Judul: Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan
Penulis: Ahmet T. Kuru
Alih Bahasa: Febri Ady Prasetyo
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Cetakan Pertama: Desember 2020
Tebal: 486 Halaman
ISBN: 978-602-481-517-2
Ekspresionline.com–Mencekam, berdarah, dan tidak bisa hidup dengan tenang. Inilah kondisi Timur Tengah Raya beberapa dekade terakhir. Sebagian besar wilayah Timur Tengah Raya mengalami gejolak politik yang mengakibatkan perang, baik itu perang melawan pemberontak, teroris, maupun perang saudara. Terbaru, pemerintahan Afganistan tumbang dan direbut oleh kelompok Taliban yang dulu pernah dijatuhkan.
Konflik di Timur Tengah Raya memiliki proses panjang dalam perjalanannya. Jika melihat berita dunia tidak jarang kita menemukan konflik bersenjata di Timur Tengah Raya. Konflik ini dipicu karena pemerintahan otoriter. Rakyat merasa jenuh dan marah karena hak-hak yang dimiliki terbelenggu.
Pemerintahan otoriter ini sudah mendapat perlawanan keras di berbagai negara Timur Tengah Raya. Berawal dari peristiwa bakar diri dari pedagang kaki lima Mohammed Bouazizi yang menentang pemerintah otoriter yang dilakukan oleh rezim Ben Ali.
Peristiwa ini menjadi pemantik panasnya konflik politik di negara Timur Tengah lainnya seperti di Mesir, Libya, dan Aljazair. Peristiwa ini terjadi secara serentak dan dikenal sebagai Arab Spring. Peristiwa ini juga menyebabkan perang saudara di Syria dan menimbulkan kelompok teroris baru yaitu Islamic State of Iraq and Sham (ISIS).
Menurut Ahmet T. Kuru (2020) Teori perdamaian demokratik akan membantu menjalaskan kenapa kondisi di Timur Tengah Raya sering terjadi perang. Teori ini menggagap bahwa negara yang menganut sistem demokrasi akan cenderung damai. Hal ini diakibatkan karena negara-negara cenderung saling menghormati setiap perbedaan. Berbanding terbalik jika pemerintahan otoriter berkuasa, sistem pemerintahan ini mengakibatkan sikap tidak saling percaya.
***
Seperti yang kita tahu bahwa negara di Timur Tengah Raya memiliki penduduk mayoritas muslim. Menjadi pertanyaan menarik bahwa mengapa negara-negara berpenduduk mayoritas muslim menunjukkan tingkat otoritarianisme yang tinggi dan tingkat sosio-ekonomi yang rendah.
Hal ini menjadi kajian yang menarik oleh Ahmet T. Kuru, guru besar ilmu politik dan direktur Center for Islamic and Arabic studies di Universitas San Diego, dalam bukunya berjudul Islam, Otoritarianisme, dan ketertinggalan.
Salah satu motivasi Ahmet T. Kuru menulis buku tersebut timbul setelah membaca buku The Iron Angels: Birth, History and Power of the Machines from Antiquity to the Time of Goethe di perpustakaan ayahnya. Ia berkata pada ayahnya bahwa dia tahu bagaimana orang-orang Eropa dapat melampaui Muslim. “Kamu paling sedikit harus membaca sepuluh sampai lima belas buku lagi untuk mengatakan itu” kata ayah Ahmet T. Kuru
Buku Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan secara tegas membedah bagaimana kondisi negara Muslim pada saat ini. Ahmet T. Kuru mengklasifikasikan bahwa pada saat ini banyak umat Islam terjebak pada segitiga setan yaitu kekerasan, otoritarianisme, dan ketertinggalan.
Buku ini tidak semena-mena menjustifikasi bahwa negara-negara barat yang menjadikan wilayah Timur Tengah Raya seperti sekarang. Lebih dari itu buku ini menjabarkan relasi antar kelas, religius, politik, dan intelektual baik di barat maupun timur. Hal ini yang akan membantu kita dalam mengidentifikasi masalah yang terjadi di Timur Tengah Raya.
Nilai plus Ahmet T. Kuru dalam buku ini adalah ia membandingkan kondisi Islam lintas zaman. Ahmet T. Kuru tidak segan mengutip berbagai literatur lintas zaman. Beliau dapat menempatkan secara proporsional pendapat-pendapat para ilmuwan baik dari barat maupun timur. Hal ini semakin memperkaya literatur dalam buku ini.
Sebut saja ketika Ahmet T. Kuru menukil pendapat Bernard Lewis, seorang sejarawan Yahudi Inggris-Amerika, yang mendeskripsikan penyebab kemarahan muslim terhadap barat. Beliau juga tidak segan memberi penilaian terhadap karya ilmuwan Islam seperti Al Ghazali. Ia menyebut bahwa kitab Ihya Ulumuddin mempromosikan sistem patriarki. Ini membuktikan bahwa Ahmet T. Kuru tidak terjebak dalam dikotomi pendapat antara barat dan timur.

Negara dan Islam
Pada tahun 2018, dari 22 negara yang mayoritas muslim hanya lima negara yang memiliki sistem demokratis. Hal ini menjadi perhatian khusus di buku ini. Ahmet T. Kuru mencoba menjabarkan apakah Islam adalah dalang dari terhalangnya sistem demokrasi.
Islam tidak akan lepas dari Al-Qur’an dan Hadis. Kedua hal ini adalah sumber pokok ajaran Islam. Jika menelisik dari kedua sumber primer ini, bisa disimpulkan bahwa Islam tidak pernah mewariskan sistem politik. Ali Abdurraziq dalam Ahmet T. Kuru (2020) memaparkan bahwa tindakan politik Nabi Muhammad adalah kebutuhan duniawi bukan misi religius utamanya.
Jika dilacak dari sejarah pasca wafatnya Nabi Muhammad tidak ada pakem khusus sistem politik Islam. Abu Bakar dipilih menjadi khalifah karena dibaiat oleh para sahabat karena dianggap yang paling tua dan dekat dengan nabi. Begitupun ketika pemilihan khalifah selanjutnya yaitu Umar bin Khatab. Umar dipilih karena wasiat dari Abu Bakar.
Pada masa Umar, sistem pemilihan pemimpin menjadi lebih demokratis dari Abu bakar. Umar membentuk dewan Syura guna mendiskusikan siapa pemimpin yang akan menggantikannya. Dewan Syura adalah lembaga yang berisi tujuh sahabat nabi, bertugas untuk memilih khalifah setelah Umar. Setelah kepemimpinan Khulafa Urasyidin, sistem politik Islam menjadi Monarki yang digagas oleh Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia mencetuskan Dinasti Umayyah dan sistem dinasti tersebut terus berlanjut sampai Turki Usmani.
Tidak adanya dalil yang mengatur tentang hubungan Islam dan negara menjadikan adanya perdebatan dikalangan ulama maupun ilmuwan muslim. Hubungan antara agama dan negara sebenarnya bukan perkara yang baru, baik di timur maupun barat.
Pada abad pertengahan pun peristiwa tersebut terjadi di Eropa. Waktu itu sistem pemerintahan kerajaan didukung dengan otoritas gereja.
Mengenai hubungan negara dan agama sebenarnya sudah pernah dibahas oleh Al Ghazali, ulama sekaligus filsuf Islam. Ia mengatakan bahwa Islam dan negara adalah saudara. Agama adalah dasar, sementara negara adalah pelindung. Sesuatu yang tidak ada dasar akan jatuh, dan sesuatu yang tidak ada pelindung akan hilang. Meskipun sejatinya Ghazali mendukung bahwa negara dan agama tidak bisa dipisahkan, namun juga mendesak agar tidak terlalu dekat.
Pada masa kekhalifahan monarki, ulama dan ilmuwan cenderung menjauh dari otoritas kekuasaan. Para ulama dan ilmuwan, sejak abad ke-7, menganggap bahwa kedekatan dengan otoritas kekuasaan dapat merusak independensi mereka. Bukan tanpa sebab, saat itu proses ambil alih kekuasaan yang dilakukan oleh Muawiyyah sangatlah kotor.
Saat itu Muawiyah yang bersepakat gencatan senjata dengan Husein bin Ali, malah melanggar janjinya. Tawaran perdamaian dan opsi melakukan pemilihan khalifah secara adil telah disepakati. Namun Muawiyah malah menyerang dan membnuh Husein agar secara otomatis dia menjadi khalifah.
Puing-puing
Romantisme sejarah Islam memang membanggakan untuk diingat. Bagaimana tidak, sejak Dinasti Umayyah sampai Turki Usmani, Islam berada di masa kejayaan. Berbagai bidang dikuasai umat Islam pada masa itu, baik dari budaya, Ilmu, dan ekonomi.
Sangat kontras bila dibandingkan dengan kondisi negara mayoritas Islam sekarang. Tidak ada negara maju yang penduduknya mayoritas Islam. Lebih memprihatinkan lagi pada tahun 2017, data yang dihimpun oleh The World Inequality Report mununjukan bahwa Timur Tengah Raya sebagai wilayah paling timpang di muka bumi.
Kondisi tersebut tidak terjadi secara ujuk-ujuk. Ahmet T. Kuru menjelaskan bahwa ketimpangan ini berawal dari kemandekan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia muslim pada abad ke-16. Berbanding terbalik dengan kawasan Eropa yang saat itu mulai ngebut dalam mengembangkan ilmu. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya koloni-koloni Eropa yang menguasai wilayah Muslim, yang semakin menjadikan umat Muslim tertinggal di bidang intelektual, sosio-ekonomi, budaya, dan politik.
Hengkangnya koloni-koloni Eropa tidak serta-merta membuat kondisi negara-negara mayoritas muslim semakin baik. Sejak terbebas dari belenggu kolonialisme, negara-negara islam cenderung membangun pemerintahan otoriter.
Kuru berasumsi bahwa ketertinggalan sosio-ekonomi menjadi penyebab otoritarianisme di negara-negara muslim. Ketertinggalan ini diakibatkan karena banyak kasus korupsi yang terjadi di negara muslim. Hal ini menyebabkan adanya rasa tidak percaya dan saling curiga. Kondisi ini semakin parah dengan adanya persekutuan antara ulama dan negara. Ulama memainkan peranan penting untuk memonopoli tafsir agama guna mendukung pemerintahan yang berkuasa.
Menurut Ahmet T. Kuru otoritarianisme telah mengakar kuat di banyak negara mayoritas Islam sehingga masih bertahan sampai abad ke-20. Mustafa Kemal, Reza Syah, Gamal Abdul Nasser, dan Habib Bourgiba merupakan beberapa aktor pembentuk pemerintah otoriter di negara-negara Timur Tengah.
Otoritarianisme yang berlaku di suatu negara menyebabkan radikalisasi berbagai kelompok Islamis dan sosialis. Radikalisasi dan otoritariansime inilah yang menjadikan Timur Tengah Raya berkecamuk hingga sekarang.
Muhammad Akhlal
Editor: Fadli Muhammad