Judul film: Basri & Salma in a Never-ending Comedy
Tahun rilis: 2023
Genre: Komedi/Drama
Asal negara: Indonesia
Sutradara: Khozy Rizal
Distributor: Hore Pictures
Ekspresionline.com–Dunia adalah ruang yang dipenuhi oleh manusia-manusia yang amat sangat penasaran. Penasaran dengan segala urusan pribadi yang bahkan tak pernah mereka alami. Berusaha menghidupi manusia lain dengan pertanyaan-pertanyaan yang setiap harinya akan mencabang menjadi pertanyaan baru.
“Kapan lulusnya? Kuliah mulu.”
“Kapan kerjanya? Kok nganggur di rumah terus?”
“Sudah ada pasangan belum? Mau tante kenalin sama anak temen tante?”
“Kok belum hamil? Mandul ya?”
Terlalu banyak tanya hingga rasanya menikmati udara saja begitu menyusahkan. Apakah hidup memang harus dituntut untuk memenuhi ekspektasi banyak orang? Berusaha menentang pun hanya akan dianggap tidak menghargai kepedulian mereka. Sebuah kepedulian yang bahkan eksistensinya tidak terasa sama sekali.
Setidaknya, keresahan itulah yang berusaha disampaikan oleh Khozy Rizal dalam karya terbarunya. Basri & Salma in a Never-ending Comedy menjadi film pendek pertama Indonesia yang berhasil tayang di Festival Film De Cannes pada tahun 2023. Selain itu, film pendek ini juga mendapatkan banyak sekali apresiasi dan penghargaan internasional.
Alur cerita yang ditampilkan dalam film Basri & Salma in a Never-ending Comedy cukup relate dengan kehidupan sehari-hari. Bercerita tentang Basri dan Salma yang bekerja sebagai penarik odong-odong di suatu karnaval. Meskipun pekerjaan mereka tidak lain adalah menghibur anak-anak, tetapi di usia pernikahan yang sudah menginjak 5 tahun, mereka belum juga dikaruniai momongan. Pertanyaan “kapan punya anak?” terus menghiasi kehidupan mereka, bahkan dianggap sebagai suatu tekanan yang menyebalkan.
Sinematografi hingga Akting Para Pemain
Meski hanya sebuah film pendek yang berdurasi tidak lebih dari 15 menit, penggarapan dalam film ini terbilang cukup niat. Dilihat dari pengambilan shot yang begitu mulus ditemani dengan tone warna yang memanjakan mata, menjadikan film ini mampu bersaing dengan deretan film-film terkenal lainnya.
Terdapat salah satu scene yang cukup menarik untuk dibahas, yaitu saat adegan makan malam. Dalam adegan ini, kita dapat melihat bahwa tone warna kuning mendominasi seluruh gambar, seolah menunjukkan kehangatan dan kebahagiaan dari sebuah keluarga. Namun, jika kita melihat melalui sudut pandang Basri, maka tone warna yang akan terpancar berubah menjadi kuning redup dengan simbolis kecemburuan Basri yang selalu dibandingkan dan diremehkan oleh keluarganya karena belum memiliki seorang anak.
Selain itu, kita juga dapat melihat skema warna triadik yang muncul di awal scene Basri dan Salma yang tengah menunggu pelanggan. Warna triadik sendiri identik dengan perpaduan warna merah, biru, dan kuning. Menuju ending, kita dapat melihat perubahan tone warna menjadi biru gelap yang menunjukan kesedihan sehingga menimbulkan suasana yang melankolis.
Tak hanya menilai dari segi sinematografi saja, akting para pemain juga kian menjadi sorotan. Khozy Rizal dikenal selalu menggunakan kota Makassar sebagai latar tempat dalam karyanya, bahkan crew hingga aktor yang terlibat dalam proses pembuatan film ini merupakan orang asli Makassar. Oleh karena itu, saat proses syuting penggunaan dialek Makassar dari setiap karakter terlihat sangat natural.
Para aktor mampu memerankan setiap karakter dengan sangat baik, bahkan tidak terkesan memaksa atau dibuat-dibuat. Ekspresi wajah, gestur tubuh, akting yang tidak berlebihan dan penuh penghayatan menjadikan penonton seolah mampu merasakan perasaan atau suasana yang terjadi di dalam film.
Realita Kehidupan dari Keluarga yang “Idealis”
Banyak anak stress hilang
Hidup indah bagai bunga telang
Padat penduduk tidak apa
Yang penting kita bahagia
Dalam film pendek Basri & Salma in a Never-ending Comedy, terdapat adegan yang menampilkan Basri tengah berhalusinasi melihat keluarganya menyanyikan sebuah lagu. Adegan ini bagi sebagian orang mungkin dianggap sebagai puncak komedi, tetapi mari kita amati lebih lekat penggalan lirik lagu yang tertera.
Benarkah memiliki banyak anak dapat menghilangkan beban pikiran?
Pada scene makan malam, dapat kita lihat terdapat beberapa karakter lain di sana, yaitu Rusdi dan Firman yang merupakan saudara Basri. Melalui scene tersebut, kita dapat melihat kemunafikkan dari 2 karakter yang ucapan dan tingkah lakunya tidaklah berkesinambungan.
Rusdi mengatakan bahwa setelah ia memiliki 3 anak, ia selalu mendapatkan rezeki yang entah datang dari mana saja dan menjadikan keluarganya lebih harmonis. Namun, yang sebenarnya terjadi adalah keluarga Rusdi tengah terlilit hutang. Hal ini dibuktikan pada awal scene di mana Basri mendapatkan telepon dari orang tidak dikenal yang mengatakan jika Rusdi tak lekas melunasi hutangnya, maka video syur Rusdi dan istrinya akan disebarluaskan.
Begitu pula dengan Firman, yang mengatakan bahwa semakin banyak anak yang lahir maka rezeki yang Tuhan beri juga akan semakin berlimpah. Membawa nama Tuhan, tetapi tidak menjalankan kodratnya sebagai laki-laki sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki. Firman diceritakan sebagai pria pengangguran dan hanya menjadikan istrinya sebagai pemuas nafsu saja, bahkan terdapat adegan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) antara Firman dan istrinya yang kemudian memperlihatkan sisi kasar dan arogan dari seorang Firman.
Alih-alih menjadi keluarga yang harmonis dan terhindar dari beban pikiran, keluarga yang dianggap “idealis” justru menjadi keluarga yang berantakan. Berbeda dengan Basri dan Salma yang menjalani kehidupan dengan sederhana, sikap saling menerima dan selalu ada menjadikan keluarga mereka lebih harmonis walaupun tanpa seorang anak.
Pada scene akhir yang memperlihatkan adegan intim Basri dan Salma, dapat kita ketahui bahwa alasan Basri dan Salma belum memiliki anak adalah karena ketidaksiapan Salma dalam menjadi ibu. Meski tidak dijelaskan secara detail, tetapi kita dapat melihat raut kegelisahan Salma yang nampak saat ia harus menjadi orang yang menghibur anak-anak saat Firman dan istrinya bertengkar.
Oleh sebab itu, bisa diasumsikan bahwa bukan permasalahan ekonomi yang menjadi faktor pemicu baginya untuk tak memiliki anak, tetapi karena adanya pemandangan buruk yang harus ia saksikan melalui keluarga yang selalu dianggap “idealis”. Menariknya adalah di tengah-tengah tuntutan keluarga yang meminta Basri untuk cepat memiliki anak, Basri tetap tak goyah dan mengikuti keputusan dari istrinya.
Hal ini kemudian membuat saya bertanya, apakah keluarga yang harmonis hanya terlahir dari keluarga yang memiliki banyak anak? Apakah bahkan tak memiliki anak berarti tak bahagia?
Saya rasa pemahaman “banyak anak banyak rezeki” merupakan sebuah tuntutan yang mencoba diperhalus. Menjadikan pemahaman tersebut sebagai alasan dari para kaum kolot untuk menjadikan wanita sebagai pemuas nafsu dan mesin pencetak anak saja.
Evaluasi Cerita
Meskipun Basri & Salma in a Never-ending Comedy memiliki konsep cerita mengenai anak-anak dan kehidupan keluarga, tetapi perlu diingat bahwa film ini dikhususkan bagi siapa pun yang berusia di atas 17 tahun. Terdapat beberapa jokes yang mengandung unsur seksual, kekerasan hingga hubungan intim yang menjadikan film ini kurang cocok untuk disaksikan bersama keluarga.
Melabelkan filmnya sebagai genre komedi, saya rasa unsur komedi yang ada dalam film Basri & Salma in a Never-ending Comedy masih kurang menonjol dan hanya berpatok pada candaan “dewasa” saja. Bahkan saya sempat menduga akan adanya pergantian genre yang bisa mengubah alur film menjadi lebih menarik karena ekspresi wajah Basri yang begitu mendukung. Namun, adegan selanjutnya hanyalah pertengkaran biasa antara Basri dengan pelanggan, kemudian ditutup dengan adegan hubungan intim yang menjadikan ending film dirasa kurang greget.
Dari segi sinematografi dan alur cerita yang disajikan, film ini sangatlah pantas untuk mendapat banyak apresiasi dan penghargaan dari dalam maupun luar negeri. Menjadi bukti bahwa dunia perfilman Indonesia mampu bersaing dan bisa memberikan banyak tontonan yang menarik dan inspiratif.
Lutfiya Lamya Dauratul Hikmah
Editor: Dita Iva Sabrina