Ekspresionline.com–Tahun 2017, di musim hujan, berbekal sebuah alamat yang saya temukan di Google, saya mencari rumah seorang profesor. Sejumlah foto saya telusuri agar mendapat gambaran yang cukup tentang rupa rumah tersebut.
Setelah beberapa waktu, tibalah saya pada sebuah rumah yang cukup besar dengan kayu-kayu yang tampak kokoh. Belakangan saya ketahui bahwa rumah tersebut dirancang oleh arsitektur, penulis, dan rohaniawan, Y.B. Mangunwijaya.
Pemilik rumah itu adalah Arief Budiman, akademisi, aktivis, sekaligus budayawan. Namanya mungkin kalah beken dengan sang adik, Soe Hok Gie, aktivis legendaris itu. Arief lahir dengan nama asli Soe Hok Djin di Jakarta, tiga Januari 1941. Bersama Gie, sang adik, ia mencatatkan sejarah bahwa aktivisme dan peran intelektual sangat berperan dalam mengubah arah zaman.
Kedatangan saya disambut oleh Leila Chairani Budiman, istrinya. Disusul kemudian Arief Budiman yang duduk di kursi roda. Informasi yang beredar tentang kesehatan Arief benar adanya. Saat itu, ia tengah berjuang melawan penyakit parkinson yang sejak lama menghinggapi dirinya. Ia tampak lebih tua dari yang saya bayangkan sebelumnya.
Ibu Leila pun meninggalkan saya dan Arief Budiman. Berdua dan berdiskusi sambil menikmati rintik hujan di Salatiga. Sebelum genap menghilang, Ibu Leila sempat berpesan kepada saya. Kondisi kesehatan suaminya yang tak lagi prima memaksa saya agar pelan-pelan dalam berwacana. Tapi jangan salah, pelan bukan berarti tak berkualitas. “Arief selalu bersemangat kalo ngomongin demokrasi,” pesan Leila kepada saya.
Benar saja. Sewaktu mulai bicara tentang situasi politik Indonesia tahun 60-an, ia membuka kalimatnya dengan mantap. Suaranya pelan, tapi bahasanya masih tertata dan jelas. Saya bisa bilang aura intelektual Arief tidak pernah luntur termakan usia. Di situ Arief mengingatkan saya bahwa ia bersama W.S. Rendra, Mochtar Lubis, dan teman-teman lainnya pernah membuat Soeharto marah besar.
Tahun 1972, mereka menolak proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Proyek yang kabarnya menelan dana Rp10,5 Miliar merupakan gagasan dari Siti Hartinah alias Tien Soeharto. Waktu itu kondisi ekonomi negara sedang susah. Soeharto sendiri, bahkan, sempat mengimbau masyarakat untuk hidup prihatin. Namun, di saat yang sama, Istrinya malah menggagas sebuah proyek yang dinilai aktivis sangat minim manfaat dan buang-buang uang.
Gelombang aksi penolakan terus berhembus. Soeharto yang kala itu duduk di kursi presiden tidak tinggal diam. Arief menceritakan bahwa kala itu, di sebuah pidato kepresidenan di depan Gedung Pusat Pertamina, Soeharto mengakui bahwa Tien adalah sosok penting dalam hidupnya. Ia selalu ada di sisinya saat masa-masa tumbangnya Rezim Soekarno. Ketika ada orang yang menyakiti hati Tien, itu artinya berlaku juga bagi Soeharto secara pribadi.
Setelah itu, Soeharto benar-benar bertindak melebihi kapasitasnya sebagai presiden. Beberapa orang aktivis, termasuk Arief ditangkap atas aksinya menentang rencana pembangunan TMII. Kini, bangunan yang katanya didaulat sebagai miniatur Indonesia itu telah berdiri. Ia adalah bagian dari cara pemerintah bersolek di tengah krisis yang mendera rakyatnya.
Selain dikenal sebagai aktivis, Arief juga tenar dengan sebagai dosen kondang. Tahun 1980 Arief berhasil merengkuh gelar doktor sosiologi dari Universitas Harvard. Sayangnya, capain itu tak menjadi jaminan ia lancar mendapatkan pekerjaan. Sejumlah universitas menolaknya lantaran tahu bahwa Arief adalah tukang kritik.
Keuntungan Arief adalah relasinya yang begitu luas. Termasuk pertemananya dengan Aristides Katoppo, jurnalis dan pemimpin redaksi Sinar Harapan. Berkat pria yang akrab disapa Tides itu, Arief mendapat tawaran mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga.
Waktu itu, UKSW bisa dikatakan sudah matang secara operasional dan intelektual. Hanya saja, UKSW belum punya dosen bergelar doktor. Kedatangan Arief terus terang saja menjadi angin segar bagi UKSW. Rektor kala itu, Sutarno menyambut bergabungnya Arief dengan tangan terbuka.
Selama menjadi dosen, ada dua hal yang tidak Arief lepaskan. Pertama, Arief selalu meninggalkan warisan yang berharga di tempat ia berkarya. Program Pascasarjana UKSW adalah contoh bagaimana Arief sangat berperan meningkatkan kualitas pendidikan kampus tersebut.
Kedua, Arief tidak pernah meninggalkan sikapnya yang kerap gusar ketika terjadi kesewenang-wenangan. Ia tetap menjadi pribadi yang kritis dan hobi mengkritik kebijakan. Kali itu, sasarannya adalah kampus tempat ia mengabdi. Ia memprotes pemilihan rektor yang tidak sah. Belum lagi masalah transparansi proyek-proyek kampus yang tak pernah dibuka kepada publik.
Sikapnya itu ia tunjukan dengan aksi mogok mengajar. Ia pun dipecat dan hengkang dari kampus yang mulanya ia pilih karena kualitas idealismenya.
Menjadi pengangguran mendorong Arief segera mencari pekerjaan. Ia melamar di sejumlah kampus negeri, mulai dari Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. Tapi, tak satu pun mau menerima lantaran citra Arief sebagai pengkritik sudah terlanjur melekat kuat.
Harapan pun datang dari Universitas Sanata Dharma (USD) yang saat itu dipimpin oleh rektor Romo Sastro Pratedjo. Pihak USD awalnya menyambut dengan gembira rencana bergabungnya Arief. Namun, tiba-tiba, USD justru menolaknya lantaran tahu bahwa Arief kerap mengkritik pemerintah.
Di saat sulit itu, ia masih menyisakan harapannya untuk bisa mengabdi di negeri sendiri. Sayang, situasi politik Orde Baru memaksanya untuk mengalah. Tahun 1998, sebuah tawaran datang dari Universitas Melbourne. Ia diminta menjadi profesor di sana hingga pensiun pada tahun 2008.
Obrolan saya tak terlalu lama bersama Arief. Siang yang basah itu rasanya begitu singkat. Karena kondisi kesehatannya, ia diharuskan istirahat. Saya pun memutuskan pamit, lalu berjanji akan mengunjunginya lagi. Tapi, janji hanyalah sebuah janji. Kesempatan tak pernah berpihak kepada saya untuk sekedar menunaikan keinginan datang kedua kalinya.
Sebuah kunjungan singkat itu ternyata menjadi yang terakhir buat saya. Kamis siang (23/4/2019), Arief menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Ken Saras, Kabupaten Semarang. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Bancaan, Kecamatan Sidorejo, Salatiga.
Arief meninggalkan banyak pelajaran tentang keteguhan sikap. Di mana pun berada, ia selalu menunjukan bahwa sebagai seorang intelektual, ia harus selalu awas terhadap setiap kebijakan. Saat ini, ia bertemu lagi dengan adiknya. Mungkin keduanya akan tetap mengawasi dan melihat lunglainya pemerintah dari atas sana. Selamat jalan, Prof!
Hery Setiawan
Editor: Abdul Hadi