Menyudahi Spill Identitas Korban Kekerasan Seksual: Kita Semua Pelaku?

ekspresionline.com– Dengan menyebarkan identitas korban kekerasan seksual berbalut gosip dan tuduhan, maka kita semua adalah bagian dari kekerasan itu sendiri. Dengan bungkam terhadap gosip dan tuduhan pada korban, maka kita semua menjadi legitimator kekerasan struktural yang menghimpit ruang hidup korban

 

Kekerasan seksual (KS) di UNY menjadi isu hangat pada awal tahun 2022 — meski nampaknya kini mulai padam. Sebenarnya, kekerasan seksual adalah problem yang telah bertahun – tahun mengakar di UNY. Kebungkaman, ketidakpedulian, dan amarah – amarah reaksioner membuat KS menjadi isu yang tak direspon secara sistemik. Setelah pemberitaan kasus Andini, perjuangan melawan KS makin terbentuk secara menyeluruh, terlihat hampir seluruh komponen sivitas akademik UNY merespon ini. Peluang untuk membicarakan KS secara serius menemukan titik terang.

 

Tapi, masalahnya perjuangan melawan KS tidak sesederhana membuat aturan, menindak tegas pelaku, dan sekedar membuat pernyataan sikap. Hal – hal itu penting, tapi bukanlah solusi yang akan menyudahi KS. Justru perjuangan melawan KS adalah perjuangan sistemik, menyeluruh, dan kolaboratif. Salah satu sisi yang terpenting adalah perjuangan “adil gender sejak dalam pikiran”. Bahwa, KS dalam bentuk yang paling “sehari – hari” terjadi setiap hari.

 

Fenomena KS menjadi fenomena berlapis, ia tak hanya tentang “peristiwa ketika KS terjadi”, tapi tentang sebelum KS dan sesudah KS.. Dalam isu KS di UNY, problem krusial justru terjadi pasca-KS. Menangani, menyikapi, merespon, dan menimbulkan amarah, semua itu adalah isu pasca-KS. Dalam tulisan ini, saya akan membahas bagaimana kultur spall-spill atau membocorkan identitas korban adalah bagian dari kekerasan itu sendiri. Bahwa, kita harus hati – hati pada segala macam perbincangan soal kasus, identitas korban, dan kronologi kejadian KS. Tulisan ini – dengan tidak basa – basi omong kosong fafifu – akan menyajikan argumen bahwa spall-spill dan bergosip soal kasus KS adalah kedunguan absolut dan legitimator kekerasan.

 

Langsung saja, argumen pertama adalah “identitas korban KS adalah hal yang harus dilindungi, bukan menjadi hal yang dieksploitasi”. Pemahaman pertama sebelum lebih jauh membahas KS, bahwa kekerasan akan selalu menghasilkan “pelaku” dan “korban”. Perbincangan kaum intelek soal kekerasan adalah membedah bagaimana sebuah kejadian membuat seseorang/kelompok menjadi korban, lalu berpihak padanya.

 

Dalam sebuah kekerasan dan struktur yang legitimasinya, korban adalah sosok yang utama untuk melihat KS. Bahwa menentukan keberpihakan akan mempengaruhi cara kita memandang kekerasan. Korban adalah kita semua, kita seharusnya tidak membuat gosip atau berbincang omong kosong soal identitas korban, tapi harus melindungi dan menjaga identitasnya. Cara terbaik untuk membicarakan kasus KS adalah tak menyebut nama korban, bahkan segala identitasnya lebih jauh. Pembicaraan kasus KS yang berbasis gosip dan ditujukan hanya untuk menyebar desas – desus adalah wujud “kekerasan” itu sendiri.

 

Gosip akhirnya menjadi sebuah perpanjangan dari kekerasan seksual, terutama karena gosip adalah medium eksploitasi. Gosip yang berisi “penyalahan pada korban” (victim blaming) adalah hasil konstruksi masyarakat patriarkis yang selalu memandang korban sebagai “sebab” dari KS yang menimpanya. Entah menyoal pakaian yang kurang tertutup, entah tuduhan bahwa salah korban masih terlibat dalam lingkungan tertentu, entah korban yang memancing adanya KS, semua itu adalah tuduhan yang melegitimasi pelaku kekerasan.

 

Gosip dan penyebaran informasi korban dalam kasus KS bisa memancing tuduhan – tuduhan itu berkeliaran secara liar dalam tongkrongan, obrolan antar sirkel. Apalagi lebih sadis, jika pembicaraan soal KS justru ditujukan hanya untuk menyebar desas – desus yang menuduh dan memojokan ruang hidup korban. Banyak orang tak menyadari bahwa korban sedang menghadapi hal traumatik, bahwa korban – korban KS membutuhkan ruang hidup tanpa diskriminasi, gosip, dan tuduhan (judgment). Bahwa, korban sedang berusaha bertahan hidup setelah harga diri dan eksistensinya dihancurkan oleh kekerasan yang dialaminya.

 

Membiarkan korban menjadi sumber gosip di burjo dan tongkrongan adalah bukti kedunguan mahasiswa — terutama sebagai golongan intelektual, atau dalam slogan halusinatif disebut “agent of change”. Justru ketika nama dan identitas korban sampai di telinga kita melalui gosip, kita berkewajiban memberhentikan penyebaran ini. Berhenti menyebar gosip dan tuduhan yang menyalahkan korban adalah bentuk perlawanan. Seperti ditulis oleh bell hooks, bahwa patriarki adalah struktur kuasa hegemonik yang bekerja dalam hidup sehari – hari (2004: 29-31). Sehingga melawan patriarki adalah perlawanan yang berbasis pada cara hidup sehari – hari, entah itu interaksi, proses komunikasi, hingga berbagai tindakan keseharian lainnya.  Memutus rantai informasi para penyebar tuduhan yang memandang kekerasan sebagai gosip adalah contoh perlawanan terkecil, sebuah perlawanan sehari – hari yang membuktikan kita berpihak pada korban. Dengan cara “terkecil” ini kita ikut terlibat mendukung ruang hidup yang aman bagi korban KS, terutama aman dari tuduhan – tuduhan dan segala bentuk fitnah — yang adalah pelanggengan dari kekerasan patriarkal itu sendiri.

 

Melihat kekerasan seksual sebagai multi-kekerasan, lapisan kekerasan, membuat kita bisa melawan melalui hal – hal yang dianggap kecil. Adil sejak dalam pikiran, kata Pramoedya. Pikiran yang tak adil akan menghasilkan tindakan yang tak adil. Konstruksi masyarakat yang cenderung menuduh korban, sebuah masyarakat patriarkis dan androsentris, akan menghasilkan tindakan kekerasan berlapis pada korban. Pasca-KS para korban malah dijejali berbagai tuduhan dan tatapan sinis, itu semua muncul dari pemikiran tak adil. Dalam konteks ini, mustahil mahasiswa menjadi golongan intelektual yang memproduksi keadilan dalam setiap ruang hidup jika mahasiswa tak melampaui kedunguan dan ketidakadilan sejak dalam pikirannya itu.

 

Argumen kedua: “seruan – seruan perjuangan mahasiswa adalah omong kosong dan kedunguan absolut jika (secara kolektif) mahasiswa tidak melampaui normalisasi kekerasan dalam dirinya”. Otokritik pada diri sendiri, gerakan sendiri, dan kolektif sendiri adalah penting, hanya melalui otokritik sajalah kekerasan bisa dilampaui mahasiswa. Melampaui KS dalam bentuk yang sehari – hari tak kalah pentingnya dibanding membuat segudang program kerja tentang KS dalam kementerian semu negara mahasiswa UNY. Mulai dari menggugat percakapan patriarkis – androsentris dalam tongkrongan, normalisasi KS melalui jokes – jokes seksis, hingga menghalau KS melalui produksi pengetahuan (diskusi, menulis, dll).

 

Seperti bell hooks jelaskan, bahwa melawan KS dan segala kekerasan patriarkal itu tak cukup dengan program politik tertentu. Dalam istilah hooks, dikenal istilah “progressive cultural revolution/revolution of value” atau sebuah gerakan dimana hegemoni patriarki dilawan secara menyeluruh (2004: 25, 154) . Mulai permasalahan makro yang menyangkut isu sosial – politik hingga kekerasan berbasis gender dalam kehidupan sehari – hari. Melawan patriarki dan kekerasan berbasis gender adalah melawan penindasan paling kuno dalam sejarah umat manusia, sehingga memang tak cukup dengan cara – cara formal — apalagi dengan program yang hanya fokus pada LPJ-sentrisme dan segenap program elit politik negara mahasiswa.

 

Melawan KS akhirnya adalah proyek holistik yang kolaboratif, ia bukan tanggungjawab politikus kampus atau birokrasi — dalam kata lain, menuntut atau mendemo birokrasi dan berhasil “menang” bukanlah solusi utama yang secara ajaib akan menghilangkan struktur kekerasan begitu saja. Justru melawan KS adalah tanggungjawab semua orang! Mulai dari melawan kekerasan sehari – hari hingga menerapkan regulasi anti KS di UNY, semua unsur perlu bersinergi bersama. Tetapi yang substansial, bagaimana menjamin sebuah ruang hidup bersama dimana korban KS mendapat keadilan —- sejak dalam pikiran, ruang kelas, ruang sekretariat UKM, interaksi sehari – hari, dan semua dimensi hidup yang terkecil sekalipun.

 

Jika golongan mahasiswa sendiri tak bisa melampaui ini, maka “kita semua adalah pelaku” yang melanggengkan struktur kekerasan patriarkal, melegitimasi relasi gender yang timpang, dan melanjutkan normalisasi multi-kekerasan yang dialami korban KS. “Spill dong kak” sebagai ungkapan keingintahuan berlebih — yang cenderung berakhir menjadi gosip — harus dilawan.

Kontributor: Amos/Mahasiswa Ilmu Sejarah 2019

Editor: Suden

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *