Kevin Hart’s Guide to Black History: Amerika-sentris tanpa Glorifikasi Berlebih

Ekspresionline.com—Awal membaca judul film ini, saya langsung merasa tertarik, Kevin Hart’s Guide to Black History. Saya mengira akan diceritakan bagaimana orang kulit hitam memperoleh kemerdakaan mereka. Saya cukup antusias, dan segera mencari film ini di salah satu situs berbagi film—maaf—bajakan. Saya berharap akan banyak tokoh dan sejarah baru tentang kulit hitam di seluruh dunia yang belum pernah saya temui di bangku sekolah dulu.
Perkiraan saya salah besar. Film ini sama sekali bukan film tentang sejarah orang kulit hitam di dunia. Namun, film ini hanya mengangkat kisah ras Afro-Amerika, warga Amerika Serikat imigran atau keturunan imigran benua Afrika saja, sehingga terkesan Amerika-sentris. Selain karena mengangkat kisah orang kulit hitam yang berkebangsaan AS saja, film ini juga menampilkan heroisme warga Amerika di dunia. Tidak jarang saya temukan pada film ini kisah-kisah kemenangan bangsa Amerika dalam perang.
Hal inilah yang membuat saya berpikir bahwa pemilihan judul tidak tepat. Seandainya diambil judul Kevin Hart’s Guide to African-American History atau Kevin Hart’s Guide to American-That-Black History, tentu kekecewaan saya tidak akan cepat-cepat muncul.
Akting Ayah-Anak yang Kikuk
Selama satu jam tiga menit, penonton akan disuguhi dialog antara Kevin Hart, komedian ternama AS, dengan Saniyya Sidney yang berperan sebagai Riley, anaknya. Akting mereka berdua tampak kaku dan kagok. Kevin dan Saniyya seperti bukan sedang berakting sebagai ayah dan anak, namun lebih seperti guru dan murid.
Pada beberapa adegan, tampak mimik muka Saniyya yang tidak natural layaknya anak kandung. Walau jam terbang akting Saniyya bisa dijadikan alasan, namun hal-hal kecil seperti ini layak untuk menjadi perhatian. Tujuannya agar nilai parenting yang diangkat—meski bukan sebagai fokus utama film ini—memberi kesan positif bagi penonton.
Cara bicara Kevin kepada Saniyya juga menurut saya tidak selayaknya orangtua berbicara kepada anaknya. Kevin tidak menampakkan kewibawaan seorang ayah kepada anak, dengan maksud menceramahi. Ia terlalu egaliter terhadap anak sendiri. Ditambah lagi, keegaliteran ini seakan dibuat-buat. Tak jarang pula Kevin terlihat kikuk bersentuhan dengan anaknya sendiri. Padahal, Kevin dalam kehidupan nyatanya mempunyai anak perempuan, sehingga bisa menjadi bekal bagi Kevin untuk berakting sebagai ayah secara natural.
Komedi Ringan yang “Cukup”
Guyonan Kevin Hart dalam film ini membuat saya betah menontonnya sampai akhir. Latar belakangnya sebagai komedian membuat Kevin ahli melancarkan gurauan renyah—meski kadang malah membuat suasana menonton menjadi canggung. Meski demikian, beberapa kali saya dibuat tersenyum oleh dialog antara Kevin dengan aktor yang lain.
Saya malah tertawa saat melihat adegan pemeran Matthew Henson dan Robert Peary saling berdebat tentang siapa yang pertama kali tiba di Kutub Utara. Oh ya, perlu diketahui, Robert Peary adalah yang selama ini diakui dunia sebagai orang yang pertama kali menjelajahi Kutub Utara. Tapi Tom Stern, sang sutradara mementahkan hal tersebut dalam film ini. Maka dari itu, sangat dianjurkan untuk tidak melewatkan adegan ini. Selain untuk mengetahui alasan saya tertawa, juga agar kalian tahu fakta yang dibawakan oleh Stern.
Ada pula komedi lain yang membuat saya tertawa. Terjadi plot twist saat muncul tokoh Robert Johnson, warga kulit hitam Amerika yang merupakan musisi blues ternama. Selama ini berkembang isu bahwa Robert mencapai kesuksesan dengan cara menjual jiwanya pada iblis. Menilik hal ini, Tom Stern memunculkan momen tatkala Johnson bertemu dengan iblis dan hendak melakukan transaksi penjualan jiwa.
Pada adegan ini, iblis yang seharusnya memberikan petuah kesuksesan kepada Robert malah diajarinya bermain gitar. Ternyata iblis ini bukan benar-benar sesosok iblis, namun seorang manusia guru les gitar yang sedang melakukan promosi. Menurut saya ini lucu, selain dialog antara keduanya yang mengundang gelak tawa.
Film Sejarah yang Ramah Anak
Film ini menawarkan gaya baru dalam mengejawantahkan sejarah. Konsep “wayang orang” dalam pewayangan Jawa diadaptasi oleh Stern. Ia menggunakan beberapa komedian untuk memperagakan jalan cerita secara jenaka. Selain wayang, sejarah tokoh dituangkan pula lewat boneka jari, atau animasi sederhana. Konsep edukasi sejarah ini unik di tengah arus utama deskripsi sejarah lewat film drama—yang kerap kali—tidak ramah anak.
Saya—dan mungkin banyak di antara kita—acap menemui film bertema sejarah yang tidak ramah anak. Selama ini, film sejarah didominasi oleh film-film perang dan teror. Dari temanya saja, kita sudah bisa menerka bahwa film tersebut diperuntukkan bagi penonton berusia 13 tahun ke atas.
Pun perihal isi konten, tak jarang ditemui berbagai pengkhianatan, dendam kesumat, maupun cucuran darah, pemerkosaan, dan tayangan erotis. Hal-hal seperti ini bukan adegan yang layak dipertontonkan kepada anak-anak. Namun, kita tidak akan menemukan hal-hal demikian di film ini.
Akan tetapi, ada adegan yang menjadi perhatian saya. Riley dan kawannya pada pembuka film, ditampilkan sedang menonton sebuah film yang tidak cocok untuk seumuran mereka. Film 12 Years a Slave yang mereka berdua tonton mendapat rating “R” oleh lembaga sensor film AS. Ini mengusik benak saya. Bagaimana bisa anak kecil mendapat akses terhadap film dewasa? Pun latar waktu pada adegan ini adalah siang hari, sehingga kecil kemungkinan bagi stasiun televisi untuk menayangkan konten dewasa.
Absennya Glorifikasi
Salut untuk Tom Stern, karena bisa menyampaikan fakta sejarah dari sisi kulit hitam. Apalagi, banyak tokoh yang sebelumnya jarang/tidak pernah ditampilkan di media massa namun diekspose dalam film ini. Saya pun baru tahu bila ada orang yang bisa bepergian dalam kotak kayu tanpa sepengetahuan keamanan. Setahu saya hal semacam itu hanya terjadi di film kartun.
Keberimbangan gender yang ditokohkan juga perlu untuk diapresiasi. Sutradara tidak hanya menayangkan tokoh laki-laki, tapi juga perempuan, pun dengan porsi yang sama. Terlebih lagi, Stern menyajikan fakta sejarah tanpa diglorifikasi secara berlebih.
Misalnya pada adegan ketika Mae Jamison, antariksawati kulit hitam pertama mendaftarkan diri ke NASA. Tidak ada usaha yang spesial dari Jamison, dan hanya itu yang ditampilkan oleh Stern. Seperti apa Stern menggambarkan usaha Jamison tentu perlu Anda ketahui sendiri dengan menonton film ini.
Menurut saya ini lebih baik bila dibandingkan dengan Rambo, seorang prajurit AS yang begitu superior. Rambo digambarkan tidak bisa mati meski digempur artileri tentara Vietnam—terkesan dibuat-buat.
Selebihnya, film ini sukses menawarkan gaya baru dalam menceritakan sejarah, meskipun eksekusinya belum maksimal. Setidaknya memperbaiki kualitas cast hunter untuk beberapa adegan—khususnya pemeran Riley. Serta perlu pengambilan gambar ulang di beberapa adegan yang fokus kameranya masih kurang tajam.
Adillan Bil Azmy
Editor: Ikhsan Abdul Hakim