Ekspresionline.com–Indonesia memiliki tradisi yang unik dalam membentuk suatu kepemimpinan, yakni metode patronasi. Secara istilah, patronasi dalam dunia sosial-politik dapat dipahami sebagai seorang teladan, atau tokoh yang dijadikan panutan.
Dalam konsep ini, terdapat juga pemahaman seorang tokoh yang menjadi dambaan dan pelindung rakyat. Dilansir dari dictionary.cambridge.org, patronasi sendiri bermakna menunjukkan kesuperioritasan satu pihak dari pihak lain.
Patronasi di Indonesia dapat ditemukan dalam suatu perwujudan pengultusan individu. Individu tersebut ditokohkan sebagai sosok yang berpengaruh dan memiliki kharisma tinggi. Hal ini biasa dijumpai dalam institusi negara, agama, dan lembaga adat tradisional.
Pengultusan yang demikian itu merupakan bagian dari hubungan kerja dan tradisi yang telah mengakar kuat sejak lama. Kebutuhan akan arahan dan jalan yang dirasa tepat, membuat masyarakat membutuhkan sosok yang perlu dijadikan pedoman dalam kehidupan mereka.
Namun, tak selamanya sistem tersebut bermakna positif. Dalam beberapa kasus, sistem yang demikian itu acapkali merupakan perwujudan dari lemahnya optimisme. Selain itu, pengultusan berlebih membuka kesempatan lebar bagi beberapa sosok dan golongan untuk melakukan eksploitasi.
Ratu Adil-Satrio Piningit dan Keputusasaan Rakyat
Apabila ditarik secara historis fenomena ini memang telah mengakar kuat dalam masyarakat kita. Keberadaan tokoh karismatik adalah lambang kejayaan peradaban masa lalu, terutama dalam kebudayaan Jawa. Pada masa Hindu-Buddha, terdapat banyak tokoh terkenal yang menjadi pamor (identitas) kerajaan tertentu. Seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada di Majapahit, lalu Balaputradewa dari Sriwijaya.
Tokoh-tokoh itu selain menjadi kebanggaan kerajaan, juga menjadi ikon khas kerajaan tersebut. Oleh karena itu, apabila disebut nama suatu kerajaan, maka tokoh ikonik seperti itulah yang mungkin akan langsung tebersit di dalam benak.
Keberhasilan tokoh tersebut tak lain karena prestasinya, sehingga ia mampu menarik simpati banyak pihak. Selain menarik simpati, ada beberapa tokoh yang fenomenal karena apa yang dilakukannya. Ranggawarsita dan Jayabhaya adalah kedua tokoh itu. Berkaitan dengan patronasi, mereka adalah dua tokoh yang mampu menguraikan konsep tersebut pertama kali.
Kedua tokoh tersebut terkenal dengan konsepnya Ratu Adil dan Satrio Piningit. Konsep ini memberikan gambaran tentang sesosok pemimpin ideal bangsa. Dalam konsep tersebut, Ratu Adil adalah pemimpin yang akan membimbing rakyat menuju kemakmuran. Selain itu, juga sebagai penyelamat bangsa Indo (Jawa) dari zaman kalathida (kehancuran).
Satrio Piningit adalah satria terpilih yang keberadaanya masih tersembunyi. Kehadiran mereka adalah bentuk jawaban dari ketidakstabilan masa itu.
Perlu dipahami, saat Ranggawarsita menulis tentang ciri kedua tokoh tersebut, masyarakat Jawa tengah dalam cengkeraman kolonial. Oleh karenanya, saat itu keputusasaan masyarakat yang tinggi melahirkan harapan hadirnya pihak ketiga, atau tokoh pembebas dari kondisi yang demikian.
Dalam masa pergerakan nasional, Haji Oemar Said Tjokroaminoto dengan Sarekat Dagang Islamnya dianggap sebagai Satrio Piningit tersebut. Penokohan yang dilakukan padanya karena saat itu, masyarakat Jawa yang melarat dan terbodohi, merasa putus asa.
Dengan gerakannya itu, Tjokroaminoto mampu mengorganisir rakyat dan memberi pengharapan akan datangnya zaman baru yang lebih baik. Tjokroaminoto menjadi dambaan rakyat dan simbol kekuatan dewata pada masa itu.
Hal itu pula yang disematkan pada Soekarno. Ia dianggap sebagai juru selamat setelah pergerakannya yang malang melintang dalam membentuk dasar negara, hingga ia memproklamirkan kemerdekaan. Sebagai presiden, ia dianggap sebagai Ratu Adil dalam kitab yang diramalkan Ranggawarsita dan Jayabhaya. Bahkan secara lebih ekstrem, Soekarno di Bali dianggap sebagai jelmaan Dewa Wisnu yang akan membebaskan rakyat pada zaman Kaliyuga (kehancuran).
Dalam sebuah jurnal oleh Universitas Hindu Indonesia, dijelaskan kedatangan Ratu Adil dan Satrio Pininggit juga sering dibahas menjelang datangnya pemilu. Dengan harapan, pemimpin yang terpilih mampu mengembalikan kejayaan kerajaan masa lalu yang hilang.
Kemelaratan, inflasi, dan bencana yang dialami rakyat menyuburkan paham ini seiring perkembangan zaman. Kendati paham ini adalah paham kuno, tetapi madu manis dari pengharapan rakyat atas pembebasan dari rasa putus asa membuatnya semakin langgeng.
Patronasi dalam Dunia Politik dan Sosial Kini
Pada 2021 lalu, jagat media sosial tengah dihebohkan dengan kasus kekerasan seksual di sebuah pesantren. Awalnya, kasus ini muncul dari dugaan pelecehan yang dilakukan kepada santri oleh pelaku berinisial MSAT, anak kyai kondang di Jombang.
Seperti umumnya kasus kekerasan seksual, pelaku perlu ditindak secara tegas. Setelah viral dengan dugaan adanya pencabulan, sang pelaku langsung menjadi buronan. Kendati demikian saat dipanggil pihak kepolisian, pelaku ternyata mangkir selama tiga kali.
Dilansir dari kompasiana.com, akhirnya polisi mengambil keputusan untuk menjemput para pelaku di pesantrennya. Nahas, ternyata pelaku dibela oleh simpatisan dan jemaah ayahnya yang merupakan kyai tersohor. Dengan dipenuhi drama kekerasan dan saling gontok, pelaku mau menyerahkan diri.
Kasus tersebut adalah sebuah cerminan sisi buruk dari pengaruh ketokohan dan patronasi di Indonesia. Dilihat dari bagaimana anak seorang tokoh dihormati walaupun salah, dan tetap dibela oleh simpatisan fanatiknya.
Hal itu adalah satu dari sekian banyak kasus buruk dari pengaruh yang diwariskan sistem feodalisme di pesantren. Kendati tak semua pesantren demikian. Apakah hal tersebut akan dibiarkan? Lalu bagaimana dampak kedepannya apabila sistem tersebut tak diubah?
Tentunya, tak mudah mengubah sistem yang telah mengakar jauh sebelum republik ini berdiri. Bagi negara yang berkembang seperti Indonesia, nepotisme dan kawannya masih menjadi persoalan pelik.
Sistem hukum yang berjalan terkesan banyak manipulasi dan intrik oleh tokoh-tokoh pemangku kekuasaan. Hal ini tercermin dan dapat dilihat dengan bagaimana turut campurnya Jokowi dalam gelaran Pilpres 2024 yang melibatkan anaknya itu.
Walaupun Gibran secara umur, harusnya belum memenuhi syarat yang tertuang dalam konstitusi. Toh pada akhirnya, setelah melalui campur aduk ramuan kekuasaan dan intrik politik, ia mampu melenggang ke kursi RI 2. Lalu, apakah yang disebutkan oleh Ranggawarsita dalam ramalannya itu benar? Zaman kehancuran di mana rakyat saat itu ditimpa kesusahan pelik, akan teratasi oleh datangnya sang pemimpin pilihan itu adalah kebenaran?
Bagi penulis, mungkin iya dan mungkin tidak. Satrio Piningit dan Ratu Adil sekarang ini dipenuhi oleh propaganda media. Suatu cara licik golongan dalam mengemas tokoh panutannya sebagai juru selamat.
Pembaca mungkin dapat memahami bahwa di masa sekarang, apabila merujuk pada suatu partai, ormas keagamaan, dan sebagainya, pasti identik dengan tokoh tertentu. Bagi penulis, pada masa sekarang ini hal tersebut memang berkaitan dengan bagaimana organisasi itu melakukan framming pada suatu tokoh agar menjadi ikonik
Pengemasan figur inilah yang pada akhirnya menghasilkan kelompok ekstrimis, fanatik buta, dan kolot. Hal itu adalah bentuk warisan feodalisme lampau yang sangat meracuni sendi kehidupan sosial-politik bangsa ini.
Kelompok yang demikian, acapkali menganggap golongannya yang paling baik. Mirip kelompok fasis ultranasionalis, mereka akan berpikir merekalah sipaling superior. Apalagi dengan pengultusan berlebihan terhadap suatu tokoh, terkadang membuat tokoh tersebut kebal kritik. Setiap “dawuh” dari tokoh tersebut akan diterima sebagai kebenaran mutlak oleh pemujanya.
Dalam masa sekarang ini, patronasi dapat dilihat dari bagaimana partai politik dan ormas keagamaan menampilkan wajah ketua umumnya dalam setiap publikasi. Tak peduli dari partai seperti PDIP, Nasdem, PKB, maupun ormas keagamaan seperti NU.
Publikasi terhadap ketokohan mereka digunakan untuk menggaet simpati pembaca dan perhatiannya. Tak jarang framing itu digunakan guna membangun image sang tokoh sebagai figur yang bijak.
Bagi pembaca sendiri, apakah cara-cara dan tradisi yang demikian itu baik untuk diteruskan? Apakah ada dampak positif apabila tidak? Mari sejenak renungkan!
Rizqy Saiful Amar
Editor: Rosmitha Juanitasari