacam itulah yang sangat berpotensi menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga.

Laki-laki yang merasa memiliki dominasi tinggi terhadap seseorang dan ketika terjadi perlawanan terhadapnya, maka dia merasa kekuasaanya mulai rapuh. Tak jarang, jalan yang ditempuh untuk menstabilkan dominasinya adalah dengan melakukan kekerasan.

Hal itu dapat dilihat dari sikap Don yang mulai merasa kekuasaannya terancam oleh perlawanan Sara. Hari ulang tahun yang biasanya menjadi momen spesial bagi kebanyakan orang, malah jadi petaka bagi Sara. Tepat di hari ulang tahunnya yang ke-18, Don menyekap Sara di basemen rumah.

Setelah sehari disekap, Sara masih belum dibebaskan. Bahkan, di hari kedua penyekapan, Sara dipukul oleh Don karena dianggap masih tidak sopan.

Mirisnya lagi, di hari ketiga, Don secara serampangan memerkosa Sara, yang mana merupakan anak kandungnya sendiri. Dihantui rasa takut dan trauma, Sara akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa dan terpaksa menuruti segala perintah Don.

Beberapa lama setelah itu, Sara hamil. Bahkan, proses melahirkannya dilakukan tanpa bidan. Tidak hanya sekali dua kali, Sara melahirkan empat anak dari Don. Dua anak dibesarkan di basemen satu anak meninggal dan yang satu lagi dirawat di atas bersama Irene (tanpa diketahui kebenaranya oleh Irene).

Film tersebut diangkat dari kisah nyata di Austria, perempuan berusia 18 tahun bernama Elisabeth Friltz dikurung di ruangan bawah tanah oleh ayahnya sendiri yaitu Josef Friltz selama 24 tahun dari tahun 1984-2008.

Selama di ruangan bawah tanah, Elisabeth Friltz tidak hanya mendapat kekerasan fisik, namun juga kekerasan seksual dari ayahnya hingga melahirkan 7 anak.

Kasus tersebut terungkap setelah Elisabeth Friltz keluar dari ruang bawah tanah untuk pertama kalinya setelah 24 tahun karena anak pertamanya sakit dan hilang kesadaran.

Kasus serupa juga pernah terjadi baru-baru ini di Indonesia. Menukil dari Kompas, tepatnya pada Senin (24/5/2021) di kota Kudus, Jawa Tengah, seorang anak berusia 16 tahun diperkosa ayahnya lalu dibunuh. Pelaku mengaku melakukan hal tersebut lantaran tidak dilayani kebutuhan biologis oleh istrinya.

Korban mengalami pemerkosaan dua kali, akan tetapi korban berusaha menutupi perbuatan ayahnya karena takut oleh ancaman dan berusaha tegar dengan mengantar adiknya ke sekolah, pulangnya korban diperkosa lagi. Karena memberontak korban dianiaya, dengan dipukul menggunakan batu-bata, dicekik dan dibekap hingga meninggal.

Tidak hanya di Kudus, masih banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Bahkan, sepanjang 2020, menurut catatan tahunan Komnas Perempuan, terdapat 299.911 kasus kekerasan seksual di Indonesia. Jumlah tersebut masih akan bertambah lantaran undang-undang yang mengatur ihwal kekerasan seksual masih belum eksplisit.

Parahnya, sebagian besar kasus kekerasan seksual di Indonesia terjadi di ranah privat, yakni 79 persen atau sebanyak 6.480 kasus. Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menempati peringkat pertama terbanyak dengan total 3.221 kasus (50%). Di urutan kedua, ada kasus kekerasan dalam pacaran yang menyentuh angka 1.309 kasus (20%). Kekerasan terhadap anak perempuan menjadi kasus terbanyak ketiga dengan total 954 kasus (15%), Sementara itu, sisanya merupakan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh mantan pacar, mantan suami, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.

Keluarga merupakan ruang yang terdekat dengan kita yang seharusnya menjadi tempat teraman. Namun, alih-alih melindungi anggotanya, realita yang terjadi adalah masih banyak kasus kekerasan fisik hingga seksual yang terjadi didalamnya.

Relasi kuasa yang timpang bisa disebabkan karena adanya ketergantungan secara ekonomi dan sosial, anggapan bahwa anak harus patuh sepenuhnya terhadap orang tua sehingga terjadi komunikasi yang tidak setara dan tidak dua arah dan hal tersebut menimbulkan dominasi.

Sara dan anak remaja di Kudus tersebut merupakan penyintas dan korban dari adanya relasi keluarga yang beracun. Dari itu, kita perlu memahami bahwa tempat paling aman adalah yang seluruh anggota didalamnya mau untuk berelasi dengan setara.

 

Nuriyah Hanik Fatikhah

Editor : Armand Rizky Putra Gazali

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *