Ekspresionline.com–Mei 2019 lalu, riset Setara Institute dan LPPM UNU menyimpulkan bahwa gerakan “Islam eksklusif transnasional” berkembang di perguruan tinggi. Gerakan tersebut dinilai menyemai benih intoleransi di kampus.
Dua riset yang sama-sama mengambil UNY sebagai sampel itu diangkat oleh sejumlah media nasional dan menjadi perbincangan hangat. Riset Setara yang menyimpulkan bahwa “kampus terpapar radikalisme” sendiri bergaung cukup luas. Penelusuran kami per 26 April 2020 menunjukkan, hasil riset tersebut dituliskan dalam setidaknya 200 berita media daring.
Rektor UNY, Sutrisna Wibawa membantah kampus yang ia pimpin terpapar radikalisme. Kendati demikian, UNY merespons riset yang menyangkut kampusnya dengan mengadakan acara QRT pada 5 November 2019. Dalam acara itu, Sutrisna memaparkan agenda-agenda yang dibuat UNY untuk menangkal radikalisme dan intoleransi.
Di sisi lain, riset tersebut juga mengundang polemik. Nasiwan, dosen ilmu politik dan agama UNY, menyebut argumen radikalisme Setara “absurd” dan tidak mewakili kenyataan. ““Tidak ada fakta yang mendukung dia [mahasiswa UNY] itu radikal. Misleading itu,” katanya pada Rabu (29/1/2020).
Dekan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Noorhaidi Hasan menyebut riset tentang gerakan Islam atau intoleransi memang menjadi tren belakangan ini. Menurutnya, riset seperti demikian perlu dibaca dengan kehati-hatian. “Tidak selalu pengamatannya jernih, kadang-kadang ya exagerrated,” ucapnya.
Riset Setara dan UNU sendiri tak bisa dipisahkan dari kekhawatiran akan berkembangnya Islam eksklusif, radikalisme, dan intoleransi yang meningkat akhir-akhir ini. Sebelumnya, pada kurun 2016-2018, sejumlah survei menyatakan bahwa intoleransi di kalangan siswa, mahasiswa, dan masyarakat umum mencapai taraf yang mengkhawatirkan.
Laporan Convey pada 2018, misalnya, menyebut lebih dari 50% siswa dan mahasiswa memiliki pandangan keagamaan yang cenderung radikal dan intoleran. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme pada 2018 pun menyebut tujuh PTN terpapar paham radikal; meski kesimpulan lembaga ini banyak diragukan karena tak pernah mengungkap metodologi risetnya ke publik.
Mustafid, peneliti UNU, menyebut risetnya bertujuan untuk memetakan “gerakan Islam kanan” di perguruan tinggi. Dalam riset, ia memakai konsep gerakan Islamisme transnasional sebagai kategorisasi.
Konsep itu sendiri rentan mengundang perdebatan. Islamisme, menurut Mustafid, adalah “pemikiran gerakan yang bersumber dari Islam” serta bersifat universal. Namun, secara peyoratif, Islamisme kerap diidentikkan dengan gerakan Islam kanan. Di sisi lain, Islam sendiri merupakan agama transnasional.
“Nah, peta yang kita pakai itu tiga berdasarkan gerakan yang kira-kira cukup masif di masyarakat. Masif bukan berarti mayoritas, tapi cukup kelihatan gerakannya,” kata Mustafid. Dalam risetnya—juga Setara—UNU menyoroti tiga kelompok yang berkembang di perguruan tinggi: Tarbiyah, Tahririyah, dan Salafi.
Tarbiyah adalah komunitas sosial-keagamaan yang melahirkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sedangkan Tahririyah adalah gerakan yang digagas oleh Taqiyuddin An-Nabhani, yang di Indonesia menjelma jadi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Gema Pembebasan. Ketiga kelompok tersebut dituding mempromosikan esklusivisme keagamaan.
Eksistensi tiga kelompok ini bukanlah hal baru. Sejumlah studi memaparkan, apa yang disebut kelompok “Islam transnasional” sudah berkembang di Indonesia sejak 1970-an. Masuknya ideologi dan gerakan Islamisme dari Timur Tengah tidak bisa dilepaskan dari peran Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), lembaga dakwah bentukan Moh. Natsir dan sejumlah tokoh Masyumi.
Widya Priyahita Pudjibojo, staf peneliti UNU, dalam laporan bertajuk “Transmisi Ideologi Gerakan Keislaman pada Civitas Akademika Perguruan Tinggi di Jawa Tengah dan DIY” (belum dipublikasikan) menggarisbawahi peran penting DDII. Lembaga yang dibentuk pada 1967 ini memfasilitasi pengiriman mahasiswa ke Timur Tengah. Di sana, para mahasiswa itu berinteraksi dengan pemikiran Islamisme yang berkembang, khususnya gagasan kelompok Ikhwanul Muslimin. Sepulangnya ke Indonesia, para alumnus Timur Tengah mendiseminasikan ideologi yang mereka bawa.
Ideologi Islamisme yang dibawa dari Timur Tengah pun mempengaruhi kalangan pemuda muslim Indonesia. Studi yang dilansir Convey Report menunjukkan bahwa pada 1980-an, buku karya pemikir Islam Timur Tengah telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan dibaca kalangan muda. Para pemikir itu antara lain Hasan Al-Banna, Abul A’la Al-Mawdudi, Sayyid Qutb, Sayyid Hawwa, Ali Syariati, dan Yusuf Al-Qardhawi.
Buku-buku tersebut umumnya memuat wacana kebangkitan Islam di Timur Tengah dan membangun obsesi pendirian negara Islam serta masyarakat ideal. Literatur sejenis pun terus berkembang dan eksis hingga kini. Studi Convey menggolongkan lima corak literatur Islamis yang beredar ke generasi milenial, yaitu literatur Jihadi, yang mendorong umat Islam terjun ke medan perang; Tahriri, mendorong umat menegakkan khilafah; Salafi, mendesak umat untuk “memurnikan” Islam dengan rujukan fundamental dan pembacaan skripturalis; Tarbawi (Tarbiyah), yang meresonansikan ideologi gerakan Tarbiyah; serta Islamisme populer yang menekankan kesalehan personal dan gagasan konservatisme yang dikemas secara populer.
Islam Politik di Kampus Negeri
Laporan Widya menunjukkan transmisi ideologi Ikhwanul Muslimin yang melahirkan Jemaah Tarbiyah di perguruan tinggi. Pada 1974, DDII menginisiasi Bina Masjid Kampus Indonesia (BMKI) dengan program andalan Latihan Mujahid Dakwah (LMD). Program ini berperan penting dalam merintis aktivitas dakwah kampus.
Yon Machmudi, dalam Islamising Indonesia: The Rise of Jemaah Tarbiyah and the Prosperous Justice Party (PKS) menyebut Jemaah Tarbiyah berkembang lewat lingkar diskusi keagamaan (halaqah) di kampus negeri pada 1980-an. Pada masa ini, aktivitas studi Islam informal sedang berkembang di PTN, terutama lewat ekspansi Forum Studi Islam (FSI) di fakultas-fakultas.
Ekspansi sukses FSI dibersamai dengan pembentukan organisasi dakwah formal, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) di universitas. Jemaah Tarbiyah berusaha mengontrol LDK sebagai wadah mengorganisasikan diri. LDK antarkampus kemudian saling berkoordinasi dan berjejaring dalam Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FS-LDK). Forum ini mengadakan konferensi nasional perdana pada 1986.
Jemaah Tarbiyah akhirnya berhasil mendominasi FS-LDK. Seusai konferensi keenam FS-LDK pada Maret 1998 di Universitas Muhammadiyah Malang, sejumlah aktivis Tarbiyah mendeklarasikan KAMMI. Pada 9 Agustus 1998, sejumlah elite KAMMI ikut mendirikan Partai Keadilan (PK), motor politik Jemaah Tarbiyah yang menjelang Pemilu 2004 berganti nama jadi PKS.
Dalam disertasinya, Yon menuliskan bahwa kebangkitan Jemaah Tarbiyah merepresentasikan sintesis antara akomodasi dan pembaharuan (Islam) berorientasi purifikasi di Indonesia. Menurutnya, pemuda Islam di Indonesia sudah tidak tertarik dengan perselisihan doktrinal antara kaum tradisionalis (yang diwakili Nahdlatul Ulama) dan modernis (yang diwakili Muhammadiyah).
Alih-alih bergabung dengan salah satu kelompok tersebut, mereka justru menyambut dan terinspirasi gagasan baru dari Timur Tengah. Jemaah Tarbiyah sendiri terinspirasi dari ideologi gerakan Ikhwanul Muslimin.
Yon mencatat, perkembangan Jemaah Tarbiyah di PTN berjalan mulus karena nyaris tanpa tandingan. Kebijakan NKK/BKK (1978-1990) secara efektif menghalangi aktivitas organisasi Islam yang lebih dulu mapan seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pelajar Islam Indonesia (PII), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Kendati demikian, upaya kontrol Jemaah Tarbiyah atas LDK dan perkembangannya di kampus bukannya tanpa hambatan. Pada 1980-an, Jemaah Tarbiyah berkonflik dengan kelompok Islamis lain, yaitu Salafi dan Hizbut Tahrir yang juga sedang berkembang. Tiga kelompok ini saling bersaing dalam merekrut mahasiswa ke dalam kelompok mereka.
Hizbut Tahrir sendiri masuk ke Indonesia antara tahun 1982-1983. Imdadun Rachmat, dalam Arus Baru Islam Radikal, menulis gerakan ini dibawa oleh Abdurrahman Al-Baghdadi dan Muhammad Mustofa. Dua tokoh inilah yang kemudian menyebarkan pemikiran Tahririyah ke aktivis dakwah kampus.
Dalam laporannya, Widya menulis bahwa Hizbut Tahrir masuk ke Yogyakarta sekitar tahun 1986 melalui organisasi Santri Terbang (Santer). Organisasi mahasiswa ini mewadahi mahasiswa lintaskampus, di antaranya dari UGM, UNY (waktu itu masih IKIP), dan UPN Veteran Yogyakarta.
Pada 2000-an awal, ketika HTI masih legal, mereka juga mengadakan acara di kampus dan mempromosikan gagasan Tahririyah ke kalangan mahasiswa. Pada 2004, Hizbut Tahrir Student Chapter (HTSC) mengadakan gelar wicara di Masjid Kampus UGM. Acara ini diberitakan dalam buletin Realitas (produk magang LPM Ekspresi) edisi 25 Oktober 2004.
Namun pada 2010-an, Hizbut Tahrir mendapat sentimen negatif dari kalangan kampus. Pada Ospek (sekarang PKKMB) UNY 2012, misalnya, buletin HTI yang ditujukan ke mahasiswa baru beroleh penolakan dari mahasiswa. Sentimen seperti demikian semakin meningkat pasca dibubarkannya HTI pada 2017. Pembubaran ini secara efektif membatasi aktivisme Tahriri yang juga berdampak ke Gema Pembebasan—organisasi mahasiswa yang terafiliasi HTI.
Sri Widya Supena, ketua KAMMI Komisariat UNY 2004 menuturkan bahwa memang banyak gerakan Islam yang berkembang di sekitar UNY pada 2000-an. Kata dia, gerakan tersebut antara lain Tahriri, komunitas Syiah, Negara Islam Indonesia (NII), HMI, PII, PMII, KAMMI, dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Dari sekian banyak gerakan ini, KAMMI berhasil menjadi gerakan paling mentereng di UNY.
Supena masuk ke UNY pada 2001. Saat ia gabung KAMMI UNY, organisasi ini sedang menancapkan dominasinya. Kata dia, kunci suksesnya dulu adalah sistem kaderisasi yang terstruktur, sistematis, dan masif serta tampil sebagai “gerakan yang paling menarik”. Sistem tersebut diwarisi KAMMI UNY hingga kini dan organisasi ini masih mempertahankan dominasinya.
Upaya Salafi “Memurnikan” Mahasiswa
Kelompok lain yang dituding riset Setara dan UNU mempromosikan Islam eksklusif adalah Salafi. Namun, bedanya dengan Tarbiyah dan Hizbut Tahrir, Salafi tidak mencampuri urusan politik dan fokus ke integritas moral individu. Noorhaidi Hasan, dalam Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indoensia Pasca-Orde Baru, menulis bahwa agenda Salafi tidak jauh dari “pemurnian” akidah dan penyucian (tashfiyah).
Quintan Witkorowicz, dalam “Anatomy of the Salafi Movement“, membedakan tiga varian umum Salafi yang berkembang di dunia. Pertama, Salafisme purist atau quietist, yang mengadopsi “kesunyian apolitis” dalam berdakwah. Kaum quietist adalah corak umum Salafi yang berkembang di Indonesia. Kedua, Salafi haraki (aktivis) yang menghalalkan perjuangan politik—hasil persinggungan dengan gagasan Ikhwanul Muslimin. Sedangkan yang terakhir adalah Salafi jihadi yang melahirkan Al-Qaeda.
Mengenai perkembangan di Indonesia, Noorhaidi menilai Salafisme pada mulanya disebarkan oleh tokoh-tokoh di sejumlah daerah. Di antaranya adalah Chamsaha Sofwan alias Abu Nida dan Ja’far Umar Thalib di Yogyakarta, Muhammad Umar As-Sewed di Cirebon, Lukman Baabduh di Jember, dan Zulkarnaen di Makassar. “Mereka jadi pusat, kemudian ada satelit-satelitnya,” katanya.
Namun, Noorhaidi menggarisbawahi fragmentasi yang mewarnai perkembangan Salafi. Menurutnya, Salafi di Indonesia terpecah menjadi banyak faksi karena selisih paham. “Perpecahan di kalangan Salafi itu terlalu kuat, kalau dibiarkan saja habis sendiri,” ucapnya.
Studi Din Wahid pada 2014 memotret perkembangan Salafi Indonesia satu dekade setelah disertasi Noorhaidi. Dalam “Nurturing Salafi Manhaj: A Study of Salafi Pesantrens in Contemporary Indonesia”, Din Wahid menyebut Salafi purist terpecah jadi tiga subkategori, yaitu rejeksionis, kooperasionis, dan tanzimi (organisasi).
Din Wahid menulis, Salafi rejeksionis adalah varian Salafi yang menolak kerja sama dengan organisasi yang dipandang hizbi (partisan, mengkotak-kotakkan). Sedangkan Salafi kooperasionis membolehkan kerja sama dengan organisasi Muslim dan pemerintah dalam kondisi tertentu. Sedangkan Salafi tanzimi adalah varian yang mau dan membolehkan pendirian organisasi formal.
Dalam Laskar Jihad, Noorhaidi menulis bahwa Salafi berkembang sejak 1980-an. Kemunculan Salafi di Indonesia ditandai dengan pemuda yang memakai jalabiyyah (jubah panjang), sorban imamah, lihyah (jenggot), isbal (celana di atas mata kaki), dan niqab.
Tampilan seperti demikian membuat Salafi rawan disamakan dengan Wahabi atau bahkan ekstremis Islam. Menurut Noorhaidi, kendati mengusung agenda pemurnian ketat yang mirip Wahabi, Salafi adalah kelompok baru hasil dinamika politik Timur Tengah pada 1970-1980-an.
“Salafi itu ideologi Wahabi yang dikemas ulang, saya nggak mau menyebut itu sama persis dengan Wahabi. Saya menyebutnya sebagai reconstituted Wahhabism,” katanya
Salah satu tonggak perkembangan Salafi di Indonesia adalah berdirinya Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam & Arab (LIPIA) pada 1980. LIPIA merupakan lembaga yang dibawahi Universitas Imam Muhammad Ibn Saud. Lembaga ini didirikan Kerajaan Saudi untuk mempromosikan salafisme dan membendung pengaruh Revolusi Iran 1979 di Indonesia.
LIPIA meluluskan banyak alumni yang nantinya mendakwahkan Salafi di Indonesia. Generasi awal lulusan itu di antaranya adalah Abu Nida, Ahmad Faiz Asifuddin, dan Aunnurafiq Ghufron. Di antara generasi awal tersebut, Abu Nida lah yang pertama menginisiasi dakwah Salafi ke mahasiswa Yogyakarta.
Sejak 1986, Abu Nida mulai mendakwahkan Salafi di Yogyakarta. Tempat dakwah favoritnya dulu adalah Masjid Mardliyyah UGM, Masjid Mujahidin UNY, Masjid Siswa Graha Pogung, Masjid STM Kentungan, dan sebuah kontrakan di Jalan Kaliurang yang bernama “B7”. Abu Nida pun mendapatkan pengikut yang sebagiannya adalah mahasiswa UGM, UNY, dan UPN Veteran Yogyakarta.
Nasiwan, dosen Pendidikan IPS yang dulu kuliah di UNY masih mengingat bagaimana Abu Nida berdakwah di Masjid Mujahidin. Kata dia, dulu banyak mahasiswa yang keluar kuliah setelah rutin menghadiri halaqah dan daurah Abu Nida. Alasannya, mereka berpandangan belajar agama lebih penting daripada menyelesaikan kuliah.
Sepenuturan Nasiwan, basis dakwah Salafi sejak 1990-an berpusat di Pogung. “Pogung itu sejak dulu menjadi [basis] kekuatan Salafi,” katanya. Saat ini, Pogung masih menjadi “pusat” aktivitas dakwah Salafi yang sering dihadiri mahasiswa. Kajian-kajian tersebut umumnya diagendakan di Masjid Pogung Dalangan, Masjid Pogung Raya, Masjid Siswa Graha, dan Masjid Al-Ashri.
Saat ini, Abu Nida pindah ke Piyungan, Bantul dan mendirikan pondok pesantren Islamic Center Bin Baz. Dakwah Salafi di Pogung pun dilakukan oleh tokoh-tokoh baru yang umumnya terafiliasi dengan Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari (YPIA). YPIA membawahi lembaga pendidikan bernama Ma’had Al-Ilmi yang mendidik banyak pendakwah Salafi muda yang masa ini kerap mengisi kajian di Pogung.
Riset Islamis dalam Pro-Kontra
Meskipun sudah merilis ringkasan eksekutif, Mustafid mengaku bahwa penelitian yang dirilis lembaganya belum memenuhi ekspektasi. “Sebenarnya tujuannya adalah ingin menjawab pertanyaan variabel-variabel apa yang memungkinkan tumbuhnya Islamisme di kampus,” ucap Ketua LPPM UNU tersebut.
Mustafid percaya bahwa kampus merupakan lahan subur tumbuhnya Islamisme. Asumsinya bersandarkan pada fakta bahwa kelompok Islamis kerap menjadikan kampus sebagai sasaran dakwah.
Respons positif atas Islamisme pun sering datang dari kalangan mahasiswa. Dalam “The Making of Public Islam: Piety, Agency, and Commodification on the Landscape of the Indonesian Public Sphere”, Noorhaidi menulis bahwa pesan-pesan revivalisme Islam dapat diterima dengan baik oleh mahasiswa. Alasannya, ia dipandang sebagai alternatif yang pantas bagi mahasiswa untuk menghadapi kegalauan dan tantangan masa muda.
“Karena kan anak-anak muda sedang mencari identitas, sedang galau. Ya gabung ke halaqah-halaqah itu kan kayak menemukan ruang untuk mengekspresikan diri,” jelas Noorhaidi.
Apa yang dilakukan UNU, sebagai univeristas yang dibawahi Nahdlatul Ulama, dan Setara Institute, LSM yang mengidentifikasikan dirinya pro-demokrasi dan hak asasi manusia adalah memberi perhatian khusus ke gerakan Islamisme yang berkembang sejak empat dekade lalu. Keduanya, dalam kesimpulan riset, bersepakat bahwa mengawasi perkembangan Islamisme adalah komitmen atas demokrasi.
Di sisi lain, riset mengenai intoleransi dan konservatisme agama selalu mengundang pro-kontra. Supena, eks-aktivis KAMMI menyebut riset seperti demikian rentan memuat identifikasi yang tendensius. “Mereka yang mendefiniskan dirinya sebagai pendukung toleransi. Mereka sendiri nggak toleran terhadap pihak-pihak tertentu,” ucapnya.
Noorhaidi Hasan pun bersikap skeptis atas riset-riset mengenai intoleransi yang dirilis akhir-akhir ini. Menurutnya, pengukuran yang tidak jelas dan kerancuan konsep rentan terjadi. Sehingga, perlu kehati-hatian dalam membaca riset seperti demikian.
“[Penelitian] itu tentu ada kepentingan, tetapi kita kan bekerja dengan paradigma akademik–berusaha melihat lebih jernih,” ucapnya.
Ikhsan Abdul Hakim
Laporan 2: Jalan Mulus KAMMI Memenangkan Politik Kampus
Laporan 3: Gema Pembebasan: Dakwah Khilafah di Kampus Pendidikan
Laporan 4: Salafi: Dakwah Pemurnian Islam di Kampus
Laporan 5: Stigma Radikal dan Problem Kebebasan Berekspresi di UNY