/

Kisah Kelabu di Tanah Pantura

Ilustrasi novel Dawuk oleh Yusrina Fitria/EKSPRESI
Judul Buku: Dawuk, Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu
Penulis:
Mahfud Ikhwan
Penerbit:
Marjin Kiri
Jumlah halaman:
182
Tahun terbit:
2017
ISBN: 978-979-1260-69-5

 

Ekspresionline.comDawuk, sebuah novel karya Mahfudz Ikhwan ini dapat saya khatamkan hanya satu malam karena keseruannya; cerita yang mengalir, serta faktor lainnya: buku ini relatif tipis.

Kisah ini berlatar di pesisir utara Jawa Timur, dekat dengan kawasan perhutanan jati, yang kemudian melahirkan konflik sinder, mandor, dan blandongan. Konflik ini terjadi karena dendam turunan antara ketiganya, yang tentu saja melahirkan problem sosial yang sulit diputus.

Demikian juga tentang pesanggon atau penggarap tanah hutan sebagai pekerjaan turun-temurun yang belakangan mulai ditinggalkan karena warga banyak menjadi TKI di Malaysia. Novel ini kemudian menggambarkan fakta bahwa terjadinya dinamika penduduk tradisional dengan buruh migran, sedikit demi sedikit, berkontribusi pada perubahan tatanan masyarakat.

Mahfud menggambarkan dengan kental pada dialog-dialog yang ditulisnya tentang orang-orang  pesisiran yang berkultur ceplas-ceplos, orang-orang yang gemar menggunjing tetangganya, perangkat desa yang kemlinthi, dan digambarkan pula warga pantura banyak yang menganut agama Islam yang masih kental dengan ritual-ritual adat dan perdukunan atau Islam Kejawen.

Warto Kemplung adalah sebutan untuk Warto, sang pembual yang menjadi awal cerita Dawuk ini dengan menjajakan cerita demi rokok dan kopi gratis. Dari cerita yang disampaikan Warto Kemplung, menjadikan tokoh aku atau wartawan menjadi penasaran, kemudian memutuskan untuk menulis kembali kisah Mat Dawuk ke dalam bentuk fiksi.

Mat Dawuk adalah seorang laki-laki malang yang terlahir buruk rupa dengan bibir cuil dan wajah yang sangat menyeramkan. Ibunya meninggal saat melahirkannya, tak lama kemudian bapaknya juga meninggal, dan kakeknya Ahmad Dulawi yang memilih meninggalkannya.

Terlahir dengan sosok yang buruk rupa dan keluarga yang tidak bisa dibanggakan, Mat Dawuk tumbuh menjadi seorang yang dikucilkan dan dimusuhi orang-orang desa Rumbuk Randu.

Dawuk, dalam sosok Mat Dawuk yang ditolak masyarakat Rumbuk Randu, menggambarkan masih banyak masyarakat kita saat ini yang masih tidak memilki kesadaran untuk menghargai sesama; tanpa memandang fisik maupun latar belakang keluarganya, masyarakat menjadi antagonis dan egois, serta tidak mengindahkan Hak Asasi Manusia (HAM) orang lain.

Sebagai contohnya, banyak perundungan pada orang-orang yang dianggap berbeda; orang-orang yang tertolak seperti Mat Dawuk pada akhirnya akan berbohong pada dirinya sendiri dengan menyimpan keinginannya untuk hidup normal seperti orang lain.

Mat Dawuk akhirnya pergi ke Malaysia dan menjadi pembunuh suruhan. Dia akan membunuh siapa saja sesuai permintaan para penggajinya. Warga Rumbuk Randu memang banyak memasok TKI ke Malaysia, tetapi tentunya bukan sebagai pembunuh bayaran, melainkan sebagai buruh.

Di sebuah stasiun di Malaysia, Mat Dawuk bertemu dengan Inayatun, kembang desa Rumbuk Randu yang cantik jelita sekaligus penggoda dan perusak rumah tangga orang. Saat itu, Inayatun berada dalam keadaan ketakutan dan sedang menangis.

Mulai dari sini, penulis membangun suasana manis, juga mangagumkan; ketika terjadinya hubungan percintaan antara Mat Dawuk, si lelaki buruk rupa dengan Inayatun yang cantik Jelita.

Kisah manis ini terjadi bermula dari stasiun hingga rumah singgah Mat Dawuk di Malaysia, serta berlanjut sampai rumah kandang di Rumbuk Randu. Rumah kandang yang diberikan orang tua Inayatun, yang tentu saja enggan menerima hubungan mereka berdua.

Di rumah kandang yang sederhana itu, mereka hidup manis dan bahagia di antara lagu-lagi India yang sering mereka dengarkan dan nyanyikan bersama.

Warga Rumbuk Randu  merasa ganjil dengan hubungan Mat Dawuk dan Inayatun. Tidak ada yang boleh berbeda, Mat Dawuk yang lahir dari keluarga pemberontak, serta wajahnya yang buruk rupa tidak pantas mendapat istri Inayatun yang terlahir dari keluarga terpandang dan religius. Pemikiran-pemikiran serupa tentu saja sering kita jumpai dalam kehidupan nyata, tanpa disadari hal tersebut melanggar hak atas keinginan seseorang.

Kisah Mat Dawuk dan Inayatun diakhiri dengan tragis. Inayatun yang sedang mengandung mati dibunuh. Orang-orang Rumbuk Randu mengatakan Mat Dawuk yang telah membunuh isterinya. Padahal, Mat Dawuk tidak melakukannya, tetapi orang-orang desa tetap menghakiminya.

Akhirnya, Mat Dawuk dikeroyok dan tak juga mati. Orang-orang desa kemudian memutuskan membawa Mat Dawuk ke penjara, dan setelah itu Mat Dawuk dibakar bersama rumah kandangnya.

Membaca novel ini membuat saya senang dengan kisah cinta yang manis antara Mat Dawuk, yang dia tidak bisa terus-terusan membohongi keinginannya untuk mendapat kasih sayang, dan Inayatun yang harus belajar menjadi tertib dengan segala kevulgarannya. Keduanya ganjil, sekaligus saling menggenapkan, hingga saya terempas ke dalam kesedihan karna menyadari terjadi perampasan atas hak asasi mereka.

Pandangan umum yang selama ini mengesankan bahwa desa adalah tempat yang aman, nyaman, tentram, dan damai, namun digambarkan dalam novel ini; tetap saja ada penghakiman di sana; semena-mena dilakukan, perselingkuhan, pembunuhan, serta perampasan HAM. Hal ini menunjukkan bahwa desa juga rentan dengan kriminalitas dan kejahatan lainnya.

Novel karya Mahfudz Ikhwan ini mendapat anugerah Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kategori fiksi. Novel ini hadir dengan dialog-dialog yang kuat dan bahasa yang mudah dipahami. Dawuk, Kisah Kelabu di Rumbuk Randu ini bisa masuk novel ciamik untuk anda baca.

Nuriyah Hanik Fatikhah

Editor: Abdul Hadi

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *