Ekspresionline.com—Sekali waktu, saya terkejut ketika membuka layar ponsel. Di sana ada tangkapan layar sebuah tweet dari Rektor UNY, Bapak Prof. Dr. Sutrisna Wibawa M.Pd. sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena seperti yang kita sama-sama ketahui, rektor yang pernah membikin tutorial melamun sambil bertopang dagu ini punya 6000-an pengikut di Twitter. Memang, selain menjadi rektor, Bapak Prof. Dr. Sutrisna Wibawa M.Pd dikenal luas sebagai rektor kondang lewat kelucuannya di media sosial.
Akan tetapi, bukan kelucuan Pak Prof. DR. Sutrisna Wibawa M. Pd yang bikin saya terkaget-kaget. Melainkan sebuah tweet yang bunyinya begini, “Siapa suruh masuknya lewat SM? Jadinya harus byr [mungkin maksudnya “bayar”] uang pangkal dan kna [mungkin maksudnya “kena”] ukt tinggi. Makanya dulu belajar yang rajin di SN atau SBMPTN! Dan gk [mungkin maksudnya “enggak”] nyalahin kampus terus!” Akunnya pun sudah terverifikasi oleh UNY lewat akun Twitternya, @unyofficial. Sudah pasti itu Pak Rektor. Sayang seribu sayang, tweet tersebut dihapus tak lama setelah dibuat. Beruntung, saya masih sempat mendapat tangkapan layarnya.
Kalau boleh jujur, saya merasa mendapat dua puluh tujuh sayatan di hati kecil saya ketika membaca tweet itu. Satu sayatan karena menurut Pak Rektor, mahasiswa SM itu adalah “sapi perah” penghasil uang bagi kampus. Sayatan kedua terasa ketika mengetahui bahwa menurut Pak Rektor, mahasiswa SM tidak termasuk golongan orang pintar. Sayatan ketiga tercipta karena Pak Rektor menganggap mahasiswa SM hobinya nyinyir rektorat. Sedangkan dua puluh empat sayatan yang lain terbentuk ketika saya ingat bahwa saya adalah mahasiswa SM; saya termasuk golongan yang merugi menurut Rektor yang disebut TribunBatam.id sebagai Dumbeldore ini.
Dari tweet Prof. Dr. Sutrisna Wibawa M.Pd, saya kemudian bertemu dengan banyak pertanyaan yang muncul di otak saya. Bukankah Pak Rektor sendiri yang berulang kali bilang kalau UKT itu berdasar pada kemampuan orang tua, bukan lewat jalur apa calon mahasiswa ditasbihkan menjadi benar-benar mahasiswa? Bukankah Pak Rektor juga yang mengatakan bahwa uang pangkal (yang katanya dimaknai sebagai peran serta masyarakat dalam pendidikan tinggi), dijalankan dengan asas suka-rela, bukan dari jalur apa seseorang menjadi mahasiswa UNY?
Bukankah memang demikian esensi pendidikan, untuk mendidik orang yang sebelumnya tidak terdidik? Standar apa yang digunakan Prof. Dr. Sutrisna Wibawa M.Pd untuk mengatakan Si (mahasiswa yang lolos jalur) SNMPTN dan SBMPTN lebih pintar dari mahasiswa yang lulus jalur SM? Bukannya banyak faktor penyebab seseorang tidak lolos SBMPTN dan SNMPTN, dan tidak sedikit dari semua faktor itu yang bersifat non-akademis?
Sebenarnya saya pernah berburuk sangka (ampuni saya, Tuhan), apa jangan-jangan jalur SM memang difungsikan agar universitas bisa dapat uang lebih; atau dengan kata lain, jalur ini memang dijadikan jalur penghisap uang mahasiswa. Namun, perlahan pikiran suudzon [buruk sangka] saya itu pudar karena pihak rektorat berulang kali mengatakan penetapan besaran UKT didasarkan pada kemampuan ekonomi orang tua/wali mahasiswa.
Lama-kelamaan, saya jadi yakin bahwa rektorat memang benar-benar menerapkan UKT dengan jujur, dengan semangat luhur berupa subsidi silang. Apalagi ketika rektorat UNY diketuai oleh seorang guru besar filsafat Jawa. Bukannya ada pepatah Jawa yang berbunyi memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara, bahwa manusia senantiasa mengusahakan kesejahteraan dan memberantas keserakahan?
Akan tetapi, kini syak wasangka saya hilang seketika setelah melihat tweet tersebut. Kini bukan lagi buruk sangka, tetapi kekecewaan yang hadir dalam sukma saya. Prof. Dr. Sutrisna Wibawa M. Pd ternyata punya pikiran demikian. Dan saya yakin bukan hanya saya yang kecewa dengan adanya cuitan itu.
Prof, kalau saya boleh urun rembug soal UNY ke depan, di brosur penerimaan mahasiswa baru yang akan datang, beri satu boks keterangan khusus untuk jalur SM. Isinya, imbauan bahwa jalur ini diadakan agar universitas dapat mendapat uang lebih, sehingga orang tua/wali calon mahasiswa bisa menjual tanah mereka untuk bayar UPPA plus UKT tinggi. Juga keterangan kalau jalur ini diadakan untuk orang yang tidak pintar, sehingga mahasiswa jalur SM sadar tak usah bermimpi kejauhan. Dan juga larangan, bagi siapa yang lolos kelak, untuk dilarang keras mengkritik rektorat.
Bukankah itu yang dimaksudkan Bapak lewat tweet tersebut?
Rizal Amril
Editor: Abdul Hadi