Jakarta Undercover: Perjalanan Memburu Duka

Ekspresionline.com – Kota tak bisa tak sibuk. Ia gaduh dan riuh. Kompleks dan tak sederhana. Manusia yang hidup di dalamnya datang dari berbagai penjuru dengan berbagai tujuan yang entah apa. Begitu pula dengan Jakarta, pemilik hiruk pikuk yang tak kunjung redup.
Ia adalah gedung tinggi, kemacetan dan suara klakson nun memancing emosi, serta orang-orang berdasi yang tak sempat sarapan di pagi hari. Ia adalah rumah susun berhimpitan yang akrab dengan kemiskinan dan pasar kumuh dengan aroma peluh. Juga sebagai malam yang tak pernah sepi—aktivitasnya tidak berhenti.
Melalui film Jakarta Undercover, Fajar Nugros menyoroti yang terakhir—gemerlap dunia malam ibu kota. Film rilisan tahun 2017 ini merupakan adaptasi dari novel karya Moammar Emka dengan judul serupa.
Sebelumnya, pada tahun 2006, Jakarta Undercover pernah digarap oleh Lance. Selang sebelas tahun, film tersebut digarap ulang dengan melibatkan partisipasi penulis novel sebagai produser eksekutif. Hal ini juga dimaksudkan untuk lebih menghidupkan cerita sesuai dengan novel karyanya.
Seperti judulnya, Jakarta Undercover merupakan cerita tentang yang tersembunyi dari sebuah kota—tentang hiburan malam seputar seks dan narkoba. Dengan balutan nuansa seksual, prostitusi mendapat porsi sorotan yang banyak dalam film ini.

Film ini bercerita melalui sudut pandang seorang wartawan rantau dari Jawa Timur. Prasetya Nugaha (Oka Antara), namanya. Akrab disapa Pras. Dengan mengantongi ambisi besar terhadap profesi wartawan, Pras berangkat ke Jakarta disertai sebungkus restu dari ibunya. Adalah sesosok Djarwo (Lukman Sardi) yang mendorongnya untuk pergi merantau dari kampung halaman. Nama yang disebut terakhir itu merupakan pimpinan redaksi majalah di ibu kota. Tulisan-tulisannya semasa Djarwo menjadi wartawan membuat Pras mengidolakannya.
Pras tinggal di sebuah rumah susun yang mungil. Berdomisili di kota besar tak membuat Pras lepas sepenuhnya dari logat Jawa dan sikap lugu. Ia juga tak pernah lupa dengan ibunya meski telah jauh. Tiap pukul tujuh, pagi dan malam, Pras selalu mengangkat telepon dari sang ibu. Tak lain tak bukan, ia lakukan itu untuk mereda kekhawatiran sekaligus kerinduan perempuan yang melahirkannya.
Film adaptasi novel terbitan 2003 ini dibuka dengan adegan tokoh utama yang terbangun kaget karena dering telepon dari ibunya pada suatu pagi. Tepat pukul tujuh. Terlihat jelas rindu yang mencuat pada setiap petuahnya dalam percakapan via telepon itu.
Meski begitu, yang baru bangun sedang tak terlalu bersemangat menjawabinya. Pasalnya, rantauan satu ini tengah dirundung kecewa. Kantor yang menjadi labuhan ambisinya itu ternyata justru memaksa ia menjadi wartawan tanpa idealisme. Pras dihadapkan pada kondisi bisnis media cetak yang sekarat; hidup segan, mati tak mau. Oleh karenanya, tulisan yang ia garap kerap kali merupakan tulisan titipan pejabat Senayan demi kelangsungan perusahaan.
Pekerjaan Pras kemudian bak pekerjaan menimbun kecewa dalam hatinya sendiri. Ia telah lelah dan jenuh. Hingga pada suatu malam yang gaduh, di anak tangga di jalanan ibu kota, secara insidental, Pras bertemu dengan Awink (Garindra Bimo)—lelaki penari striptis berbadan kekar nan feminin.
Pertemuan keduanya merupakan pintu gerbang kelana Pras dalam menyusuri kehidupan malam Jakarta. Melalui Awink yang belakangan ia ketahui adalah tetangganya di rumah susun, Pras berkesempatan menyelami hiburan malam ibu kota lebih dalam.
Ia juga kemudian berteman baik dengan Yoga (Baim Wong). Pras mendapati, di bawah naungan kawan barunya itu bisnis narkoba dan ekspansinya dapat berlangsung dan bertahan melalui pesta-pesta di private bar. Juga di bawah naungan Mama San (Agus Kuncoro)—mucikasi yang seorang transpuan—bisnis seks dikemas menjadi sebegitu istimewa sekaligus rapi. Prostitusi kelas atas. Mucikari ini menjanjikan realisasi imajinasi seksual kliennya yang berani membayar mahal.
Mulai dari seks di gerbong kereta, seks dengan pamugari, seks dengan suster di sebuah klinik, hingga seks dengan dua perempuan yang masing-masing memerankan tokoh pendekar dan bertengkar—saling mencakar, sebelum penetrasi dimulai.
Mendapati hal-hal demikian, Pras yang sedang di ambang putus asa tadi mulai merasa semangatnya kembali. Ia merasa perlu mengabarkan kepada khalayak soal apa yang ia saksikan. Tak lagi ambil peduli pada tulisan-tulisan titipan yang melelahkan, ia berfokus untuk mengemas aktivitas malam Jakarta dalam artikel.
Pras bergerilya dari satu malam ke malam lainnya dan dari satu pesta ke pesta lainnya dengan alat perekam sebagai senjata. Pras terjun dalam hiruk pikuk gemerlap Jakarta. Namun begitu, nampaknya, pekerjaan Pras kali ini justru cukup menguras emosi.
Ia mendapati belakangan bahwa di balik hiburan malam tersebut, terdapat orang-orang yang terpaksa—orang-orang yang mengantongi nestapa. Pekerja seks komersil (PSK) yang senantiasa meramaikan pesta-pesta itu nyatanya adalah tulang punggung ekonomi keluarga.
Laura (Tiara Eve), misalnya. Ia digambarkan sebagai anak pertama dari dua bersaudara dalam sebuah keluarga yang kaos karena bangkrut. Ayahnya korupsi dan dipenjara. Sedang ibunya depresi berat hingga perlu dirawat di rumah sakit. Sementara itu, si bungsu Pinkan yang masih menjalankan studi di perguruan tinggi tumbuh menjadi pendendam.
Kondisi demikian bak menuntut Laura untuk mengambil alih kendali ekonomi keluarga. Laura yang semula seorang model kemudian merangkap menjadi PSK di bawah naungan Mama San untuk menangani masalah ekonomi keluarganya. Nasibnya tak jauh beda dengan Sasha (Nikita Mirzani). Ia menginvestasikan tubuhnya pada Mama San untuk menghidupi keluarga miskinnya di kampung. Latar belakang ekonomi keluarga Sasha yang demikian yang membuatnya terpaksa terjun dalam dunia prostitusi.
Mengingat film ini merupakan adaptasi dari novel realis, penggambaran tersebut memang tak luput dari realitas yang ada di lapangan. Banyak PSK yang lekat dengan beban ekonomi keluarga sebelum memutuskan untuk terjun ke dunia prostitusi.
Rae Story, seorang penyintas dari Inggris mengatakan bahwa mayoritas perempuan yang menjadi korban perdagangan seks berasal dari kelas sosio-ekonomi bawah. Karena prostitusi menawarkan uang yang cepat, maka lebih mudah menarik perempuan-perempuan miskin ke dalam perangkap perdagangan seks daripada mereka yang sudah stabil secara finansial.
Andy Yentriyani, salah satu komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan dan penulis buku Politik Perdagangan Perempuan menjelaskan fenomena tersebut. Dalam bukunya, ia mengutip laporan hak asasi manusia perempuan yang diterbitkan oleh Human Rights Watch, tentang Trafficking in Women and Girls into Forced Prostitution and Forced Married:
“…Konstruksi masyarakat yang patriarkal menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Karena posisi tersebut, perempuan tidak memiliki kekuasaan atas pengambilan keputusan, bahkan mengenai tubuh dan masa depannya sendiri karena dianggap tidak sanggup untuk secara rasional memutuskan sesuatu yang bersifat strategis. Terutama bila kepentingan keluarga yang lebih luas dipertaruhkan dalam keputusan tersebut, misalnya dalam hal meringankan beban ekonomi keluarga.”
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa prostitusi terjadi karena desakan ekonomi dan kemiskinan sebagai dampak dari sebuah sistem yang lebih besar yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat.
Juga posisi PSK di bawah mucikari yang sama mengerikannya. Seperti ungkapan Sasha kepada Pras di atas ranjang pada suatu malam, bahwa dengan nominal sekitar 500 juta, mucikari dapat mengikat PSK untuk kemudian dipekerjakan olehnya. Masing-masing PSK mesti bekerja dan memenuhi target untuk mengembalikan uang investasi Mama San tersebut beserta bunga-bunganya.
Prostitusi tak pernah menjadi pilihan utama. Apalagi, dalam suatu masyarakat yang patriarkis. Bukan hal mudah bertahan hidup menjadi PSK dalam lingkungan demikan. Betapa harus berani menyalahi standar moral yang telah dikonstruk sedemikian rupa. Dalam masyarakat kita, apa yang dikerjakan oleh Laura dan Sasha dinilai sebagai kejahatan moral. Komersialisasi seks bertentangan dengan nilai-nilai agama yang tumbuh subur di masyarakat. Sehingga, posisi PSK rentan terhadap perilaku diskriminatif bahkan persekusi.
Hal tersebut juga digambarkan dalam adegan Sasha yang tengah menangis ketika digiring Pras ke dalam percakapan soal keluarganya. Pekerjaan yang dijalaninya membuat ia segan untuk pulang dan sekadar bertatap muka dengan ayah-ibunya. Sasha menganggap dirinya tak pantas untuk berkumpul kembali dengan orang-orang yang disayanginya.
Bersinggungan dengan dinamika kisah hidup yang demikian, perjalanan wartawan itu kemudian bak perjalanan memburu duka. Ia menghimpun kenyataan-kenyataan pahit dari gemerlap malam ibu kota. Hiburan yang demikian meriah dengan komposisi nestapa di dalamnya. Lebih dari menyuguhkan cerita soal hiburan malam, film ini ingin mengabarkan duka pada semesta.
Meski alur cerita dalam film ini biasa-biasa saja, Jakarta Undercover berhasil membawakan kesempatan pada penontonnya untuk menyaksikan fenomena prostitusi dengan lebih dekat dan mendalam melalui perjalanan Pras.
Sabine Fasawwa
Editor: Danang S