Ekspresionline.com—Awal 2019, upaya Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) untuk menyusun pendidikan kebencanaan di sekolah-sekolah patut diapresiasi. Mengingat beberapa waktu terakhir merupakan keadaan terburuk dalam sejarah bencana alam yang terjadi di Indonesia, implementasi pendidikan kebencanaan sepatutnya sudah dipandang sebagai keharusan.
Masih segar di ingatan kita perihal gempa bumi yang terjadi di Bali dan Lombok tahun lalu. Tidak lama kemudian, disusul dengan bencana yang sama terjadi di Sulawesi Tengah, yang diikuti dengan tsunami dan likuefaksi memporak-porandakan Kota Palu dan sekitarnya. Ribuan korban jiwa melayang di bawah kuasa alam. Tidak berhenti sampai di situ, beberapa hari sebelum hari raya Natal, tsunami juga menghantam pesisir Jawa dan Sumatera yang dipicu oleh erupsi Anak Krakatau. Erupsi gunung api yang berdampak kuat, sedikitnya menelan 420 korban jiwa. Tak ada alasan lagi bagi pemerintah memandang persiapan bencana alam sebelah mata, pendidikan kebencanaan harus menjadi prioritas utama.
Maraknya bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini membuka mata banyak pihak. Kita harus mempersiapkan banyak hal menghadapi keadaan tak terduga, khususnya bencana alam. Dengan menyadari posisi indonesia yang terletak di wilayah Cincin Api, sepatutnya kita sadar bahwa Indonesia adalah rumah geologis bagi gempa bumi dan letusan gunung berapi. Mirisnya, di saat ancaman bencana kian meningkat, anggaran yang dikeluarkan pemerintah dalam menanggulangi bencana malah berkurang.
Lebih disayangkan lagi, Hammam Riza, Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyatakan bahwa alokasi anggaran untuk mitigasi atau pencegahan bencana tergolong minim. Sebaliknya, anggaran yang digelontorkan pemerintah ketika bencana sudah terjadi tercatat lebih besar.
Jika menilik pada konsep manajemen kebencanaan, terdapat tiga fase yang harus dilakukan dalam menghadapi bencana alam. Pertama, fase prabencana yang meliputi pencegahan, peringatan, dan persiapan. Kedua, fase respons terhadap bencana yang meliputi sikap tanggap terhadap keadaan darurat yang terjadi. Ketiga, fase pascabencana yang meliputi pemulihan hingga penyembuhan korban karena trauma. Ketimpangan salah satu dari ketiga fase di atas mengakibatkan kerugian materiel dan morel yang tak terhingga.
Apabila mengacu pada pernyataan Hammam di atas, pemerintah menitikberatkan fokusnya pada fase ketiga: pemulihan dan restorasi sumber daya terdampak bencana. Padahal, tujuan manajemen kebencanaan tidak sekadar mengembalikan suatu wilayah kepada keadaan semula, melainkan mencegah supaya tidak jatuh korban besar ketika bencana terjadi. Oleh sebab itu, kita mutlak butuh manajemen kebencanaan yang lebih baik dan implementasi pendidikan kebencanaan sebagai fondasi dasar sebelum melangkah ke fase-fase selanjutnya.
Persepsi Timpang terhadap Bencana Alam
Saya sadar bahwa masyarakat Indonesia tidak akan sebodoh itu menggantungkan diri pada takdir dan ketentuan Tuhan. Apalagi mempercayai politisasi bencana alam dan mengaitkannya pada isu SARA. Ketika marak-maraknya terjadi gempa bumi, saya kerap menerima pesan daring yang menghubung-hubungkan bencana alam dengan azab dan hukuman Tuhan, dibumbui dengan ayat-ayat dari kitab suci. Mungkin bagi mereka yang mengalami krisis tersebut, bencana alam memang tampak seperti kiamat yang digambarkan pemuka-pemuka agama.
Akan tetapi kita tahu, bencana alam secara geografis disebabkan oleh alasan-alasan logis. Misalnya karena pergerakan lempeng di bawah permukaan bumi, erupsi gunung berapi yang dapat diukur, curah hujan tinggi yang diikuti kealpaan kita dalam manajemen sampah atau tata-ruang kota, dapat mengakibatkan banjir, yang merugikan kita semua.
Semua kemungkinan buruk yang bisa dinalar dan diukur, tentu saja dapat dicegah dengan seksama. Bukan sekadar menyerahkannya pada kuasa Tuhan. Pemahaman yang timpang terhadap bencana alam hanya akan memperburuk keadaan, apalagi jika disalahgunakan oknum-oknum tertentu, lalu mempolitisasinya untuk menguatkan suatu golongan, apalagi dimanfaatkan demi mengumpulkan suara dalam pemilihan umum.
Saya (tidak) mengamini sepenuhnya pernyataan Stevandi, Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi Tengah, ketika berkomentar terhadap gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi yang terjadi di Palu dan sekitarnya. Stevandi berujar dengan keras: program antisipasi bencana: rencana brilian, nol implementasi. Saya pun menggunakan kalimat pembuka tulisan ini dari apresiasi rencana yang brilian. Usulan Mendikbud dalam memasukkan pendidikan kebencanaan dalam proses belajar mengajar di sekolah juga brilian, dan saran-saran dari banyak pihak untuk mitigasi bencana alam di Indonesia juga brilian. Namun, nyaris semuanya nol implementasi. Saya tidak ingin menafikan hal-hal yang sudah dilakukan pemerintah dan tentu saja, masih menyisakan banyak ruang untuk dibenahi.
Salah satu poin penting yang sepatutnya dibenahi adalah implementasi pendidikan kebencanaan di sekolah-sekolah sedini mungkin. Hal ini dikarenakan sebagian besar korban paling rentan terhadap bencana alam adalah anak-anak. Penanaman pemahaman yang benar dalam mitigasi bencana bagi anak-anak adalah fondasi awal bagi persiapan tanggap darurat jika terjadi bencana alam sewaktu-waktu.
Kalaupun kita melihat pada besarnya dampak yang ditinggalkan, dan karena itu pendidikan kebencanaan pun dirasa urgen diimplementasikan. Ditambah dengan pengembangan manajemen kebencanaan yang seharusnya sudah membaik. Dan melalui ratusan ribu korban yang sudah melayang, kita dipaksa membuka mata terhadap ancaman serius bencana alam. Tidak berlebihan rasanya jika memandang bahwa antisipasinya sudah terlambat dilakukan, yang berakibat jatuhnya korban-korban lebih banyak di pelbagai belahan daerah di Indonesia. Lagi-lagi kita selalu punya dalih, bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali? Tapi sampai kapan?
Abdul Hadi
Editor: Ikhsan Abdul Hakim