Penulis : Sujiwo Tejo dan Dr. M. N. Kamba
Penerbit : Penerbit Imania
Cetakan : I, Maret 2020
Tebal : 368 halaman
Ekspresionline.com–Setiap manusia memiliki potensi-potensi intelektual, kejujuran, kebijaksanaan, dan cinta kasih. Potensi yang dianugerahkan Tuhan itu semestinya digunakan dalam memahami dan memaknai agama maupun kitab suci. Agama dan kitab suci dihadirkan bukan hanya untuk dianut, tapi juga untuk disejiwai dan disebadani.
Manusia telah cukup diberi petunjuk dari Tuhan. Keteladanan pun Tuhan perlihatkan melalui utusan-Nya. Meski demikian, masih ada juga yang mengabaikan segala potensinya dengan memilih bersikap taklid buta. Padahal, taklid buta justru membawa mereka pada tafsiran—yang mungkin sempit dan terpenjara dalam bahasa kata—dari pemangku otoritas keagamaan yang bisa saja meleset, atau bahkan bertolak belakang dengan apa yang diinginkan Tuhan.
Mungkin itu, sedikit gambaran yang saya tangkap dari narasi yang diangkat oleh Sujiwo Tejo dan Dr. M. N. Kamba dalam buku ini, Tuhan Maha Asyik 2. Keasyikan Tuhan yang tidak terlihat manusia karena mereka terlampau asyik beragama.
Buku ini merupakan seri kedua dari buku mereka, Tuhan Maha Asyik (2016). Namun, buku ini tetap dapat diikuti meski belum membaca buku seri pertama.
Lirik lagu Ingsun karya Sujiwo Tejo, disuguhkan dalam buku ini sebagai pembuka. Lagu pembuka ini seakan mambantu dalam menggambarkan pembahasan yang akan disampaikan dalam buku ini. Berikut bunyi penggalan liriknya:
Mbrebes mili banyu saking langit
(Air mata menetes dari langit)
Tibeng kedung lumembak ing pangkon
(Jatuh di keheningan hati lalu beriak-riak sepi di pangkuanku)
Anut nyemplung lelakon mgaurip
(Agama tak bisa dipelajari namun dilakukan)
Cumeplong roso atiku
(Baru plong rasa di hati)
Penggalan lirik ini agaknya menceritakan mengenai pertemuan spiritual yang dialami manusia, antara sabda dari langit dan pemaknaan kehidupan yang dijalani manusia dengan penuh kepekaan dan kesadaran.
Pesan-pesan dalam buku ini disampaikan melalui kisah anak-anak dari berbagai keyakinan, yang merdeka dalam berpikir dan berdialektika. Berbagai keyakinan itu dapat diindikasi dari nama mereka: Christine, Samin, Parwati, Dharma, Kapitayan, Buchori, dan Pangestu.
Bocah-bocah itu terbilang sangat kritis dibanding bocah seusianya. Dari percakapan biasa sehari-hari, mereka mampu berefleksi dan memunculkan berbagai pertanyaan kritis. Pertanyaan yang terkadang membuat orangtua dan guru mereka bingung untuk menjawabnya.
Berbagai pertanyaan kritis hasil dari diskusi mereka, menginspirasi pembahasan mengenai Tuhan, agama, dan kitab suci. Singkatnya, kisah mereka digunakan sebagai pengantar di setiap pembahasan dalam buku ini.
Agama yang Kering-Kaku
Isi buku Tuhan Maha Asyik 2 banyak menyinggung soal pandangan kebertuhanan yang pada akhirnya mengantarkan agama kepada formalisme struktural. Formalisme struktural yang membangun identitas kelompok eksklusif. Bukan untuk gambaran kebaikan, melainkan untuk melanggengkan kekuasaan.
Buku ini cukup piawai dalam menunjukkan bagaimana akhirnya otoritas keagamaan membuat agama menjadi formalisme struktural. Tidak hanya itu, bahkan lebih jauh, yakni agama menjadi terasing dari realitas kehidupan.
Pada bagian Bukan Doa Arus Utama, buku ini menjelaskan apa yang akan terjadi bila agama hanya dipahami dengan wacana dan kata-kata. Selain itu, ditegaskan juga bahwa agama sebetulnya tidak hanya dipahami dengan bahasa kata, namun juga bermacam bahasa—bahasa lukisan, bahasa musik, bahasa aroma, dan beragam medium lainnya di luar kata.
Contoh konkret yang diberikan oleh buku ini adalah munculnya perspektif agama terhadap kehidupan: Bahwa apa pun yang tidak ada kaitannya dengan sistem keimanan dan peribadatan tidak dikategorikan sebagai bagian dari agama.
Selain itu, pada bagian Matematika Tanduk Banteng juga mempertegas bagaimana otoritas keagamaan menggantikan posisi Tuhan dalam pengawasan dan penerapan firman-firman-Nya. Oleh sebab itu pula, pada akhirnya ada monopoli sekelompok orang dalam memahami dan menafsirkan agama maupun kitab suci.
Dalam hal ini, bisa dibilang buku ini menunjukkan betapa ironisnya ekslusivitas yang tercipta dari sekelompok orang di tengah-tengah inklusivitas firman-firman Tuhan bagi seluruh umat manusia. Dan, akibat eksklusivitas itu agama mengalami disorientasi dan berubah menjadi kaku.
Tuhan yang Dilupakan
Buku ini menyampaikan betapa pentingnya bertuhan dalam beragama. Beragama tidak serta-merta sama dengan bertuhan. Saat umat beragama disibukkan oleh rumusan aturan-aturan keimanan dan peribadatan yang baku, terkadang mereka tidak menyadari bahwa dalam kegiatan beragamanya itu membuat mereka lupa dengan Tuhan.
Pada bagian Nikmat Teh Mana Lagi Yang Kau Dustakan, dijelaskan bahwa pengertian agama sebagai “sistem aturan keimanan dan peribadatan” kurang relevan dengan kepercayaan atas Tuhan yang maha absolut. Argumen yang diberikan pun cukup logis, Absolutnya Tuhan tidak menghendaki adanya rumusan konsepsi maupun persepsi tentang Tuhan.
Buku ini juga menggambarkan dampak dari adanya konsep teologis—yang mempersonifikasi Tuhan. Yakni, jika sistem keimanan dimaknai sebagai konsepsi teologis tentang Tuhan, maka Tuhan yang dikonsepsikan bisa jadi bukan lagi Tuhan, melainkan sosok personifikasi yang direkayasa oleh akal menjadi suatu konsep teologis. Bisa dikatakan, seseorang bisa saja beragama tapi sesungguhnya tidak bertuhan.
Selain itu, pada bagian Bukan Doa Arus Utama, beragama dan bertuhan digambarkan dengan perumpamaan. Jika agama adalah sistem aturan keimanan dan peribadatan, maka seseorang hanya akan disibukkan oleh aturan-aturan itu. Adapun Tuhan adalah kebaikan absolut yang tidak bisa dipersepsikan maupun dikonsepsikan. Dia hanya bisa direfleksikan dalam laku kebaikan.
Perumpamaan itu diperkuat dengan pemikiran logis, bahwa memang Tuhan adalah poros utama agama. Namun, bukan berarti Tuhan menghendaki hamba-Nya memperjuangkan hak-hak Tuhan. Melainkan, lebih kepada memperjuangkan hak-hak hamba-Nya yang terbengkalai sebab Tuhan sendiri sudah selesai dengan hak-hak-Nya.
Contoh yang diberikan mengenai hal itu juga logis: Tuhan bisa saja memaafkan kesalahan manusia yang terkait dengan hak Tuhan, tapi tidak mengampuni kesalahan yang terkait dengan hak sesama hamba-Nya—selama sesamanya itu tidak memaafkan.
Buku ini mempertegas bahwa mendahulukan kepentingan sesama lebih disanjung oleh Tuhan. Di sisi lain, manusia dapat terjerumus dalam sikap selifish bila abai terhadap hak sesama. Terlebih, jika pengabaian tersebut dilakukan dengan dalih mengatasnamakan agama dan memepejuangkan hak Tuhan.
Gambaran mengenai “beragama dan bertuhan” dengan perumpamaan ini sedikit mengingatkan saya pada sebuah film Pee Kay (2014) yang disutradarai oleh Rajkumar Hirani. Sebuah film yang juga bermuatan kritik atas banyaknya pandangan kebertuhanan. Di mana pada akhirnya hanya mengantarkan agama kepada formalisme struktural yang membangun identitas kelompok eksklusif yang egois dan hanya ingin melanggengkan kekuasaan.
C.M. Haryaldi
Editor: Kevin Aryatama