Ekspresionline.com
  • Selasar
    • Saksama
    • Wara-wara
    • Citra
    • Rona dan Nada
  • Sentra
  • Editorial
  • In-depth
  • Japat
  • Fokus
    • Analisis Utama
    • Laporan Khusus
    • Telusur
  • Berita
    • Lingkup Kampus
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Jogja
  • Perspektif
    • Ruang
    • Opini
    • Wacana
  • Resensi
    • Buku
    • Film
    • Musik
  • Minor
    • Margin
    • Tepi
  • Sosok
    • Profil
    • Obituari
    • Wawancara Khusus
  • Foto
  • Infografik
No Result
View All Result
  • Selasar
    • Saksama
    • Wara-wara
    • Citra
    • Rona dan Nada
  • Sentra
  • Editorial
  • In-depth
  • Japat
  • Fokus
    • Analisis Utama
    • Laporan Khusus
    • Telusur
  • Berita
    • Lingkup Kampus
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Jogja
  • Perspektif
    • Ruang
    • Opini
    • Wacana
  • Resensi
    • Buku
    • Film
    • Musik
  • Minor
    • Margin
    • Tepi
  • Sosok
    • Profil
    • Obituari
    • Wawancara Khusus
  • Foto
  • Infografik
No Result
View All Result
Ekspresionline.com
No Result
View All Result
Home Wacana

Militer dan Media di Indonesia

by Ahmad Yasin
Tuesday, 1 October 2019
0
Militer dan Media di Indonesia

Parade ABRI setelah Supersemar dan kejatuhan Soekarno. Foto via Wikimedia Commons/Yayasan Kesejahteraan Jayakarta - Kodam V Jaya; Badan Penerbit Almanak RI/B.P. Alda.

Share on FacebookShare on Twitter

Ekspresionline.com–Militer dan media punya pertalian erat. Keduanya bisa lahir dari kondisi negara yang tidak menentu. Saat terjadi krisis politik, militer dituntut berperan mengatasi persoalan dalam negeri. Tidak hanya di lapangan, militer juga butuh strategi meraup dukungan dan legitimasi atas tindakan-tindakannya. Media yang dijalankan oleh militer tentu mengambil peran tersebut.

Di Indonesia, saya teringat kasus Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata. Saat banyak media cetak diperintah untuk tidak terbit pasca peristiwa G30S 1965, kedua surat kabar itu adalah koran yang bisa terbit dan menderaskan informasi dari pasokan Pusat Penerangan ABRI.

Sebaran informasi tentang perkembangan kasus G30S akhirnya berefek pada persepsi terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan simpatisannya. Tanpa tandingan atau alternatif, pembaca menafsirkan peristiwa tersebut sesuai dengan tafsir versi militer. Sebab, akses informasi hanya bisa diperoleh dari media-media yang dikuasai militer.

Melihat konten-konten yang dimuat mereka, telah muncul beberapa studi yang menguji validitas pemberitaan kedua “media berseragam” itu atas peristiwa G30S 1965. Belakangan, kita menemu jawab bahwa tidak terdapat bukti penyiksaan terhadap para jenderal yang diculik ke Lubang Buaya seperti disampaikan kedua media berseragam itu.

Jelas sekali, redaksi media berseragam itu tidak mendasarkan pada hasil otopsi ketujuh mayat jenderal sebagai bukti primer untuk sumber berita. Padahal, pemberitaan mereka berefek pada kemarahan berbagai pihak untuk mengganyang PKI.

Kita pun mafhum, media itu mewakili mulut militer Indonesia, wabilkhusus Angkatan Darat, yang memang berseberangan dengan PKI. Rivalitas militer-PKI terbangun karena beda pendapat masing-masing pihak terhadap pengorganisasian angkatan bersenjata dan persaingan mereka mencari perhatian Presiden Sukarno—belum ditambah dengan situasi Perang Dingin. Maka, ketika militer menjadi pengendali tunggal situasi Indonesia pasca-G30S, kesempatan ini digunakan untuk memukul telak PKI dan pihak yang dituduh terlibat peristiwa tersebut, salah satunya lewat media.

Pola serupa dengan yang dilakukan Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata pernah terjadi saat masa-masa revolusi fisik. Ketika proklamasi kemerdekaan sudah dinyatakan Sukarno, Sekutu mencoba kembali ke Indonesia untuk melucuti tentara Jepang dan mempertahankan status quo sebelum diserahkan kembali kepada Belanda. Militer Inggris, wakil dari Sekutu, mendarat di Indonesia dan segera menunaikan misinya.

Kebutuhan komunikasi dan propaganda Sekutu diperlukan guna mendukung misi militer Inggris. Dengan mendirikan kantor di Jakarta, The Fighting Cock dan Evening News terbit sebagai surat kabar penyambung lidah Sekutu. Muhammad Yuanda Zara (2015) mencermati kecenderungan kedua media milik militer Inggris tersebut dalam memberitakan tindakan-tindakan militer Inggris, kepentingan Belanda, dan kelakuan orang Indonesia bersenjata.

Yuanda mencoba menariknya lebih jauh dengan mengulas latar belakang The Fighting Cock dan Evening News. Divisi India ke-23 Angkatan Bersenjata Inggris adalah penanggung jawab penerbitan koran yang disebut pertama. Nama koran itu diambil sesuai dengan nama divisi yang terdiri dari orang Inggris, Nepal, dan India yang dikenal dalam mencegah serangan Jepang ke India.

Sementara itu, karena kantor Evening News seatap dengan Markas Besar Sekutu di Jakarta, koran tersebut dimaksudkan sebagai juru bicara resminya. Tak ayal, pengumuman resmi tentang kebijakan Inggris di Indonesia kerap menjadi berita utamanya.

Menyitir Yuanda, kedua media Sekutu tersebut berkali-kali membingkai tindakan militer Inggris dan perlawanan pejuang-pejuang Indonesia. Beberapa kali edisinya menekankan aspek mulia militer Inggris yang datang ke Indonesia untuk membebaskannya dari penjajahan Jepang dan menyelamatkan tawanan sipil Eropa. Sementara penentangan terhadap kembalinya Belanda di bawah Sekutu justru dianggap sebagai tindakan “ekstremis” dan ”pengganggu” yang mengacaukan niat baik mereka.

Munculnya framing dari The Fighting Cock dan Evening News setidaknya berpangkal dari pandangan Inggris sendiri terhadap kolonialisme Belanda di Indonesia. Mereka menganggap kolonialisme Belanda adalah kisah sukses orang asing yang melakukan perdagangan luar negeri dan mentransformasi Jawa.

Legitimasi historis “kemuliaan” Belanda pun dilakukan dengan menyebut Jan Pieterszoon Coen dan Daendels sebagai pahlawan Hindia Belanda. Padahal penderitaan dan penindasaan masyakarat “pribumi” akibat pemerintahan kolonial Belanda adalah alasan mengapa kedatangan kembali mereka ke Indonesia ditentang pejuang-pejuang yang disebut ekstremis itu. Tampak bahwa media Sekutu melakukan penonjolan dan penekanan pada isu tertentu saja sembari mengabaikan isu lain.

Kecenderungan pemberitaan media Sekutu yang berat sebelah membuka kemungkinan bahwa mereka melakukan politik penandaan. Politik penandaan adalah upaya untuk membentuk kerangka berpikir pembaca berdasarkan kategorisasi-kategorisasi yang dibuat media. Pada dasarnya, pembaca pun memahami tulisan dengan berdiri di titik lihat tertentu (Eriyanto, 2002).

Politik penandaan jamak dipakai agar memunculkan dua pihak yang amat kontras. Dalam bahasa John Hartley, sebuah berita juga melahirkan narasi layaknya karya fiksi, di mana ada tokoh protagonis dan antagonis. Media Sekutu memainkan politik penandaan tersebut untuk membangun framing bahwa Inggris adalah pihak yang bertujuan baik, sesuai hukum, sementara Indonesia dianggap perusuh, pelawan hukum, dan ekstremis.

The Fighting Cock, misalnya, meskipun mengaku tidak bertujuan propaganda, tetapi Yuanda menangkap nada pemberitaan konflik Inggris dan Indonesia amat timpang. Pemberitaan itu menekankan kekejaman orang Indonesia tanpa mengkonfirmasi orang Indonesia sendiri, sementara kepolosan anak-anak dan wanita yang diposisikan sebagai korban memperoleh porsi cukup besar.

Hal yang sama dilakukan Evening News, di mana mereka hanya menyediakan ruang bagi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, H. van Mook saat menanggapi kegagalan konferensi antara perwakilan Belanda dengan pemerintah Indonesia. Dengan bersikap seolah sebagai pihak terzalimi, Van Mook mengekspos keburukan Indonesia secara panjang lebar tanpa tercantum bantahan dari perwakilan Indonesia. Jelas bahwa kedua media Sekutu tersebut tidak melakukan cover both side dan verifikasi.

Selain latar belakang dua media Sekutu itu, kecenderungan pemberitaan Evening News dan The Fighting Cock turut disumbang oleh fakta bahwa awak wartawan mereka juga merangkap sebagai prajurit Inggris yang terjun ke medan tempur. Lengkap sudah untuk menilai independensi media Sekutu tersebut.

Mengapa Militer?

Saya kira keempat media berseragam di atas adalah contoh baik bagaimana militer menguasai bidang informasi dan komunikasi. Pertanyaannya, mengapa militer? Jawabannya setali dengan fungsi pertahanan dan maksud politik institusi ini. Militer punya segudang insfrastruktur yang bisa menyokong itikad mereka, termasuk menggiring wacana publik lewat media.

Peran di bidang ini tidak sekadar menunjukkan fungsi propaganda, melainkan bukti beragamnya strategi militer untuk membekuk musuh. Selain itu, kecenderungan pemberitaan media-media di atas didukung oleh sedikitnya akses informasi. Keterbatasan ini melapangkan jalan mereka dalam memonopoli informasi dengan tujuan memengaruhi wacana publik.

Kita sering kecele karena mengasumsikan bahwa militer adalah institusi yang kaku, paling nasionalis, dan selalu tunduk pada garis komando. Padahal, militer juga punya dinamika dan kepentingan untuk mengokohkan mereka menjadi satu kelas tersendiri di sebuah masyarakat. Hal itu diwujudkan, salah satunya, dengan bertindak menyerupai kaum sipil atau disebut civic action.

John Rossa (2008) menandai bahwa kemunculan Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha adalah salah satu bentuk civic action militer Indonesia. Civic action dilakukan untuk menyetarakan kekuatan dengan PKI di tengah konstelasi politik Indonesia tahun 1960-an. Selain itu, hal ini untuk mempersiapkan kalangan militer duduk di tampuk kekuasaan ketika saatnya tiba. Maka, civic action sesungguhnya merupakan program guna merebut hati dan pikiran orang.

Militer Indonesia tidak bergerak sendiri. Civic action direalisasikan berkat relasi kompleks antara beberapa perwira di tubuh Angkatan Darat dengan Amerika Serikat saat Perang Dingin sedang hangat-hangatnya. Puncaknya, kontrol mereka terhadap informasi telah berandil membidani narasi tunggal atas salah satu fragmen sejarah Indonesia.

Meskipun mereka memakai embel-embel jurnalisme sebagai alat agitasi/propaganda, bukan berarti kita harus mengamininya sebagai produk jurnalistik. Beberapa elemen jurnalisme masih tidak dipenuhi media-media berseragam itu. Rekam jejak di atas menunjukkan bahwa militer dan media memang bisa beririsan untuk kepentingan tertentu.

***

Hari ini, informasi memang bisa diperoleh secara bebas. Namun, hal itu tidak menjamin bahwa hak kita untuk mengaksesnya terlindungi. Pemerintah dapat mengintervensi jaringan komunikasi dan informasi yang akhirnya merampas hak kita untuk mengakses peristiwa-peristiwa tertentu.

Kita tidak tahu, apa kepentingan pemerintah. Namun, mereka punya legitimasi hukum untuk menetukan mana informasi yang harus dipercaya, entah benar atau tidak. Situasi Indonesia belakangan menunjukkan hal itu dan intervensi yang berlebihan harus kita gugat. Apabila kita tidak kritis dan kurang pengetahuan historis, bukan tidak mungkin akan ada segilintir pihak yang mengarahkan wacana publik sesuai kepentingannya—sama seperti situasi Indonesia pada saat revolusi fisik dan pasca tragedi 1965.

Ahmad Yasin

Editor: Ikhsan Abdul Hakim

Daftar Pustaka

Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Komunikasi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS

John Rossa. 2008. Dalih Pembunuhan Massal. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra.

Zara, Muhammad Yuanda. (2015). “Gallant British-Indians, Violent Indonesians: British-Indonesian Conflict in Two British Newspapers, The Fighting Cock and Evening News (1945-1946)”. Patrawidya, 16(4), 515-528.

Previous Post

Festival Kali Gawe Ditutup dengan Parade Band Lokal

Next Post

Tuntutan Belum Terpenuhi, Aliansi Rakyat Bergerak Berdemonstrasi Lagi

Related Posts

COVID-19 dan Kartel Narkotika: Ancaman Ganda bagi Meksiko

COVID-19 dan Kartel Narkotika: Ancaman Ganda bagi Meksiko

Monday, 6 July 2020
Agama Kaharingan: ‘Dirangkul’ Pemerintah, Belum Siap Diterima Masyarakat

Agama Kaharingan: ‘Dirangkul’ Pemerintah, Belum Siap Diterima Masyarakat

Sunday, 12 April 2020
Quarter Life Crisis: Anak Muda Kere, Labil, dan Kesepian

Quarter Life Crisis: Anak Muda Kere, Labil, dan Kesepian

Wednesday, 29 January 2020

Warisan Peristiwa Pembantaian Massal 1965

Sunday, 1 December 2019
Mengenang Peristiwa Gejayan 1998, Pelanggaran HAM yang Belum Tuntas

Mengenang Peristiwa Gejayan 1998, Pelanggaran HAM yang Belum Tuntas

Tuesday, 24 September 2019
Malu Jika Militer Masuk Kampus Melulu

Malu Jika Militer Masuk Kampus Melulu

Tuesday, 10 September 2019
Next Post
Tuntutan Belum Terpenuhi, Aliansi Rakyat Bergerak Berdemonstrasi Lagi

Tuntutan Belum Terpenuhi, Aliansi Rakyat Bergerak Berdemonstrasi Lagi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ekspresionline.com

© 2022 Lembaga Pers Mahasiswa EKSPRESI UNY

Navigate Site

  • KONTRIBUSI
  • IKLAN
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • TENTANG KAMI
  • HUBUNGI KAMI

Follow Us

No Result
View All Result
  • Selasar
    • Saksama
    • Wara-wara
    • Citra
    • Rona dan Nada
  • Sentra
  • Editorial
  • In-depth
  • Japat
  • Fokus
    • Analisis Utama
    • Laporan Khusus
    • Telusur
  • Berita
    • Lingkup Kampus
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Jogja
  • Perspektif
    • Ruang
    • Opini
    • Wacana
  • Resensi
    • Buku
    • Film
    • Musik
  • Minor
    • Margin
    • Tepi
  • Sosok
    • Profil
    • Obituari
    • Wawancara Khusus
  • Foto
  • Infografik

© 2022 Lembaga Pers Mahasiswa EKSPRESI UNY