Penerjemah: H.R. Sumarsono
Penerbit: Narasi
Tahun: 2011
Halaman: xii + 800
Ekspresionline.com–Ki Ageng Pemanahan begitu percaya diri mengenai ramalan bahwa keturunannya akan menjadi penguasa seluruh tanah Jawa. Maka, ia sangat ngebet agar Raja Pajang segera menyerahkan tanah Mataram kepadanya, seperti yang dijanjikan Raja Pajang dulu apabila berhasil menumpas Arya Penangsang.
Bertahun-tahun kemudian, ketika Mataram telah dibabat alas, Senopati—putera Pemanahan—tumbuh makin perkasa dan sakti mandraguna. Suatu malam, sebuah bintang sebesar kelapa jatuh di atas ulu hatinya, sembari mengatakan kepadanya bahwa ia akan menjadi penguasa Jawa beserta keturunannya, hingga ke cicit-buyutnya. Bintang itu lalu sirna. Senopati beranjak dengan keyakinan yang makin menebal: dirinyalah keturunan Pemanahan yang akan merintis terwujudnya ramalan itu. Benteng lalu dibangun di Mataram. Saat tiba penobatannya sebagai raja, ia bergelar Senopati Ing Alaga.
***
Secuplik cerita di atas adalah prolog di Babad Tanah Jawi tentang sejarah raja-raja Mataram Islam yang mulai berkuasa sejak abad 16. Kerajaan Mataram tumbuh dengan kekuasaan yang mengangkangi hampir seluruh Pulau Jawa kurang lebih 100 tahun. Barangkali tidaklah berlebihan untuk mengatakan jika pengaruh kerajaan ini mencapai berbagai wilayah di Jawa, baik di kota besar maupun kecil.
Mataram dibangun dan dipertahankan dalam situasi politik yang dinamis. Satu periode kekuasaan yang tenteram di Jawa tidak selamanya dapat langgeng. Pergantian pucuk kerajaan oleh putera mahkota acap ditandai sebagai titik tolak dinamika itu. Antar-pangeran saling jegal atau dengan paman sendiri untuk berebut posisi raja; pemberontakan meletus, bahkan di wilayah-wilayah yang tak diperhitungkan; belum dengan pengkhianatan atau pembelotan di lingkaran terdekat raja sendiri.
Jika kita amati di Babad Tanah Jawi, situasi politik demikian telah berlangsung lama di Jawa dan menggulung satu per satu kerajaan di sana. Maka, suksesi memang sering menjadi momok kerajaan-kerajaan tradisional, seperti terekam jelas dalam Babad Tanah Jawi. Setiap raja akan was-was terhadap pengganti dirinya. Ia kadang berhitung dengan keadaan agar keputusannya memilih pengganti tak boleh melukai pihak-pihak tertentu.
Watak kekuasaan raja-raja di Jawa seperti itu akhirnya menyingkap kelemahan akan legitimasi mereka menjadi penguasa. Dengan apakah legitimasi itu? Pembenarannya melalui wahyu—sebuah kekuatan adikodrati dalam bentuk tanda-tanda gaib yang menciptakan keyakinan bagi seseorang bahwa dirinya memperoleh petunjuk untuk melakukan sesuatu. Dua paragraf pertama tulisan ini sedikit banyak memberi gambaran bagaimana sebuah wahyu bekerja untuk melahirkan seorang penguasa.
Kekuasaan yang mengandalkan “wahyu” didukung oleh kepercayaan bahwa seorang raja adalah wakil Allah di dunia. Setiap keputusan, perintah, atau instruksi dari raja dianggap merupakan keputusan, perintah, atau instruksi Allah yang mengirim petunjuk-petunjuknya lewat wahyu.
Hal ini memang menyamakan kapasitas raja dengan nabi, representasi Allah di dunia. Salah satu bunyi dari petikan Serat Centhini bahkan menguatkan itu: “…. Sang ratu gantyaning nabi, nabi gantyaning Hyang Agung, ratu-nabi prasating, Hyang Maha Agung kang kadular.” (Anderson, dalam Setiawan, 1998: 58)
Konsep kekuasaan yang demikian akhirnya menafikan asas etik dan moral sebagai bentuk pertanggungjawaban seseorang sebagai pemimpin. Si Raja sendiri menganggap bahwa dirinya hanya menjalankan tugas suci dari kekuatan adikodrati, sehingga ia hanya mengenal konsekuensi dari hubungan dirinya dengan kekuatan adikodrati tersebut. Dengan demikian, raja tak perlu bertanggung jawab kepada rakyat atas semua kebijakannya, begitu pula sebaliknya.
Masalahnya, wahyu bukanlah sesuatu yang mutlak dimiliki oleh satu orang saja. Wahyu dapat berpindah ke orang lain, yang mana seseorang bisa mengklaim menjadi khalifatullah dan menggoyahkan status quo. Inilah kelemahan dari legitimasi seorang raja Jawa.
Kasus seperti itu banyak terungkap di Babad Tanah Jawi. Misalnya, saat Pangeran Puger merasa yakin bahwa dirinya ditakdirkan sebagai penerus tahta kerajaan setelah melihat dan mengecup setitik cahaya di pucuk alat kelamin jenazah Amangkurat II. Maka, ia pun bersedia diangkat oleh Pangeran Cakraningrat dan Tumenggung Jangrana menjadi raja baru ketika melancarkan pemberontakan terhadap Amangkurat III, yang tak lain keponakannya sendiri.
Sejauh ini, saya sepakat dengan pendapat Ong Hok Ham di salah satu esainya, “Wahyu yang Hilang, Keraton yang Guncang”. Ong menjelaskan bahwa kekuasaan raja Jawa memang cukup rentan karena sifat wahyu yang dapat berpindah-pindah. Ketika seorang penguasa dianggap kehilangan wahyu, keraton akan digoyang keguncangan yang bisa mendemoralisasi dan mendelegitimasi eksistensi kerajaan.
Selain itu, seorang raja juga akan terguncang menghadapi ramalan tentang keberlanjutan dirinya memimpin kerajaan. Terlepas dari perdebatan tentang kebenaran ramalan adalah ciptaan para pemberontak, raja mana yang tak waspada pada masa itu ketika mendengar ramalan bahwa umur kerajaannya hanya sampai keturunan ketujuh? Ramalan merupakan salah satu konsekuensi dari hubungan raja dengan kekuatan adikodrati, sehingga ia sendiri pun tak bisa menolaknya, bahkan tatkala ramalan itu buruk buat dirinya.
***
Akan tetapi, kekuasaan seseorang memang tak semuanya bisa diperoleh dari wahyu. Wahyu hanyalah dalih dari berbagai situasi sosial-politik yang menjadi perhitungan seseorang sebelum mendaku sebagai raja.
Beberapa peristiwa dalam Babad Tanah Jawi menunjukkan bahwa seseorang bisa mengangkat dirinya menjadi raja karena memanfaatkan kekosongan struktur di satu wilayah. Beberapa yang lain menggunakan dendam dengan meletuskan pemberontakan agar raja yang sah dapat lengser keprabon. Dapat disimpulkan, legitimasi seorang penguasa masih tetap mempertimbangkan faktor-faktor lain.
Walaupun kita tidak wajib mempercayai sepenuhnya isi Babad Tanah Jawi—karena diaduk dengan mitos—tetapi kehadirannya amat penting untuk menengok corak kekuasaan dan konteks politik Pulau Jawa di masa lalu. Separuh dari isi Babad Tanah Jawi dianggap oleh para ahli masih bisa dipercaya sebagai sejarah karena merekam peristiwa-peristiwa di masa Mataram Islam hingga Pakubuwono II. Alih-alih menolaknya sebagai historiografi, paling tidak kita dapat menempatkan Babad Tanah Jawi, seperti kata Ong, menjadi dokumen sosial penting tentang Jawa tempo dulu.
Ahmad Yasin
Editor: Abdul Hadi