Oleh Hysa Ardiyanto
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta
Baliho dan spanduk Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) 2018 tingkat nasional masih terlihat di beberapa lokasi di sekitar kampus Universitas Negeri Yogyakarta. Belum lama ini memang D.I. Yogyakarta menjadi tuan rumah event olahraga pelajar tahunan tersebut. Menurut keterangan Dirjen Dikdasmen Kemdikbud, O2SN tahun ini diikuti lebih dari 4.000 orang yang terdiri dari atlet, pelatih, ofisial, pendamping dan wasit. Kegiatan ini dapat disebut sebagai salah satu hajatan besar di dunia pendidikan.
Dalam sambutannya saat membuka O2SN, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berharap agar dari ajang ini dapat terlihat bibit-bibit unggul. Mereka diharapkan dapat menjadi penerus atlet-atlet Indonesia di tingkat internasional. Tidak lupa beliau menyebut ada alumni O2SN yang berhasil meraih medali emas pada Asian Games 2018. Ungkapan itu tentu saja tidak lepas dari semangat yang masih menggelora selepas usainya ajang kompetisi olahraga tertinggi se-Asia belum lama ini. Tidak hanya itu saja, Bapak Menteri juga berharap agar juara olimpiade olahraga siswa dapat mengikuti olimpiade internasional.
Apakah pernyataan tersebut sekedar menyesuaikan dengan momentum, atau memang sebuah visi yang direncanakan, pandangan Mendikbud ini berimplikasi sangat serius bagi paradigma Pendidikan Jasmani. Mata pelajaran yang “memikul beban” secara langsung dari maksud pernyataan tersebut tentunya adalah Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (PJOK, selanjutnya disebut Pendidikan Jasmani). Pernyataan Pak Menteri seakan-akan meneguhkan kembali paradigma pelatihan dalam Pendidikan Jasmani.
Menguatnya paradigma pelatihan dalam Pendidikan Jasmani berpotensi mengebiri tujuan aktivitas fisik dan olahraga. Sebagaimana diakui dalam UU 3/2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, olahraga tidak hanya dilakukan untuk prestasi, tetapi juga untuk tujuan rekreasi dan pendidikan. Para ahli Pendidikan Jasmani menilai menguatnya paradigma pelatihan dapat mengikis nuansa pedagogis dalam Pendidikan Jasmani. Menilik kembali analisis Nuruddin Priya BS dalam artikel “Isu, Tantangan dan Masa Depan Pendidikan Jasmani dan Olahraga” (2011), permasalahan paradigma pelatihan dalam Pendidikan Jasmani agaknya masih revelan untuk dibahas sampai saat ini. Setidaknya ada tiga implikasi dari menguatnya paradigma pelatihan dalam Pendidikan Jasmani.
Pertama, terlihat pada ruang lingkup Pendidikan Jasmani. Demi menghasilkan bibit atlet, kriteria keberhasilan Pendidikan Jasmani kemudian diarahkan pada penguasaan teknik dasar. Jika harapan Pak Menteri dituruti, bukan tidak mungkin Pendidikan Jasmani akan diatur untuk menghasilkan manfaat nyata berupa bibit atlet. Akibatnya, ruang lingkup Pendidikan Jasmani bisa menyempit dan terbatas pada cabang olahraga formal seperti contohnya yang dipertandingkan dalam O2SN.
Akibat penekanan pada olahraga formal, aktivitas jasmani yang tidak termasuk kategori “olahraga” seperti gerak dasar, permainan tradisional dan sederhana, serta tari-tarian pun semakin terpinggirkan. Padahal aktivitas-aktivitas tersebut dinilai dapat memfasilitasi anak dalam mengekspresikan dirinya tanpa aturan-aturan yang mengikat seperti dalam permainan olahraga tertentu. Menyempitnya ruang lingkup ini merupakan suatu kerugian yang besar bagi Pendidikan Jasmani.
Kedua, mengenai ukuran keberhasilan Pendidikan Jasmani. Ketika pembelajaran berubah menjadi pelatihan karena adanya tuntutan untuk menghasilkan bibit atlet, maka ukuran keberhasilannya pun bergeser menjadi penilaian formal sesuai dengan kaidah cabang olahraga. Instrumen penilaian bibit atau bakat atlet kemudian menjadi titik berangkat dalam proses pembelajaran Pendidikan Jasmani. Kebutuhan dan kemampuan peserta didik yang berbeda-beda akhirnya kurang mendapat perhatian. Dalam konteks ini pendidikan dapat dinilai telah gagal sebagai sebuah proses pembelajaran.
Apabila keterampilan olahraga menjadi dasar penilaian, maka hanya ada sedikit siswa yang bisa memenuhi kriteria tersebut dan akan ada lebih banyak peserta didik yang harus mengalami kegagalan. Sesuai sifat alamiahnya, bakat hanya dimiliki oleh sebagian kecil populasi. Pengalaman merasakan kegagalan yang terakumulasi dapat mengakibatkan siswa kehilangan kepercayaan diri. Pendidikan Jasmani yang digadang-gadang mampu menumbuhkan karakter dan kepercayaan diri, karena kesalahan dalam menentukan paradigma, justru dapat mengakibatkan ketidaksukaan hingga hilangnya kepercayaan diri siswa.
Ketiga, berkaitan dengan peran guru Pendidikan Jasmani. Dalam hal ini posisi guru kadang menjadi serba sulit. Guru Pendidikan Jasmani yang sejatinya adalah pendidik kemudian dipaksa untuk menjalani peran sebagai pelatih karena tuntutan dari sekolah untuk menghasilkan prestasi. Bukan rahasia jika kemenangan di O2SN menjadi salah satu sumber kebanggaan bagi sekolah.
Bagi guru yang juga berprofesi sebagai pelatih olahraga, secara teknis, kendala tersebut mungkin bisa diatasi. Akan tetapi secara mental tetap terdapat perbedaan fungsi antara menjadi guru dan menjadi pelatih. Peran ganda ini dilegitimasi oleh peraturan O2SN yang mensyaratkan guru pendamping memiliki kualifikasi kepelatihan di cabang olahraga yang didampinginya.
Terkait dengan penyiapan bibit unggul, guru Pendidikan Jasmani selanjutnya dituntut untuk menjadi garda terdepan dalam pencarian bakat atlet. Posisi guru dalam hal ini memang strategis untuk mengidentifikasi siswa yang berbakat, namun jangan dilupakan bahwa siswa yang tidak dianggap berbakat juga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan Pendidikan Jasmani. Guru yang tertarik dan memiliki kompetisi kepelatihan sebaiknya mengabdikan diri di klub olahraga. Dengan demikian, ketika berada di sekolah, ia dapat mendedikasikan dirinya sebagai seorang pendidik yang utuh.
Pendidikan jasmani yang bernuansa pelatihan sepertinya masih mengakar kuat. Dalam momentum seperti O2SN ini, paradigma tersebut semakin mendapat legitimasi. Pada saat yang bersamaan, tingkat keterlaksanaan Pendidikan Jasmani diakui masih rendah. Belum selesai dengan permasalahan minimnya alokasi waktu pelajaran, keterbatasan sarana, fenomena guru remote control hingga guru yang tidak memenuhi kualifikasi, Pendidikan Jasmani harus menghadapi tantangan yang semakin berat dalam tataran paradigma. Tantangan ini tentunya membutuhkan respon dari para ahli Pendidikan Jasmani.
Editor: Danang S.