/

Kasus KDRT Turut Meningkat Saat COVID-19

Ilustrasi Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)/Pxfuel.com

Ekspresionline.com–Pandemi COVID-19 menjadi alasan setiap individu harus melakukan karantina dan membatasi kegiatan sosial. Kebijakan pembatasan diri dengan lingkungan tersebut sudah mulai diberlakukan di Indonesia sejak Maret 2020.

Kebijakan baru ini turut memperparah jumlah kasus KDRT, seakan menjadi mimpi buruk baru bagi mereka. Terbukti dengan meningkatnya jumlah kasus KDRT di berbagai negara di tengah pandemi ini. Di Cina, semenjak diberlakukannya lockdown, kasusnya meningkat dua kali lipat. Hal serupa juga terjadi di Spanyol, kenaikan kasus mencapai 18 persen. Australia juga mengalami hal serupa, bahkan kenaikannya tajam hingga 75 persen.

Indonesia sendiri juga mengalami hal serupa, rilis pers Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), pada 21 April 2020, mengatakan terdapat 97 kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka pengaduan terbanyak terdapat pada kasus KDRT, sebanyak 33 kasus. Peningkatan jumlah kasus saat COVID-19 belum mendapatkan tanggapan dari pemerintah Indonesia. Pemerintah cenderung abai terhadap penyintas KDRT atau korban-korban baru yang bermunculan saat COVID-19.

Jika melihat Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2020, hasilnya cukup mengejutkan, jenis kekerasan yang paling menonjol pada tahun 2019 adalah KDRT. Jenis kekerasan ini mencapai angka 75 persen atau 11.105 kasus. Dengan tingginya persentase kasus ini, seharusnya pemerintah melakukan perhatian khusus tehadap para korban.

Rilis pers dari Komnas Perempuan sudah memberikan rekomendasi kepada beberapa lembaga pemerintahan guna mengantisipasi potensi kenaikan kasus KDRT. Salah satu rekomendasi yang diberikan kepada Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA), menandaskan untuk segera menindaklanjuti masalah tersebut, dengan memastikan akses layanan berkualitas dan berperspektif inklusif bagi para korban kekerasan. Akan tetapi, sampai saat ini KPPA belum melakukan langkah pasti mengenai rekomendasi tersebut.

Dapat dilihat dari besaran dana Rp405 triliun untuk COVID-19, yang mana tidak ada pengalokasian dana untuk antisipasi potensi kenaikan kasus KDRT. Rincian dana untuk perlindungan sosial sebesar Rp110 triliun, lebih dialokasikan untuk penerima program keluarga harapan (PKH), kartu sembako, kartu prakerja, dan diskon tarif listrik bersubsidi. Sisanya, masing-masing dialokasikan ke bidang kesehatan Rp75 triliun, program pemulihan ekonomi sebesar Rp150 triliun, serta untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat (KUR) sebesar Rp70,1 triliun.

Lain halnya dengan Australia yang terlihat lebih sigap menyikapi kasus KDRT. Dana sebesar A$150 juta digelontorkan oleh pemerintah untuk mendukung pemulihan kondisi korban setelah pandemi COVID-19 berakhir.

Mimpi Buruk Korban KDRT di Tengah COVID-19

Apabila penanganan terhadap kasus KDRT tidak dilakukan pemerintah Indonesia, maka akan berdampak pada kesejahteraan para korban. Terlebih lagi, keadaan pandemi COVID-19 yang memaksa individu harus tetap di rumah menyebabkan kasus KDRT berpotensi untuk meningkat. Rumah yang seharusnya digunakan untuk berlindung dari penyebaran virus, malah menjadi malapetaka baru bagi korban.

Dampak KDRT bagi para korban sangat berat. Mereka akan merasakan sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami stres, tidak berdaya, ketergantungan pada pasangan yang sudah menyiksanya, stres pascatrauma (PTSD), depresi, hingga keinginan bunuh diri.

Di sisi lain memang, penyebab potensi kenaikan kasus KDRT sangat kompleks. Budaya patriarki seringkali menempatkan kedudukan suami lebih tinggi daripada perempuan di dalam keluarga. Keadaan tersebut membikin laki-laki mendominasi perannya, sehingga perempuan terpaksa harus selalu menurut dan tergantung padanya. Keterpaksaan ini semakin lama akan menimbulkan ketidakmampuan untuk melawan bagi para korban.

Stigma juga sangat berperan dalam potensi kenaikan kasus KDRT saat COVID-19. Anggapan keluarga tidak bahagia, tidak bisa menjaga keutuhan keluarga, keluarga tidak tentram, akan selalu membayangi korban. Hal tersebut yang membuat korban takut untuk menceritakan keadaannya, sehingga semakin terbelenggu oleh ketakutan akan kekerasan yang dialami.

Bahkan, beberapa orang terdekat kerapkali menganggap korban menyebarkan aib keluarga apabila menceritakan keadaannya. Padahal, dukungan orang terdekat atau keluarga sangat diperlukan dalam keadaan traumatis korban KDRT. Kondisi pandemi COVID-19 yang harus melakukan karantina diri menyebabkan korban hanya bisa bertemu keluarga. Namun, apabila tidak ada dukungan dari keluarga akan menyebabkan korban tidak ada memiliki tempat pengaduan lagi.

Oleh karenanya, salah satu cara memfasilitasi korban KDRT apabila keluarga dan kerabat dekat tidak mendukung adalah dengan pengaduan secara daring. Fasilitas pengaduan daring yang lebih inklusif adalah salah satu cara yang mampu dilakukan saat COVID-19. Pengaduan online ini akan menjadi tempat cerita, pemberian pertolongan pertama dan cara-cara menghindari KDRT. Mulai dari memberi saran untuk selalu menyimpan nomer telepon orang terpercaya, hingga mengetahui bagian rumah yang aman untuk menghindari dari kekerasan. Sistem daring juga sudah diterapkan di konseling daring. Penggunaan sistem daring menjadi salah satu sarana yang dilakukan psikolog saat pandemi COVID-19.

Fatonah Istikomah

Editor: Fadli Muhammad

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *