UNY Perlu Menindaklanjuti Regulasi Kekerasan Seksual

Ekspresionline.com–Sejak Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) disahkan, mulai banyak penyintas yang berani bercerita tentang kekerasan seksual di kampus. Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021 PPKS menjadi harapan keadilan untuk penyintas kekerasan seksual di kampus.
Menilik data Catatan Tahunan 2021 KOMNAS Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan), jumlah kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 mencapai 299.991 kasus. Bahkan Nadiem Makarim menegaskan bahwa sekarang kita tidak hanya menghadapi pandemi COVID-19, tapi kita juga menghadapi pandemi kekerasan seksual.
Kasus kekerasan seksual tak ubahnya seperti gunung es, dimana jumlah kasus yang terjadi lebih tinggi daripada yang dilaporkan. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya edukasi terkait kekerasan seksual dan penegakan hukum yang lemah. Kondisi ini menggerakkan LitBang LPM Ekspresi dibantu kawan-kawan magang LPM Ekspresi untuk menjaring data terkait kesadaran mahasiswa UNY terhadap regulasi kekerasan seksual di UNY.
Jajak pendapat ini dilakukan dari 18 September 2021 hingga 14 Desember 2021 sehingga dapat menghimpun 391 responden. Instrumen yang kami gunakan adalah kuesioner online dengan metode random sampling. Penyebaran responden pada setiap angkatan yaitu angkatan 2021 sebanyak 53%, angkatan 2020 sebanyak 22%, angkatan 2019 sebanyak 15%, angkatan 2018 sebanyak 8%, dan angkatan 2017 sebanyak 2%.
Mahasiswa UNY Peduli Kekerasan Seksual di Kampus
Berbicara terkait kekerasan seksual menjadi sesuatu hal yang tabu untuk beberapa orang. Namun, mahasiswa UNY telah sadar bahwa edukasi terkait dampak kekerasan seksual penting untuk dilakukan. Sebanyak 98% mahasiswa berpendapat penting untuk membicarakan edukasi dampak traumatis penyintas. Responden mengungkapkan menginginkan ada ruang-ruang edukasi kekerasan secara masif di UNY.
Mengutip pendapat salah satu responden, “Lebih digencarkan sosialisasi isu ini kalau perlu bisa dijadikan materi khusus pada PKKMB atau softskill maba.” Antusias mahasiswa untuk mendapatkan edukasi kekerasan seksual seharusnya menggerakkan birokrasi untuk melakukan edukasi masif sebagai upaya pencegahan.
Namun, masih terdapat enam mahasiswa mengatakan bahwa edukasi dampak kekerasan seksual sangat tidak penting. Salah satu responden berpendapat, “Angkatan 2020 maupun 2021 belum mencicipi kuliah luring. Maka dari itu, saya kira kita sebagai mahasiswa masa corona belum bisa lebih membahas ini lebih dalam”.
Padahal seharusnya untuk pencegahan kasus kekerasan seksual mahasiswa baru lebih relevan untuk mendapatkan edukasi kekerasan seksual. Seperti pendapat dari salah satu responden, “Jangan nunggu viral please”. Edukasi kekerasan seksual seharusnya masif dilakukan tanpa harus nunggu kasus kekerasan seksual terlebih dahulu.
Sebanyak 98% dari total responden mahasiswa berpendapat bahwa isu kekerasan seksual di kampus penting untuk segera dibahas dan diselesaikan. Salah satu responden menegaskan pendapatnya, ”Memberikan sosialisasi mengenai pendidikan seksual kepada setiap kelas minimal satu kali dalam seminggu agar informasi yang disampaikan bisa tepat sasaran kepada mahasiswa dalam satu kelas, karena jika hanya diadakan sosialisasi secara umum banyak terjadi mahasiswa acuh dan tidak mendengarkan apa lagi memahami.”
Tentunya benar masih terdapat mahasiswa yang acuh tak acuh mengenai isu ini. Dalam survei ini terdapat empat orang menganggap bahwa isu kekerasan seksual di kampus sangat tidak penting.
Namun, kesadaran mahasiswa UNY terhadap isu kekerasan seksual tidak sebanding lurus dengan pengetahuan terkait regulasi dan penanganan kekerasan seksual. Sebenarnya UNY telah memiliki Peraturan Rektor No.17 yang mengatur tentang penanggulangan kekerasan seksual di UNY.
Terdapat beberapa pendapat responden yang menyinggung terkait Peraturan Rektor No.17, “Alangkah baiknya jika isi dari regulasi tersebut menjelaskan lebih detail mulai pengertian dari kekerasan seksual, prosedur pelaporan yang sederhana dan tidak menyulitkan korban, serta perlindungan dan penyembuhan penuh terhadap korban mulai dari layanan psikologis dan terjaminnya pendidikan korban hingga yudisium.kemudian juga harus ada hukuman yang pantas untuk pelaku.
Selama proses penanganan kasus tersebut, korban harus didampingi oleh pihak atau tim resmi dari kampus yang paham betul mengenai kekerasan seksual dan dapat dipastikan bahwa pihak tersebut tidak dalam pengaruh “kelompok-kelompok tertentu”. Aturan-aturan tersebut juga harus disosialisasikan kepada seluruh elemen kampus secara berkelanjutan”.
Pendapat responden yang lain, ” Mengadakan sosialisasi mengenai peraturan yang dibuat oleh kampus dan peraturan tersebut tidak hanya sebatas formalitas saja.” Kurangnya sosialisasi Peraturan Rektor No.17 dibuktikan dengan dari 391 responden hanya 21% responden yang menyatakan bahwa mereka tahu terkait Peraturan Rektor No.17. Sisanya sebanyak 79% responden mengatakan tidak tahu perihal Peraturan Rektor No.17.
Sebanyak 91% responden mengatakan bahwa mereka tidak pernah mengikuti sosialisasi Peraturan Rektor No.17. Hanya 9% yang mengatakan pernah mengikuti sosialisasi Peraturan Rektor No.17. Sosialisasi yang tidak masif menyebabkan banyak penyintas bingung perihal alur pelaporan kekerasan seksual di UNY. Seperti pendapat salah satu responden, “sosialisasi wajib bagi seluruh mahasiswa UNY dan semua harus hadir kemudian adanya kejelasan mengenai kemana kita harus melapor.”
UNY sebenarnya sudah berkomitmen memberantas kekerasan seksual di Kampus, melalui Peraturan Rektor Nomor 17 Tahun 2021. Namun sebanyak 41% responden tidak tahu menahu tentang peraturan ini. Dari 391 responden terdapat 41% mahasiswa menyatakan bahwa mereka tidak tahu terkait sistem pelaporan yang ada di UNY.
Sementara itu, sebanyak 59% mahasiswa mengatakan bahwa mereka tahu sistem pelaporan kasus kekerasan seksual di kampus. Hal ini membuktikan bahwa UNY tidak mensosialisasikan secara merata tentang Peraturan Rektor No.17.
Mahasiswa UNY sangat menginginkan regulasi kekerasan seksual di UNY segera dibuat. Sebanyak 95% mahasiswa mengatakan bahwa sangat penting untuk segera membentuk regulasi kekerasan seksual di kampus. Sisanya sebanyak 5% menyatakan bahwa regulasi kekerasan seksual sangat penting sehingga harus segera dibuat. Regulasi kekerasan seksual tentunya tidak hanya melalui perspektif salah satu orang saja.
“Revisi Peraturan Rektor no 17 itu dan libatkan masyarakat uny yang punya perspektif gender untuk duduk bersama dan membahas peraturan yang akan dibuat untuk lingkup UNY. Mengenai Satuan Tugas (SATGAS), birokrasi UNY harusnya segera membicarakan topik ini ke mahasiswa maupun ke dosen atau tenaga kependidikan, agar mereka juga tahu dan paham ada peraturan yang menyangkut kekerasan seksual. Ku pikir kalo kita gerak bersama akan menghasilkan satu tujuan yg sama, yakni menciptakan kampus bebas predator seksual!” tegas salah satu responden.
Ketidakpahaman mahasiswa UNY terkait regulasi yang ada di kampus mereka sendiri adalah bukti bahwa UNY belum sepenuhnya melakukan sosialisasi terkait Peraturan Rektor No. 17 tentang Penanggulangan Kekerasan Seksual di UNY.
Hal ini juga beriringan bahwa masih banyak hal yang kurang tepat di Peraturan Rektor No. 17 Tentang Penanggulangan Kekerasan Seksual di UNY dengan dibuktikan bahwa masih banyak mahasiswa UNY yang tidak paham terkait alur pelaporan kasus kekerasan seksual di UNY. Sehingga mahasiswa UNY sangat berharap segera dibuat regulasi kekerasan seksual di UNY. Regulasi ini akan sangat berguna untuk pencegahan melalui edukasi hingga penanganan apabila telah terjadi kekerasan di UNY.
Fatonah Istikomah
Editor : Muhammad Akhlal