Ekspresionline.com–Tahun 1925 adalah momen penting bagi Indonesische Vereeniging (IV) di tanah penjajah, Belanda. Di tahun itu, IV berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Sebelum Indonesische Vereeniging, nama organisasi ini adalah Indische Vereeniging. Pergantian nama makin menandai ihwal teradikalisasinya mereka dari semula klub sosial pemuda Hindia yang lunak pada Belanda menjadi organisasi yang progresif dan antikolonial.
PI mengambil beberapa langkah pascaperubahan nama itu, antara lain berjejaring dengan organisasi gerakan antikolonial lain di Eropa. Keputusan PI di era ketua Soekiman Wirjosandjojo ini dilakukan dalam rangka memprogandakan Indonesia sebagai tanah terjajah yang ingin merdeka.
Arnold Mononutu adalah anggota yang diutus PI untuk menerima misi itu. Sebelumnya, aktivitas politik PI sempat diendus oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Banyak di antara anggota mereka memperoleh ancaman. Orang tua para aktivis PI yang menjadi pegawai negeri menghadapi dilema. Pemerintah kolonial menawarkan pilihan: anaknya tetap menjadi anggota PI atau mereka sendiri keluar dari jabatan negara, demikian tulis Hatta dalam memoarnya, Untuk Negeriku. Ayah Mononutu adalah satu di antaranya.
Sejak ayahnya terpaksa memutus kiriman uang kepada Mononutu, iuran antar anggota PI harus dilakukan untuk mengongkosi Mononutu dan anggota lain yang senasib. Pasalnya, ayah Mononutu yang seorang komisaris pada Kantor Residen di Manado itu disuruh memberi pilihan kepada anaknya: keluar dari PI atau diputus kiriman uangnya karena tetap menjadi anggota PI.
Mononutu memilih yang kedua. Atas pilihan ini pula, ia maklum dan memaafkan ayahnya yang tak bisa melanjutkan pengiriman uang kepada Mononutu. Kendati demikian, dalam biografi Arnold Mononutu: Potret Seorang Patriot, kiriman uang dari orang tua Mononutu masih diberikan secara diam-diam, walau harus menitipkannya pada salah seorang saudara yang bertolak ke Belanda.
Membuka Pintu Gerbang lewat Paris
Tempat kunjungan Mononutu sebagai utusan PI adalah Prancis. Wakil ketua PI ini menjadi orang terpilih lantaran punya kemampuan dasar bahasa Prancis. Hubungannya dengan para birokrat luas, di samping dirinya dapat merepresentasikan PI.
Di negara ini, Mononutu hendak menyambung hubungan dengan gerakan antikolonial Asia dan Afrika. Paris pada masa itu memang dikenal sebagai “’ibukota dari aktivitas antiimperialisme dan antikolonialisme yang bergairah”, demikian Wildan Sena Utama menulis dalam Mempropagandakan Kemerdekaan di Eropa: Perhimpunan Indonesia dan Internasionalisasi Gerakan Antikolonial di Paris (Jurnal Sejarah. Vol. I (2), 2018: 25-45).
Para aktivis mancanegara Asia, Afrika, Karibia, dan Amerika Latin membangun jaringan dan mengorganisir gerakan di kota itu, sekaligus persinggahan nyaman bagi eksil dan pengungsi politik.
Fakta bahwa Paris adalah simpul pergerakan internasional dikuatkan oleh keberadaan tokoh-tokoh seperti Ho Chi Minh (Vietnam), Lamine Senghor (Senegal), Max Bloncourt (Guadeloupe), dan Abdelkader Hadj Ali (Aljazair) yang tergabung dalam Intercolonial Union (IU). Organisasi multietnis ini berada di bawah Partai Komunis Prancis untuk mewadahi orang-orang kulit berwarna dari wilayah-wilayah yang disebut sebagai Dunia Ketiga.
Masih menyitat Wildan, Mononutu pergi ke Paris pada 1925 dengan mengatakan kepada orang tua dan pembimbing administratifnya untuk melanjutkan studi di Institut d’Etudes Politiques (Institut Ilmu Politik Paris), walau sebenarnya ia tak pernah terdatar di sana.
Sesampai di Paris, Mononutu menginap di beberapa hotel. Biaya hidupnya dipenuhi dari gabungan sisa pemberian orang tuanya dan sejumlah uang dari PI untuk keperluan propaganda internasional.
Dari pengamatan Mononutu, ia tertarik pada organisasi gerakan dari kanan maupun kiri. Salah satu kenalan Mononutu dari persentuhannya dengan para aktivis gerakan antikolonial adalah Tristao de Braganza Cunha, mahasiswa teknik di Universitas Sorbonne. Cunha kerap menulis untuk beberapa majalah Hindia dan Prancis, di mana topik yang ia tulis meliputi kemerdekaan India dan pembebasan enklave Portugis. Atas permintaan Mononutu, Cunha menulis tentang peran mahasiswa dalam perjuangan kemerdekaan di Indonesia Merdeka, media milik PI.
Selain kelompok kanan, perhatian Mononutu juga terarah pada IU. IU menerbitkan surat kabar Le Paria yang sering memuat propaganda melawan imperialisme Prancis. Indonesia Merdeka turut melakukan hal serupa ketika menerbitkan tulisan Abd el-Krim, pemimpin militer Rif dalam perang Rif antara Spanyol dan orang Berber Maroko, yang mana terdapat intervensi Prancis di perang itu. Ketertarikan Mononutu ini mendorongnya menjalin kontak dengan nasionalis revolusioner Vietnam sekaligus editor Le Paria, Nguyen The Truyen.
Meskipun upaya menjalin hubungan dengan IU dan Le Paria gagal—disebabkan masalah internal di tubuh IU dengan partai penaungnya—tetapi Mononutu memperoleh kontak dengan organisasi gerakan lain dari Asia. Mengapa Asia? Ada tiga alasan menurut Stuje (2016) yang dikutip Wildan: orientasi Pan-Asianis dari PI, komposisi aktivis dari Asia yang mayoritas meliputi mahasiswa dan akademisi, dan kerap menjadikan Latin Quarter untuk kegiatan mereka yang mempermudah Mononutu.
Mononutu kemudian cepat berhubungan dengan para pemuda asal India, China, dan Annam. AECO (Association pour L’Étude des Civilisation Orientales) lalu didirikan sebagai perkumpulan antarmahasiswa dan intelektual dari berbagai daerah koloni di Asia untuk saling mengenal kebudayaan masing-masing.
Menurut Hatta, mereka juga bersentuhan dengan para ahli kebudayaan dan seni yang terkemuka di Paris. Mononutu menjadi salah satu anggota dewan di perkumpulan tersebut.
AECO tidak hanya berkutat pada pengkajian kebudayaan, tetapi juga menyelipkan agenda propaganda politik. Pertunjukkan tari Jawa yang dilakukan Soepomo dan Wirjono Prodjodikoro sebagai perwakilan PI dikatakan Hatta agar “dunia luar mengetahui adanya Indonesia yang menuntut Indonesia merdeka.”
Tatkala Hatta menjadi ketua PI pada bulan Januari 1926, Mononutu masih diminta meneruskan tugasnya untuk berhubungan dengan mahasiswa Asia di Paris. Agenda propaganda politik skala internasional ini rupanya dilakukan dengan baik oleh Mononutu. Hatta mengakui bahwa Mononutu banyak jasanya.
Pasalnya, pergerakan Mononutu bersama empat aktivis lainnya dari Asia membuahkan hasil. Kongres Demokrasi Internasional untuk Perdamaian (Congrès Démocratique International pour la Paix) yang diikuti banyak bangsa akhirnya mengundang mereka untuk hadir di acara tersebut, terutama sebagai delegasi Asia.
Kehadiran ini diupayakan setelah mengajukan permintaan kepada Marc Sangnier, anggota Parlemen Prancis dan orang di balik kongres yang diadakan di Biervillie ini.
Delegasi Asia lantas membuat resolusi yang berintikan pada pentingnya perhatian untuk bangsa-bangsa tertindas sebagai modal perdamaian dunia dan keterlibatan bangsa Asia dalam segala hal. Pesan politik PI juga secara efektif dapat tersampaikan di kongres ini, yang mana setiap wakil memperoleh dua kesempatan berbicara: di pembukaan dan penutupan.
Kehadiran PI yang diwakili Hatta setidaknya menguntungkan bagi strategi gerakan memperkenalkan tanah air. Di kongres itu, ada kesan bahwa sebutan “Indonesia” dapat dimaknai sebagai wilayah tersendiri—jauh dari pengertian sebagai tanah jajahan. Bahkan, orang-orang Belanda dalam pembicaraan dan kesempatan lain tak lagi menyebut Hindia-Belanda. Nama Indonesia telah terekam, tak dapat ditukar kembali dengan istilah “Indes-neerlandaises”, sebagaimana dikatakan Hatta.
Sayangnya, Mononutu tak bisa mengikuti kongres mashyur ini. Selain kekurangan biaya, Mononutu juga harus mengikuti kursus tentang hukum dan hubungan interasional pada Vredespaleis di Den Haag.
Ahmad Yasin
Editor: Abdul Hadi