Rabu (13/09), di Balai Desa Parangtritis, pemerintah kabupaten Bantul melakukan sosialisasi penertiban bangunan, tanaman, dan tambak di kawasan zona inti gumuk pasir Parangtritis, Kretek, Bantul. Sunarto, anggota tim sosialisasi penertiban, mengatakan bahwa tidak ada surat dari Keraton untuk membentuk badan pengelola gumuk pasir Parangtritis. Hal ini karena Sultan telah memberi perintah secara lisan.
“Badannya sedang dalam proses (pembentukan, red.), tapi Sultan sudah menyetujui, dan kami diminta untuk menata lingkungan gumuk pasir,” ungkap Sunarto, yang juga ahli geomorfologi pesisir dari Fakultas Geografi UGM.
Sri Sultan Hamengkubuwono X, yang memiliki nama asli Herjuno Darpito, disebut Sunarto sebagai pemilik daerah gumuk pasir. Hal tersebut menurut Sunarto merujuk pada Sultan Ground (SG), yang menyatakan semua tanah yang tidak memiliki hak milik adalah milik Keraton. “Sultan sebagai pemilik gumuk pasir memberi perintah kepada bupati,” ujar Sunarto.
Sementara itu, Watin, warga Parangkusumo, mengatakan bahwa seharusnya pemerintah kabupaten Bantul tak boleh mengikuti perintah Keraton untuk menggusur warga dengan dalih penertiban. Hal senada dikatakan Kawit, warga Parangkusumo lain, yang sehari-hari berjualan soto. “Keraton tidak boleh memberi perintah pada negara,” ujarnya. Lebih lanjut, Kawit mengatakan, ada kepentingan Keraton untuk melayani investor di balik upaya penggusuran.
Kawit, yang rumahnya dijadikan sanggar belajar, mengatakan bahwa SG tidak berlaku sejak ditetapkannya Keppres No.33/1984 dan Perda DIY No.3/1984 yang berisi pelaksanaan sepenuhnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) di Yogyakarta. Kawit mengingatkan, mandat dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah tanah untuk kesejahteraan rakyat. Begitu juga menurut Watin, “Di Jogja ini tanah negara. Artinya, ini bukan tanah Sultan, ini tanah rakyat.”
Imam Ghazali