Ekspresionline.com—Surat yang disampaikan kepada residen pada 6 Juni 1921 itu dibubuhi tanda tangan ketua Sarekat Islam (SI) Semarang, Semaoen, dan sekretarisnya, Budisutjitro. Surat itu menyatakan, “Tanggal 21 Juni setengah delapan pagi akan dibuka sebuah sekolah SI yang akan memberi pelajaran dalam bahasa Belanda”, demikian ungkap Harry A. Poeze dalam bukunya Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik I.
Sesungguhnya surat itu adalah tindak lanjut atas usulan Semaoen dalam sebuah rapat anggota SI Semarang agar dibikin sekolah buat anak-anak anggota SI. Tan Malaka, yang saat itu telah berada di Semarang dan tengah bekerja jadi guru di suatu sekolah swasta, direkomendasikan untuk memimpin sekolah itu. Pasalnya, Tan pernah punya rencana mendirikan sekolah sendiri yang juga dibicarakan dengan Semaoen.
Rencana Tan Malaka itu sejalan dengan gagasan SI dan PKI untuk merencanakan pendidikan bagi anggota-anggotanya. Sebelumnya, susunan sistem pendidikan untuk kursus-kursus kader pernah dikemukakan oleh Ir. Baars, anggota PKI. Namun, karena Baars dikeluarkan, rencana itu kemudian diteruskan Semaoen dengan mengajak Tan. Rencana ini berujung peringatan dari pemerintah untuk melarang aktivitas mereka.
Usulan Semaoen di atas seakan menanggapi kondisi pendidikan waktu itu yang tidak dinikmati masyarakat secara merata. Dalam Di Bawah Lentara Merah, Soe Hok Gie menulis sekolah yang banyak didirikan hanya sekolah guru dan pertanian. Profesi guru cuma diupah dengan murah sehingga minat menjadi guru tidaklah besar. Kesadaran ini membuat organisasi seperti SI Semarang mencantumkan pendidikan dalam perjuangannya.
Didirikannya Sekolah SI berpengaruh positif karena menyediakan akses bagi kaum yang terdiskriminasi untuk mendapatkan pendidikan. Apabila tidak diterima di HIS, Sekolah SI adalah alternatif yang dapat dijangkau dengan menebus uang sekolah sebanyak ƒ3 (gulden Belanda). Sekolah SI tidak mempunyai syarat khusus bagi calon siswa supaya dapat bersekolah di sana. Tan Malaka yang pernah memperoleh pendidikan guru di Belanda diserahi wewenang untuk memimpin sekolah tersebut.
Masih mengacu penelitian Harry A. Poeze, bangunan Sekolah SI memakai ruang rapat SI Semarang. Semula, mereka memiliki murid sejumlah lima puluh orang. Hanya butuh waktu satu minggu, jumlah murid mereka bertambah menjadi delapan puluh orang.
Tan Malaka menulis dalam brosur SI Semarang dan Onderwijs, Sekolah SI punya semacam kurikulum yang dibikin sebagai patokan mengajar murid-muridnya, antara lain: calistung (baca, tulis, dan hitung), bermain, dan mempedulikan kaum kromo.
Poin pertama menekankan pada pelajaran membaca, menulis, dan berhitung, lantaran pelajaran itu merupakan pengetahuan dasar yang harus dienyam oleh murid. Di samping itu, para siswa juga dibekali pelajaran bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dan bekal untuk melawan apa yang disebut Tan; kaum pemodal berbahasa Belanda.
Tidak cuma keahlian membaca dan berhitung saja, Tan juga memperhatikan kebudayaan-kebudayaan Jawa untuk dipelajari. Meskipun SI merupakan organisasi modern, mereka tidak serta merta menolak hal-hal yang berbau kuno. Mereka menganggap bahwa bernyanyi lagu Jawa dan menggambar pewayangan juga sesuatu yang penting. Ini menunjukkan prinsip mereka menjunjung nilai-nilai yang bisa dipelajari dari kebudayaan Jawa. Lebih lanjut, Tan menulis:
“Selain daripada vak-vak (mata pelajaran) berhitung, menggambar, bahasa itu, tentulah vak-vak ilmu bumi, babad (sejarah) dunia, menyanyi dan sebagainya kita ajarkan dengan cara dan dasar, yang cocok dengan haluan kaum SI, ialah kaum yang melarat. Semua ini belumlah program yang sempurna. Kalau ada perlu tentu di sana-sini boleh dirubah.”
Poin kedua menekankan pada waktu bermain siswa. Poin ini menjadi perhatian Sekolah SI lantaran mereka melihat bahwa anak-anak di sekolah negeri punya waktu belajar yang setara dengan buruh dan pekerja. Mereka seharian di kelas hanya menyuntuki pelajaran sekolah. Menurut Tan, kondisi tersebut berdampak buruk bagi kehidupan sosial siswa sampai dewasa. Mereka tidak punya cukup waktu bergaul dengan siswa lain selain hanya di kelas.
Oleh karena itu, Sekolah SI kemudian mewujudkan kepedulian itu dengan membentuk suatu perkumpulan bermain siswa, seperti Commite untuk Bibliotheek (perkumpulan buku-buku), Commite Kebersihan, dan Voetbal Club (klub sepakbola), Coorzitter. Perkumpulan-perkumpulan tersebut bebas dipilih oleh siswa, tergantung minat masing-masing. Keberadaan perkumpulan itu amat penting bagi kemerdekaan si anak.
Mempedulikan kaum kromo menjadi penekanan dalam belajar di Sekolah SI berikutnya. Kepedulian ini, menurut Tan, dapat dipupuk dengan membersihkan sekolah sendiri. Hal ini karena bersih-bersih dianggap pekerjaan kotor yang hanya dilakukan orang melarat atau jongos belaka. Bagi Tan, mendorong untuk melakukan pekerjaan “kotor” tersebut dapat membuat mereka tidak tersekat dari kehidupan kaum kromo. Tan pun punya proyeksi sendiri:
“Sesudah kita bisa buang sifat didikan yang bisa mendatangkan benci pada kaum kromo (yang kerja tangan) itu, maka harus kita perhubungkan anak-anak kita dengan kaum melarat. Itulah gunanya, kalau ada tempo kita membicarakan nasib si kromo; kita menanam hati belas kasihan sama bangsa yang tertindas; kita menunjukkan kewajiban sebagai anak kaum yang tertindas itu. Sebab itulah kita membangunkan hatinya, supaya berani bicara dalam Vergadering SI, atau Vergadering Kaum Buruh.”
Sekolah Penghasil Guru hingga Simbol Persaingan Antarcabang SI
Sulit bagi Sekolah SI untuk menyiapkan tenaga pengajar. Kesulitan itu terjadi ketika di tempat lain, cabang-cabang Sekolah SI makin bertambah, sementara keberadaan guru-guru kian dibutuhkan. Karena pendapatan mengajar di Sekolah SI rendah, minat untuk menjadi guru di sana juga rendah.
Tan memutar otak. Ia memilih mendidik sebagian murid-muridnya menjadi guru. Murid-murid itu dipilih dari tamatan sekolah Kelas Dua yang telah menginjak usia lima belas tahun. Mereka akan mengikuti kursus tiga kali dalam seminggu pada sore hari. Dengan demikian, Sekolah SI memungkinkan menjadi mata pencaharian bagi sebagian muridnya dengan menjadi guru, sementara untuk SI sendiri dapat memanen kader baru bagi keberlangsungan organisasi.
Timbal balik antara murid dan sekolah ini tidak bisa dihindari karena Sekolah SI bukanlah sekolah yang disubsidi pemerintah kolonial. Dana operasional sekolah diperoleh dari sumbangan masyarakat. Kendati demikian, tak jarang pula aktivitas mencari sumbangan dirintangi perkara perizinan. Rintangan itu datang pada Juli 1921, ketika izin untuk mengadakan pasar derma tidak diterbitkan pemerintah setempat.
Atas usulan Semaoen, awak Sekolah SI akhirnya memutuskan cara lain demi menyambung hidup sekolah. Setiap malam, mereka mengirim kelompok-kelompok murid bersama seorang dewasa untuk berkeliling ke kampung-kampung. Lagu “Internasionale” dinyanyikan agar menarik perhatian penduduk agar menyumbangkan uangnya kepada mereka. Selain lagu “Internasionale”, selendang merah bertuliskan “Rasa Merdika” dibagikan kepada anak-anak untuk dibawa berkeliling.
Sama seperti rencana pengadaan pasar derma, aktivitas anak-anak ini mendapat rintangan dari pemerintah saat itu. Mereka terancam dijerat pasal 510 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana karena mengadakan pawai tanpa izin. Atas dasar itulah, diambil pertimbangan untuk menindak pimpinan Sekolah SI: Tan Malaka.
Tak pelak, rapat diadakan untuk memprotes tindakan-tindakan yang merintangi aktivitas Sekolah SI. Rapat yang diikuti SI Semarang, PKI, BU, dan Sarekat Hindia ini menghasilkan mosi berupa protes untuk dikirimkan kepada Gubernur Jenderal, Dewan Rakyat, dan Tweede Kamer (Majelis Rendah). Pada rapat ini diadakan pula pengumpulan uang sumbangan dari orang-orang yang hadir.
Setelah itu, Sekolah SI berkembang pesat. Cabang sekolah ini didirikan di Salatiga pada November 1921, dengan murid sejumlah 75 orang pada bulan Desember. Awal Januari 1922, Tan Malaka bertolak ke Bandung seiring dibukanya Sekolah SI di sana pada 9 Januari dengan 250 murid. Cabang di Bandung ini merencanakan untuk membuka pasar derma bagi keperluan membangun sekolah lagi, tetapi akhirnya dilarang juga oleh procureur jenderal di Batavia. Ketika solidaritas anggota SI dilakukan untuk membantu pembangunan sekolah baru, Tan Malaka sudah ditangkap pada 13 Februari 1922.
Empat Sekolah SI sudah berjalan di Semarang, Kaliwungu, Salatiga, dan Bandung pada Mei 1922. Perkembangan Sekolah SI menjadi kemajuan dalam pergerakan politik nasional, yang juga mencerminkan perpecahan telah terjadi di tubuh SI, yakni antara Yogyakarta (SI Putih) dan Semarang (SI Merah). Dengan sekolah, keduanya bersaing untuk saling memperebutkan dukungan dari cabang-cabang lain.
Ahmad Yasin
Editor: Abdul Hadi