Ekspresionline.com–Kebutuhan mobilitas masyarakat DIY masih tergantung pada transportasi pribadi. Angkutan umum atau transportasi umum di DIY sama sekali belum memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penumpang yang terus menurun setiap tahunnya, mulai dari 2016 hingga 2021.
Pada 2016, jumlah penumpang transportasi umum (mencakup Antar Kota dalam Provinsi [AKDP], Angkutan Perkotaan, dan Trans Jogja) mencapai 6.459.181 orang, menurun pada tahun 2017 menjadi 5.999.335, hingga mencapai puncak penurunan pada 2020 yang hanya meraup total 2.776.667 penumpang.
Sementara itu, masyarakat tetap bermobilitas setiap harinya. Terbukti dengan kian menumpuknya jumlah kendaraan di jalanan DIY. Jumlah kendaraan pribadi setiap tahun mengalami eskalasi yang cukup signifikan, baik mobil pribadi maupun kendaraan roda dua (sepeda motor).
Jumlah mobil penumpang bukan bus setiap tahunnya mengalami pertambahan, sejak 2017 hingga 2020. Data Transportasi Dalam Angka 2021 menyebutkan bahwa pada 2017, jumlahnya hanya sekitar 143.689, mengalami peningkatan sekitar 15.283 unit pada 2018. Tahun berikutnya, 2019, jumlah mobil kembali bertambah menjadi 168.114 unit. Bahkan, pada periode 2020 ketika Covid-19 merebak, jumlah mobil pribadi juga mengalami peningkatan sekitar 3.710 unit.
Sama halnya seperti jumlah mobil penumpang bukan bus, jumlah kendaraan roda dua juga mengalami peningkatan setiap tahunnya, dalam periode yang sama. Pada 2017, jumlah sepeda motor hanya sekitar 1.123.284 unit. Semetara itu, pada 2020, data terakhir menyebutkan bahwa total jumlah sepeda motor sudah mencapai 1.352.758 unit.
“Ya, mau bagaimana lagi, Mas, banyak orang udah mulai punya kendaraan sendiri-sendiri,” keluh Ibak, salah satu pengguna sepeda motor.
Ibak setiap harinya menggunakan sepeda motor untuk bermobilitas. Ia bekerja sebagai ojek konvensional di terminal Giwangan, Bantul. Pria berusia 50 tahun tersebut tidak menyangkal bahwa kepadatan jalan di DIY disebabkan karena semakin bertambahnya jumlah kendaraan pribadi.
Ia sendiri tidak pernah sekalipun naik bus, kecuali jarak jauh. Ia menilai lebih enak naik sepeda sepeda motor, sebab lebih fleksibel dan lebih cepat.
“Kalau naik bus kan harus nunggu lama,” imbuhnya.
Bertambahnya jumlah kendaraan pribadi di DIY tidak hanya berimbas pada kemacetan. Seiring dengan semakin membludaknya jumlah kendaraan pribadi, kecelakaan lalu lintas juga semakin kerap terjadi. Data Transportasi Dalam Angka 2021 menyebutkan bahwa peristiwa kecelakaan lalu lintas di DIY setiap tahunnya mengalami peningkatan.
Berdasarkan data yang dirilis Bappeda DIY, sejak 2016 hingga 2020, jumlah kecelakaan selalu mengalami penambahan kasus. Pada 2016, terdapat 3.777 kasus kecelakaan. Setahun setelahnya, 2017, angka kecelakaan mengalami penambahan hingga 234 kasus.
Selanjutnya, pada 2018, kejadian kecelakaan lalu lintas mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Dari total 4011 kasus menjadi total 5.061 kasus kecelakaan lalu lintas.
Memasuki tahun 2019, angka kecelakaan kembali mengalami kenaikan. Penambahan kasusnya tidak sedikit, yakni menyentuh angka 883. Jumlah tersebut menurun pada 2020, ketika pandemi Covid-19 merebak. Hal ini karena adanya kebijakan pemerintah membatasi mobilitas masyarakat.
Data tersebut secara spesifik juga menyebutkan bahwa kecelakaan yang terjadi di DIY mayoritas dialami oleh pengguna kendaraan pribadi. Pada puncak kenaikan kasus yang terjadi di 2019, terekam kontribusi kecelakaan terbanyak adalah kendaraan pribadi. Sepeda motor mencapai 2.079 kasus, sementara kasus kecelakaan yang menimpa mobil penumpang pribadi menyentuh angka 232 kasus.
Kepala Dinas Perhubungan DIY, Sumaryoto menyebut semakin banyaknya jumlah kendaraan pribadi di DIY lantaran dipengaruhi tren. Ia menilai, kondisi ini merupakan siklus rutin.
“Kenapa hal ini [membeli kendaraan pribadi] sekarang baru marak? Ya karena masyarakat kita baru bisa menggunakan kendaraan pribadi saat ini. Baru bisa beli mobil, baru bisa beli motor. Kenapa dulu angkutan umum dilakukan swasta itu profit? Ya karena masyarakat belum bisa beli motor, belum bisa beli mobil. Dan siklus itu akan terjadi di semua negara,” katanya, saat ditemui oleh Ekspresi di kantor Dinas Perhubungan DIY, Selasa (8/2/2022).
Kondisi Transportasi Umum di Yogyakarta
Jika merujuk pada Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) DIY 2022, menyebutkan bahwa kemacetan yang terjadi di wilayah DIY disebabkan oleh bertambahnya jumlah kendaraan pribadi. Tak keluputan, di RKPD juga tersemat solusi yang tepat atas masalah tersebut. Bukan pelebaran jalan—seperti dugaan awal—tetapi peningkatan fasilitas transportasi umum.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah DIY adalah menyelenggarakan transportasi umum terpusat melalui Bus Rapid Transit (BRT), yaitu Trans Jogja. Bus angkutan kota tersebut pertama kali diluncurkan pada 2008 silam.
Namun, dalam 5 tahun terakhir, jumlah penumpang Trans Jogja justru mengalami penurunan. Pada 2015, jumlah penumpang mencapai 6.468.678. Sementara itu, hanya berselang setahun setelahnya, jumlah penumpang mengalami penurunan drastis, yakni sekitar 9.497. Total penumpang Trans Jogja di 2016 hanya mencapai 6.459.181 orang. Hingga 2020, jumlahnya terus menurun. Pada tahun itu, penumpang Trans Jogja hanya mencapai 2.776.667.
Penurunan jumlah penumpang ini membuat pemerintah memutuskan untuk mengurangi armada Trans Jogja. Sebelumnya, jumlah bus Trans Jogja mencapai angka 128. Sejak 2021, jumlahnya berkurang menjadi hanya sekitar 95 unit yang beroperasi.
Menurut Sumaryoto, hal ini dilakukan untuk efisiensi. “Toh, kita [bus Trans Jogja] wira-wiri, penumpangnya gak ada, lah ini kan juga masih pandemi,” terangnya.
Pengurangan armada ini membuat waktu tunggu operasi Trans Jogja menjadi semakin lama. Hal ini dikonfirmasi oleh Siti Aisyah (21), mahasiswa kedokteran UGM, yang kerap kali menggunakan Trans Jogja.
“Kalau mau naik Trans Jogja, harus menyediakan waktu paling tidak satu sampai satu setengah jam, karena nunggunya lama banget, bisa sampai 30 menitan kalau pas transit,” ujarnya ketika diwawancarai di pondok tempat tinggalnya, Minggu (13/2).
Dulu, sebelum pandemi, Aisyah mengaku sering menggunakan Trans Jogja. Saat itu, menurutnya, waktu tunggunya tidak terlalu lama, meskipun tetap harus menyiapkan waktu lebih ketika hendak menggunakan Trans Jogja. “Tetapi semakin ke sini semakin lama nunggunya,” imbuhnya.
Hal yang sama juga dikeluhkan oleh Wildan (26). Ia adalah penumpang disabilitas netra yang saat ini bekerja di salah satu Yayasan Mardi Wuto yang dikelola oleh Rumah Sakit Mata Dr. Yap. Rerata, ia gunakan akomodasi Trans Jogja sebanyak empat kali dalam sepekan.
“Ya kalau mau naik Trans Jogja, kita harus memanajemen waktu kita, karena nggak bisa cepat kayak naik kendaraan pribadi. Jalurnya muter-muter dan transitnya lama,” ungkapnya, ketika diwawancara di Warmindo Klebengan, Jumat (18/2).
Ia sama sekali tidak menahu bahwa armada bus Trans Jogja mengalami pengurangan. Hal itulah yang menyebabkan waktu tunggunya untuk berganti bus semakin lama.
Fasilitas untuk Disabilitas Masih Kurang Memadai
Tidak hanya perihal waktu, Wildan juga bersambat mengenai fasilitas bus yang kurang ramah terhadap penyandang disabilitas. Salah satunya adalah perihal mesin suara di dalam bus yang kurang nyaring. Di dalam bus Trans Jogja jurusan Jl. Kaliurang, Ngemplak, dan sekitarnya, tidak lagi menggunakan pramugari. Segala informasi, termasuk pengumuman halte yang dituju, berasal dari suara mesin.
Menurut Wildan, suara mesin kurang nyaring. Untuk penyandang tuna netra seperti dirinya, hal itu cukup menyulitkan. Ia kerap kebingungan, bus yang ditumpanginya sudah sampai di mana.
“Apalagi kan di bus itu seringkali disetelkan musik yang kencang. Itu lebih mengganggu lagi. Mendistrak [mendistraksi] suara informasi yang keluar,” keluhnya.
Di samping itu, bus Trans Jogja jurusan Ngemplak tersebut juga tidak menyediakan tempat khusus untuk disabilitas daksa.
“Setahu saya juga nggak ada itu tempat untuk teman-teman daksa yang memakai kursi roda. Selain itu, pintu naiknya kan menggunakan tangga, nggak kayak bus Trans Jogja jurusan wilayah kota [Kota Jogjakarta],” sambungnya.
Hal ini tidak sesuai dengan Peraturan Menteri 98 Tahun 2017 Tentang Penyediaan Aksesibilitas Pada Pelayanan Jasa Transportasi Publik Bagi Pengguna Jasa Berkebutuhan Khusus. Pasal 3 huruf (a) dan (b) menyebutkan bahwa Angkutan Umum setidaknya harus menyediakan alat bantu naik turun dari dan ke sarana transportasi, serta pintu yang aman dan mudah diakses.
Untuk bisa mengetahui informasi mengenai jalur, Wildan harus menanyakan kepada pramugari yang berjaga di halte. Pasalnya, papan informasi di halte-halte yang kerap didatanginya hanya berupa gambar dan tulisan, tidak ada fasilitas huruf braille.
Wildan juga bersambat mengenai aksesnya menuju halte yang cukup jauh. Dari rumahnya menuju halte Godean, ia perlu berjalan sekitar 2 kilometer. Terlebih lagi, trotoar yang ada di sana sama sekali tidak aksesibel buatnya. Sebagian besar wilayah trotoar sudah “dimakan” oleh emperan toko.
“Aku pernah hampir diserempet mobil,” katanya memulai cerita.
“Jadi waktu itu aku sedang jalan dari rumah mau ke halte. Nah, pas nyampe di jalan gede [raya] aku lewat aspal, karena trotoarnya udah nggak ada. Tapi waktu itu aku pakai tongkat juga. Tiba-tiba aku punya firasat pengen agak ke pinggir jalannya. Eh, ternyata ada mobil kenceng, wusss… gitu, di telingaku, untung aku sempet minggir dulu,” ungkapnya sambil mengingat-ingat kejadian tersebut.
Di dalam Peraturan Menteri Nomor 98 Tahun 2017 telah dijelaskan dengan cukup rinci mengenai standar kelayakan yang harus tersedia di angkutan umum. Termasuk juga fasilitas yang aksesibel bagi penyandang disabilitas.
Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa penyelenggara jasa transportasi publik wajib melaksanakan pelayanan bagi pengguna jasa berkebutuhan khusus. Perincian fasilitas aksesibel yang dimaksud di pasal 2 juga telah dijelaskan di pasal 3, pasal 4, serta pasal 6.
Kebutuhan Masyarakat Bermobilitas Masih Jauh dari Kata Terpenuhi
Mengenai fasilitas yang kurang memadai dan jumlah armada yang terus berkurang, Sumaryoto beralasan bahwa anggarannya masih sangat kurang. Ia mengaku, sebagian besar anggaran transportasi umum sudah dialirkan untuk memberikan subsidi bagi keberlangsungan Trans Jogja.
Menurut penjelasan Sumaryoto, anggaran yang disediakan oleh pemerintah daerah untuk Dinas Perhubungan Provinsi adalah sekitar 113 miliar rupiah. Dari total tersebut, mayoritas digunakan untuk subsidi Trans Jogja yang merupakan angkutan perkotaan.
“Itu belum lagi untuk membangun ITS, intelligent transport system. Jadi ITS ini bisa mengatur trafic line, base priotitas bagi angkutan, bisa mengubah siklusnya, bisa menentukan jalan padat dikasih ijo panjang, nanti diatur dari sisi roam ini, kemudian kita juga harus menambah penerangan jalan, rambu-rambu, fasilitas perlengkapan jalan. Jadi kalau [data ITS] dinas perhubungan itu, gak sampai 28,” jelasnya.
Hal inilah yang menyebabkan bus-bus AKDP mengalami penurunan performa. Penumpang yang ada semakin turun setiap tahunnya. Di samping itu, armada-armada Trans Jogja sudah lumayan terawat, sedangkan bus AKDP kebanyakan sudah tidak layak pakai.
Jika merujuk pada hasil uji kir yang dilakukan, jumlahnya terus mengalami penurunan, sejak 2015 hingga 2021. Pada 2015 silam, total angkutan umum yang lulus uji kir mencapai 9.411 unit. Namun, dalam catatan terakhir tahun 2020, jumlahnya menurun drastis menjadi hanya 5.760 angkutan umum yang lulus uji kir.
Ketika ditanya mengenai kondisi AKDP yang semakin memprihatinkan, Sumaryoto tidak memungkiri. Akan tetapi, lagi-lagi ia mengeluhkan soal anggaran yang kurang. Mayoritas dana yang diluncurkan setiap tahun dialokasikan untuk Trans Jogja. Sementara itu, bus-bus AKDP beroperasi secara mandiri, tanpa subsidi.
“Lah, duitnya nggak nyampe [dananya tidak memenuhi kebutuhan ‘kurang’],” pungkasnya.
Fadli Muhammad
Reporter: Fadli Muhammad, Nuriyah Hanik Fatikhah, Fajar Yudha Susilo
Editor: Abi Mu’ammar Dzikri