Kantin Tengah FIP UNY, Oasis di Tengah Pandemi

Kantin Tengah FIP UNY sepi selama pandemi / Foto: Annisa Fitri Tanjung

 

Ekspresionline.com–Jarum jam menunjukan pukul 14.00 WIB. Terik dan panas cukup terasa ketika lewat tengah hari menghampiri. Di tengah rutinitas Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (FIP UNY), sebagian mahasiswa dan staf kampus memenuhi bangku kantin. Keriuhan tersebut ternyata datang dari kedai Kantin Tengah, satu-satunya kedai yang buka dan melayani pengunjung.

Seperti yang diketahui, situasi pandemi memaksa FIP UNY untuk membatasi kegiatan akademis. Pengajar dan mahasiswa harus melangsungkan kegiatan belajar mengajar dari rumah. Kondisi ini pun berdampak pula bagi para penjaja makanan di kantin. Sebagian besar kedai di kantin yang terletak di selatan kampus UNY tersebut harus menghentikan sementara kegiatan jual belinya.

Namun, tampaknya, kedai Kantin Tengah tidak tertarik mengikuti jejak yang sama. Dwi Damayanti (40), selaku pengurus dan pengelola kedai Kantin Tengah, memutuskan untuk tetap membuka kantin demi bertahan hidup di tengah gempuran pandemiCovid-19 yang kian meningkat di Yogyakarta. Kepada reporter Ekspresi, Dwi mengaku tetap berjualan demi memastikan perekonomian ekonomi keluarga mampu bertahan.

Keluarga Dwi Damayanti adalah satu dari sekian banyak keluarga yang terkena dampak Covid-19. Karena tidak tersentuh bantuan ekonomi dari pemerintah, mau tak mau, Dwi harus berjuang sendiri demi bertahan di masa pandemi.

Meski demikian, situasi saat ini baginya lebih baik ketimbang sebelumnya. Bagaimana tidak, sepanjang lima bulan pertama pandemi Covid-19 belangsung, perekonomian keluarganya bertumpu sepenuhnya pada penghasilan suami. Sebab, kala itu, aktivitas kantin sepenuhnya dihentikan sejak siapapun dilarang memasuki kawasan kampus UNY.

Mulanya, Dwi berusaha beradaptasi. Ia pun tidak menampik bahwa dirinya saat itu takut dengan Covid-19. Sampai akhirnya Dwi mengalami stres karena terlalu lama melakukan aktivitas di rumah. Ia mengandaikan kondisinya saat itu seperti orang linglung yang tidak tahu ingin melakukan apa selama pandemi. Tampaknya, Dwi sulit berdamai dengan kondisi menganggur. “Mumpung masih kuat mbak, dan masih bisa bantu suami, mending saya kerja,” jelasnya.

Dwi pun lantas memberanikan diri membuka kedai di tengah pandemi yang tidak kunjung menunjukan penurunan. Keputusan ini tentunya diambil bukan tanpa restu dari pihak kampus. Setelah mendapatkan izin langsung dari Kepala Sub Bagian (Kasubag) kantin FIP UNY dan mendapatkan fasilitas vaksin oleh pihak kampus, kedai milik Dwi pun menjadi satu-satunya yang berjualan.

Awalnya, Dwi memulainya dari menjual minuman. Kala itu konsumennya masih sedikit dan penghasilan hariannya tidak sampai Rp 100 ribu. Sejak meningkatnya permintaan dari mahasiswa dan staf yang beraktivitas di kampus, ia pun tidak ragu memperluas penjualannya juga ke makanan.

Keputusan itu pun tak pernah membuatnya menyesal. Setelah memutuskan untuk kembali berjualan, taraf ekonomi keluarga Dwi kembali meningkat. “Sebelumnya, keluarga saya hanya makan dengan lauk pauk sederhana,” ungkap Dwi.

Selain menambah sumber penghasilan, ia percaya bahwa tetap berjualan juga sekaligus memulihkan kesehatan mentalnya. “Kalau kantin buka kan saya senang karena saya bisa bertemu dan berbicara dengan orang lain. Sedangkan di rumah saya hanya makan, tidur, lalu beberes rumah,” jelas Dwi,

Namun, keputusan itu tetap membuat Dwi mau tak mau menerima perubahan. Karena menurunnya jumlah mahasiswa yang datang ke kampus, penghasilannya menurun drastis. Sebagian besar penjualan Dwi pun mengandalkan dosen dan staf kampus yang tetap bekerja untuk menyelesaikan kewajiban administrasi.

Kepada Ekspresi, Dwi mengaku, selama pandemi pemasukannya menurun hingga 75% dari yang biasa ia peroleh sebelum pandemi. “Umpamanya penghasilan saya dulu satu juta mba, sekarang mungkin saya hanya dapat 250 ribu. Yang penting bisa makan dan beraktivitas,” katanya.

Selain staf dan dosen FIP UNY, pelanggan kantin Dwi selama pandemi juga berasal dari kantin fakultas lain. Ia mengaku tidak jarang kedatangan pelanggan dari Fakultas Ilmu Sosial. Karena keberadaan pelanggan lintas fakultas inilah, ia berinisiatif membuka layanan pembelian jarak jauh melalui telepon dan juga pengantaran.

Inovasi yang dilakukannya pun membuat Dwi mendapatkan beberapa pelanggan setia baru. Terlebih, sejak layanan ojek pesan antar makanan dilarang masuk ke lingkungan kampus, kedai Kantin Tengah menjadi tempat alternatif bagi para staf dan mahasiswa yang beraktivitas di kampus untuk membeli makan siang atau sekedar meminum kopi melepas penat.

“Saya sering mendapatkan telepon mbak dari kantor jurusan untuk mengantarkan makanan, jadi staf tidak perlu ke kantin” tutur Dwi.

Selain itu, munculnya banyak pelanggan setia juga karena harga makanan dan minuman di kedainya yang tidak dipatok terlalu tinggi. Dwi tidak pernah ragu menyesuaikan harga, sebab ia sadar pelanggannya datang dari lintas latar belakang; mulai dari dosen, staf, hingga petugas kebersihan. Tak jarang pula ia menggratiskan satu dua potong gorengan untuk petugas kebersihan.

Datangnya langganan-langganan baru pun membuatnya senang. Siapapun yang mampir dan membeli di kedai Kantin Tengah, Dwi anggap seperti saudara. Karena itu, tidak perlu heran jika Dwi sering didapati berkelakar bersama pelanggan. “Kalau ada orang yang baik ke saya, saya akan baik juga ke dia,” kata Dwi.

 

Tak Takut Rugi

Ketika disinggung tentang potensi kerugian, Dwi berkilah bahwa itu sudah menjadi risiko sebagai pengusaha. Agar kerugian yang ditanggungnya tidak begitu besar, Dwi memberikan beberapa perubahan manajemen kedainya.

Salah satunya adalah, memberhentikan sementara empat orang pegawainya dan memutuskan untuk mengelola kedainya sendiri. “Dulu saya mempunyai karyawan empat mbak namun sejak pandemi ini saya hanya berdua dengan adik saja,” jelas Dwi.

Di samping itu, Dwi juga melakukan pemotongan biaya operasional. Beruntung, sebagai pemilik sebagai pengelola langsung, memangkas biaya operasional tak menjadi keputusan yang sulit. Namun, ia menyayangkan kedai lain yang selama ini menemaninya berjualan mengalami nasib yang kurang beruntung.

Dwi bercerita, kedai yang ada di sebelahnya terpaksa mengalihkan kegiatan jual beli dari rumah sebab tidak mampu menanggung biaya operasional. Sementara kedai di sisi lainnya harus berhenti beroperasi karena ditinggal mudik pemiliknya.

Pandemi memang membuat semuanya menjadi sulit. Terlebih lagi di situasi pandemi yang kian meningkat membuat orang-orang kehilangan sumber nafkahnya. Namun hebatnya, masih ada orang seperti Dwi yang mau berjuang dan berani untuk menghidupi keluarganya di tengah gempuran pandemi. Walaupun pandemi merenggut sebagaian besar penghasilannya, tapi tidak terlihat raut kesedihan di wajah Dwi selama bertemu dengan reporter Ekspresi.

Dwi tidaklah sendiri. Menurut data yang dihimpun Bank Indonesia, mengutip situs resmi Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) jogjaprov.go.id, sebanyak 44% UMKM mengalami kerugian akibat pandemi Covid-19 dan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sebagian karyawannya.

Omset UMKM semakin menurun karena 55% konsumen di DIY pun mengaku sulit mengkases produk UMKM. Masih menurut data yang sama, mengutip situs berita ekonomi Bisnis.com, sebanyak 87.5% UMKM di seluruh Indonesia pun turut terdampak pandemi Covid-19.

 

Reporter: Annisa Fitri Tanjung

Editor: Mukti Muhtadi

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *