Terik. Udara memang sangat panas hari ini. Penuh peluh aku berjalan terseok membawa beban berat di punggung. Laptop dan beberapa buku kuliah, yang kusam karena sering ku bawa tanpa ku baca.
Cepat saja ku langkahkan kaki menyusuri jalur khusus pejalan kaki di lingkungan kampus. Suara bising kendaraan yang berlalu lalang, serta debu dan asap yang ditimbulkannya menambah suramnya suasana siang itu. Sesampainya di perempatan jalan yang menghubungkan kampus dengan tempat tinggal sementaraku, aku berhenti. Dengan rasa cemas aku menengok ke kanan kiri. Berharap mobil, bis, dan truk yang terus melaju kencang tahu diri dan melambatkan kecepatan seraya berhenti sejenak. Membiarkanku dan mahasiswa lain menyeberang jalan yang tak seberapa luasnya tersebut.
Namun, apa mau dikata. Mobil, truk, dan sepeda motor terus meraung membiarkan kami mengumpulkan adrenalin untuk menyeberang dan sejenak menggadaikan nyawa dalam langkah-langkah kami yang tergesa. Beberapa mobil yang masih memiliki hati di dalam mesinnya perlahan berhenti, lalu dengan segera kami berlari seperti anak yang tak mau terlambat masuk kelas ketika bel berbunyi nyaring.
Haaah… lega rasanya. Tinggal 100 meter lagi, ucapku dalam hati. Dari perempatan yang membahayakan nyawa tersebut, aku harus melalui beberapa gang sempit dan bau untuk sampai ke kamar kostku yang tak seberapa luas.
“Hai.. Lintang!” teriak seorang dari atas motor yang melaju.
Karena asyik dengan lamunan dan panasnya udara, aku sampai tak memperhatikan sekitar. Cepat saja aku tengok ke belakang, terlihat Comic melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum. Ku balas senyuman itu, lalu berbalik melanjutkan langkah. Ahh, ia selalu punya senyum yang bisa menentramkan hati siapa saja, termasuk aku.
Comic adalah gadis riang, teman kostku yang ku temui sejak setahun lalu hidup di Yogyakarta. Ia teman yang menyenangkan dan sangat baik. Namanya yang unik dan wajahnya yang cantik, membuatnya mudah dikenal oleh orang. Aku jadi ingat, sebulan lalu ada seorang lelaki yang terpaksa tidur di emperan kost kami karena Comic menolak cintanya mentah-mentah. Laki-laki itu tidak patah hati. Malah lelaki itu berjanji pada dirinya sendiri akan terus menjaga Comic dan tak ingin meninggalkannya barang sebentar. Itulah alasan mengapa ia kemudian menggelar beberapa lembar kardus di emperan kost kami.
Dengan sangat terpaksa dan perasaan jengkel, Comic lalu menemui lelaki malang itu.
“Kamu maunya apa sih? Aku kan sudah bilang aku tidak mau pacaran sama kamu!” ucap Comic kesal.
Lelaki itu hanya diam dan menunduk. Sekalinya ia mengangkat wajah ia akan tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya perlahan, entah apa maksudnya. Comic malah menjadi makin kesal dan akhirnya memanggil hansip untuk mengusir lelaki itu.
Untung saja, setelah diancam mau dilaporkan polisi lelaki bertubuh kurus dan berambut gondrong tersebut menurut dan pulang ke rumahnya. Ku perhatikan semua peristiwa itu dari lantai 2 gedung kostku. Aku hanya bisa tersenyum. Pasalnya, ini bukan kali pertama ada laki-laki yang tergila-gila pada Comic dan memaksa menerima cintanya. Bulan lalu, dan bulan-bulan yang telah lewat lelaki silih berganti mendekatinya namun tetap tak bisa memenangkan hati kawanku yang satu ini.
Tak ku sadari langkah kakiku sudah membawaku sampai ke gedung kost. Setelah menaruh sepatu dan mengganti dengan sandal rumah yang tipis, aku segera menaiki tangga menuju lantai 2. Ahh kebiasaan melepas sandal dan memakai sandal rumah, seperti orang Jepang saja. Wajarlah, pemilik gedung kostku adalah seorang wanita Jepang yang kemudian menikah dengan seorang lelaki Yogyakarta. Karena sudah terlanjur jatuh cinta, ia memilih menetap dan mengembangkan usaha di sini bersama suaminya. Namun begitu, Sensei, begitu kami sering memanggilnya, tetap memberlakukan budaya Jepang yang menurutnya baik tersebut. “Pakailah sandal di rumah, itu akan menjaga kebersihan kaki dan kebersihan lantainya,” ungkap Sensei pada awal aku masuk ke kost ini. Ia wanita yang ramah dan santun, terkadang kami bisa belajar memasak makanan Jepang darinya kalau ia tidak sedang ke luar kota.
Klik! Bunyi kunci pintu yang ku buka. Ahhh akhirnya, aroma lilin terapi yang selalu ku pasang menyeruak memenuhi rongga pernapasan. Harum dan menenangkan. Aku selalu membiasakannya, ini salah satu yang Sensei anjurkan agar kamar tidak bau apek ketika ditinggal. Ku buka tirai dan ku lepaskan beban berat di punggung.
Biasanya aku akan segera berganti pakaian dan mencuci mukaku yang sarat debu, namun kali ini aku lebih memilih membaringkan diri di kasur. Lelah. Yah seharian tadi ada beberapa ujian yang membuat otak dan perasaanku lelah. Bukan karena aku tidak bisa mengerjakan ujian kuliah yang diadakan oleh dosen namun aku lelah dengan suasana kelas yang tidak pernah bisa berubah.
Ku putar kembali ingatanku, dari awal sekolah dasar aku selalu bertanya kenapa guru harus selalu di depan kelas menerangkan, sedangkan kami duduk tenang mendengar dan mencatat apabila guru mengintruksikannya. Selalu saja begitu, sampai sekolah menengah atas. Ah benar-benar melelahkan. Selalu saja kami didikte untuk melakukan apa yang guru minta, seolah-olah kami adalah boneka mainan yang bisa disuruh apa saja.
Ketika memasuki bangku perkuliahan, aku pikir hal tersebut tidak akan terjadi lagi. Ku dengar, di perkuliahan aku akan mendapatkan apa yang dinamakan pendidikan orang dewasa, pendidikan andragogi. Namun, kecewa lagi-lagi ku dapatkan. Sial! Umpatku dalam hati ketika pertama dosen masuk dan metode perkuliahan tetap menempatkanku dan mahasiswa lain, bak boneka, duduk, diam, dengar. Tak hanya satu dosen saja, tapi hampir semua dosen berlaku yang sama. Mungkin karena itu yang mereka dapatkan dari gurunya terdahulu maka itu yang ia bagikan kepada kami juga. Aku juga tidak tahu.
Hari ini, yah hari ini. Lagi-lagi aku harus menelan ludah kecewa. Pasalnya, ketika seorang dosen sedang memberikan soal ujian, aku dengan cepat mengoreksi bahwa ada yang salah dengan soalnya. Lalu dengan mata melotot, ia bilang “Sudah kerjakan saja! Kamu pikir saya amatiran, tidak bisa membuat soal!” bentaknya kemudian di depan kelas. Teman-teman kelas memandang jengkel padaku sebab karena merasa telah diremehkan olehku, waktu ujian dipercepat menjadi setengah jam. Padahal normalnya kami mendapatkan waktu 1 jam penuh.
Waktu 30 menit yang diberikan hanya kuhabiskan dengan mengoreksi soal dari sang dosen. Ia harus tahu di mana letak kesalahannya. Aku sejenak berpikir, apa yang sedang dikerjakan oleh kawan-kawanku di kelas ketika soal yang diberikan saja salah? Ku tengok salah seorang teman, ia dengan asyik sedang membuka buku diktat kumal yang diberikan sang dosen dan menyalin hampir semua teks utuh pada lembar-lembar latihan soal. Aku heran, mengapa mereka tidak menyadari adanya kesalahan fatal dalam soal tersebut. Waktu habis! Banyak dari kawan-kawanku yang berteriak mengeluh, memprotes, dan menyesal tidak memanfaatkan waktu dengan baik.
Aku hanya diam. Maju ke depan dengan kertas jawaban putih bersih. Aku sudah paham konsekuensi apa yang ku terima nantinya, mengulang mata kuliah ini tahun depan. Aku siap. Ku tatap dosen dengan kacamata tebal dan rambut yang hampir seluruhnya memutih tersebut sebelum meninggalkan kelas. Sampai jumpa! Aku harap aku tidak akan bertemu denganmu lagi tahun depan, ucapku dalam hati. Aku sungguh tidak berharap memiliki dosen yang tidak mau melihat kesalahannya sendiri. Dan tidak mau mendengarkan kritik seperti itu hanya karena merasa ia lebih pintar dan lebih berpengalaman. Enyah sajalah.
“Lintang! Tunggu, mau kemana kamu?” Agus memanggilku. Ia adalah seorang kawan yang cukup pintar di kelas. Aku berhenti melangkah, sudah kebiasaanku setelah selesai kuliah aku akan menyingkir mencari tempat untuk membaca beberapa buku.
“Biasa, mau ngadhem Gus. Kenapa? Mau ikut?” tawarku basa basi. Sebenarnya aku tidak pernah membiarkan orang lain masuk ke dalam duniaku yang sunyi. Ia tersenyum, lalu mengajakku ke kantin karena ada hal yang ingin ia bicarakan.
Dengan terpaksa ku ikuti langkahnya yang pelan menuju kantin. Setelah duduk dan memesan minum, ia memulai pembicaraanya.
“Maaf mengganggu waktumu Lintang. Ada hal yang ingin disampaikan oleh kawan-kawan kelas kepadamu, dan entahlah mereka menyuruhku untuk menyampaikannya langsung padamu.”
“Ada apa Gus?” jawabku singkat. Dalam hati aku sudah bisa menerka apa yang akan dikatakannya pasti terkait dengan peristiwa tadi dan beberapa peristiwa serupa di hari-hari lalu.
Ia lama terdiam, memandang beberapa orang-orang yang asyik mengobrol sambil menanti pesanan datang. Ada beberapa gerobak makanan yang tidak memiliki izin jualan di samping kantin sedang kebanjiran pesanan. Itu terlihat dari tangan-tangan mereka yang sibuk menyiapkan beberapa bahan.
“Anu Lintang, teman-teman memintaku untuk menyuruhmu meminta maaf kepada Pak Bowo, dan meminta agar ada ujian pengganti. Karena waktu yang terlalu mepet, teman-teman takut hasil ujian tidak akan memuaskan dan terpaksa harus mengulang tahun depan,” ucapnya sambil memainkan sedotan dalam botol teh yang kami pesan.
Sudah ku duga. Dari awal semester aku sebenarnya sudah sangat jengkel dengan dosen itu, sikapnya yang sok dan selalu mengunggulkan ilmu yang ia punya membuatku ingin muntah saja. Tidak mau menerima kritik dan tidak menerima kesalahan yang ia perbuat, selalu membuat darahku naik ke ubun-ubun. Aku hanya diam dan menyuruhnya melanjutkan kata-katanya.
…
(bersambung)
Hesti Pratiwi Ambarwati