Para Penggembos Demokrasi 4.0

Ilustrasi oleh Septa/EKSPRESI

“Tidak ada bangsa yang bisa bertahan bila ia terpecah belah. Tanpa diserang dari luar, bangsa yang pecah dengan sendirinya akan rubuh.” – Romo Setyo Wibowo.

Ekspresionline.comMenyambung tulisan saya sebelumnya yang bertajuk “Indonesia Menuju Negara Digital Dictatorship”, kali ini masih dengan membahas dan mengulik seputar pidato Romo A. Setyo Wibowo yang berjudul “Demokrasi dan Para Penunggangnya (Kaum Tumbak Cucukan)” pada acara Pidato Kebangsaan yang diselenggarakan oleh PUSDEMA (Pusat Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia) di Universitas Sanata Dharma (24/08/2023). Hanya saja kali ini akan berfokus pada siapakah “penunggang” sekaligus yang menggembosi demokrasi, baik itu pada masa Yunani Kuno (awal terbentuknya demokrasi) hingga masa kini, era yang serba internet dan media sosial.

Untuk menyingkat istilah, pada tulisan kali ini saya akan menggunakan istilah “era digital” untuk menggantikan penggunaan istilah “era internet dan media sosial” pada tulisan sebelumnya. Selain untuk meringkas, juga sebagai pengingat saya selama masa awal-awal kuliah dengan banyaknya seminar-seminar atau diskusi yang temanya “revolusi industri 4.0”. Saking seringnya berseliweran, baik di telepon pintar maupun di jalanan, jujur saat itu saya agak merasa enek.

Bagaimana tidak? Revolusi industri 4.0 singkatnya adalah istilah yang merujuk pada tahap evolusi industri yang ditandai oleh adopsi luas teknologi digital, kecerdasan buatan, konektivitas, dan integrasi sistem dalam berbagai aspek produksi dan kehidupan manusia, yang praktis membutuhkan sumber daya manusia yang ahli dalam memanfaatkan teknologi digital. Atau setidaknya minimal bijak dalam menggunakan teknologi digital. Tapi yang saya amati – semoga saja pengamatan saya salah – tidak ada penanganan serius dari pemerintah dalam mengeksekusi rencana-rencana dalam kebijakan yang menyongsong revolusi industri 4.0. 

Kecepatan koneksi internet Indonesia masih menjadi salah satu yang terlambat di Asia Tenggara. Kurikulum pendidikan Indonesia, pada realitanya tak bisa bersahabat dengan dunia digital, bahkan tahun ini masih ada kasus guru yang menyita telepon pintar milik murid-muridnya untuk dihancurkan dengan alat pemotong beton. Kasus judi online di Indonesia adalah yang tertinggi seantero Asia. Netizen Indonesia, menghabiskan waktu 3 jam per hari untuk TikTok-an. Komentar-komentar netizen Indonesia, masuk kategori paling tidak sopan se-Asia. Dan, hampir 60% orang Indonesia terpapar hoaks saat mengakses internet. Pada akhirnya, seminar-seminar “4.0” itu jadi ajang seremonial mengumbar cita-cita yang yang semakin ke sini, makin redup bagai angin yang telah berlalu.

Romo Setyo Wibowo dalam salah satu catatan kaki pidatonya tersebut juga menjelaskan soal era revolusi industri 4.0. Menurutnya, era tersebut mengandaikan adanya generasi yang kreatif, yang memproduksi sesuatu. Sedangkan di satu sisi, beliau menjelaskan bahwa realitanya, penggunaan internet oleh banyak manusia justru mengakibatkan si manusia itu teradiksi dan sibuk mengerjakan banyak hal dalam waktu yang sama, alih-alih fokus pada satu hal dan melakukan proses berpikir kreatif.

Lengkapnya telah dijelaskan pada tulisan saya sebelumnya, yang pada intinya, kaum yang disebut netizen telah terdesain untuk menjadi “bodoh”. Tujuannya, agar mudah disetir dan untuk ladang bisnis kaum Sofis yang bernama Big Data dan kaum Sukophantes. Lantas apa itu kaum Sukophantes dan siapakah mereka di era digital ini?

Pandangan Plato Mengenai Rakyat dalam Rezim Demokrasi

Sebelum membahas mengenai kaum Sukophantes digital 4.0 ini, alangkah menariknya jika kita bahas dulu mengenai fenomena pembodohan rakyat/netizen di negara demokrasi. Hal menarik yang diceritakan Romo Setyo Wibowo dalam pidatonya tersebut adalah tentang bagaimana Plato di era Yunani Kuno mengibaratkan rakyat dalam rezim demokrasi seperti (1) manusia kekar, berbadan tinggi besar namun tuli dan rabun jauh, atau (2) binatang buas yang mudah diombang-ambingkan.

Pada pengibaratan Plato yang pertama, si manusia kekar tersebut memiliki sebuah kapal yang diperebutkan para anak buah kapal (ABK). Manusia kekar pemilik kapal tersebut adalah simbol rakyat dan kapalnya adalah simbol negara. Namun, manusia kekar itu tuli dan rabun jauh yang merupakan simbol bahwa rakyat hanya bisa melihat yang dekat-dekat saja, tak sanggup melihat jauh. 

Pengibaratan pemilik kapal kekar yang tuli dan rabun jauh itu serupa dengan keadaan rakyat di era digital yang “dijinakkan” oleh internet, direkayasa agar menjadi konsumtif, tumpul dan malas, serta berperilaku obsesif-kompulsif pada klik-klik yang memacu hormon serotonin secara instan. Manusia kekar (rakyat) inilah pemegang kedaulatan sesungguhnya. Namun sayang, ia tak tahu ilmu pelayaran (pemerintahan). Ia cenderung hanya bisa melihat “yang dekat-dekat” saja.

Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh para ABK untuk mengambil kendali kemudi kapal. Meski tak seorangpun tahu benar teknik berlayar, para ABK saling jual kata-kata dan program seolah-olah merekalah yang paling paham cara mengemudikan kapal. Mereka membuat kelompok-kelompok (koalisi) dan bersaing untuk membujuk rayu si pemilik kapal yang tuli dengan janji-janji manis.

Ketika suatu kelompok berhasil (menang) membujuk si pemilik kapal, mereka segera menyingkirkan dan melempar kelompok lawannya keluar dari kapal. Setelah itu, mereka akan menawan si pemilik kapal dengan jampi-jampi (kata-kata/pidato) atau minuman yang memabukkan.

Para ABK yang berhasil mengambil hati pemilik kapal itu akan saling memuji dan mengatakan bahwa pelayaran yang mereka lakukan adalah hasil dari teknik pelayaran terbaik. Jika ada orang lain yang tak sepakat, atau bahkan mengkritik kebijakan, mereka akan membuangnya dari kapal, atau menuduhnya sebagai orang tidak berguna. Tak peduli walaupun orang yang mengkritik memiliki sertifikat ahli kemudi kapal.

Motif para ABK ini, menurut Plato dalam Politeia (The Republic) adalah sederhana: menguasai harta benda di kapal untuk kemudian berpesta-pora menikmatinya. Agar bisa berkuasa penuh, pemilik kapal akan dibuatnya lumpuh lewat “jampi-jampi” yaitu istilah yang dipakai Plato untuk menyebut retorika, keahlian berkata-kata yang membuat orang terpedaya, lumpuh, alias manut saja. Cara lainnya, para ABK akan memabukkan si pemilik kapal lewat “minuman”, istilah untuk disenang-senangkan sampai tidak sadarkan diri.

Di era digital, “jampi-jampi” itu mewujud menjadi tontonan dan konten-konten yang berisi keberhasilan semu yang ditambah “minuman memabukkan” berupa konten-konten serba viral yang mengaduk-aduk emosi dan membuat kecanduan. Demi menundukkan pemilik kapal (rakyat), ABK sibuk menebar konten viral agar mempengaruhi si pemilik kapal.

Pengibaratan Plato yang kedua sudah saya jelaskan pada tulisan sebelumnya. Tapi jika Anda tidak berkesempatan membacanya, saya akan menjelaskannya lagi secara singkat. Rakyat, Plato ibaratkan sebagai hewan buas yang hidup mengikuti insting kebinatangan berupa “mencari kenikmatan (makan, minum, seks) dan menghindari rasa sakit”. Satu-satunya cara menaklukkan binatang itu adalah dengan mengetahui secara psikis kecenderungan dan naluri kebinatangan tersebut.

Pengibaratan tersebut bisa saja mengejutkan dan mengganggu kenyamanan kita yang biasa membayangkan rakyat sebagai kelompok yang suci, tak bercela dan serba innocent. Tapi jika kita lihat realita setelah 26 tahun Reformasi ini, nampaknya gambaran Plato tersebut ada benarnya.

Komen-komen di grup WhatsApp, Facebook, TikTok, dan X, penuh dengan pernyataan ganas dan emosional. Jauh dari bayang-bayang bahwa internet dan media sosial dapat meningkatkan rasionalitas. Akses yang bebas pada buku dan sumber pengetahuan, serta kemudahan berbagi opini secara instan justru lebih sering menjejalkan hal-hal yang lucu dan/atau scandalous yang cepat di-share dan di-forward untuk rakyat.

Sukophantes, Si Penunggang Demokrasi yang Tumbak Cucukan 

Baik di Athena dulu atau di Indonesia sekarang, dalam rezim demokratis warga negara bebas berbicara apa saja. Di Athena dulu, ada tempat yang disediakan untuk siapa saja bisa membuat opini apapun tanpa memandang status dan keadaan ekonomi karena adanya perlindungan hukum. Tempat itu disebut agora dan kegiatannya disebut isegoria. Sama seperti Indonesia sekarang yang memiliki agora berupa teknologi informasi (IT) entah itu internet maupun media sosial.

Selain kesamaan di atas, kedua rezim demokrasi tersebut juga memiliki kesamaan yang lain yaitu sama-sama berhadapan dengan manusia-manusia demokratis yang bertingkah seperti tiran-tiran kecil. Karena setara dan bebas, tiap warga rakyat begitu percaya dengan kata-kata dan opininya sendiri. Mereka mengecilkan keugaharian (moderation) dan tak peduli pada kehati-hatian. Sikap mereka keras kepala dan menganggap omongan ngawur yang mereka lontarkan sebagai tindakan yang waras dan jantan. Sebaliknya, orang yang bicara dengan terukur, toleran, dan hati-hati justru dianggap tidak keren, tidak laku, dan kehilangan akal sehat. Mereka dengan lantangnya akan menantang siapapun yang melawan kehendaknya.

Dalam siklus rezim politik yang dibuat oleh Plato, demokrasi berujung pada tirani. Artinya, bila kajian psiko-politik Plato diterapkan pada level individu, maka manusia demokratis memang ujungnya adalah manusia tiranik. Manusia demokratis bertumbuh menjadi manusia yang merasa diri paling pintar, paling hebat, paling tahu, paling mumpuni, paling otoritatif, lebih kritis dari yang lain-lainnya.

Kembali pada perumpamaan rezim demokrasi menurut Plato yang pertama, si pemilik kapal yang tinggi besar tapi tuli dan rabun jauh rupanya juga “berperilaku seperti tiran”. Ia percaya dengan apa yang ia dengar dan yang ia cerna sendiri. Si pemilik kapal yang terlalu percaya diri dengan mudahnya menjadi korban “jampi-jampi” para ABK yang menjanjikan ini itu.

Sekarang, keadaan rakyat Indonesia mengalami situasi keterbelahan. Pengkotak-kotakan dan penggolong-golongan mulai dari Cebong-Kampret-Kadrun, Anak Abah-Anak Mulyono, Pro Habib-Anti Habib, dan segala jenis perpecahan lainnya terjadi di Indonesia. Mereka hidup dalam dunia mereka masing-masing, tidak berkomunikasi. Tiap pihak mengadukan pihak lainnya, meski tidak selalu dengan maksud jahat. Lebih tepatnya, satu pihak rakyat dibimbing oleh ABK tertentu untuk mengadukan rakyat pihak lain (yang tentunya mengandalkan bisikan ABK lainnya).

Begitulah realita kehidupan kita saat ini. Sebuah era yang oleh Romo Setyo Wibowo dikatakan sebagai era tumbak cucukan: saling mengadu dan menjelek-jelekkan pihak lain, syukur-syukur bisa mengadu domba-domba yang terprovokasi oleh suara nyinyir nan tajam mereka. Dalam keadaan Indonesia yang seperti itu, siapakah yang mendapatkan untung? Si pengambil keuntungan adalah kaum tumbak cucukan itu sendiri yang disebut kaum Sukophantes. Mereka sekaligus adalah si ABK yang berpesta pora manakala berhasil mengambil alih kapal.

Di era demokrasi, para Sofis dan Sukophantes mendapatkan lahan basahnya. Ketika rakyat merasa dirinya sebagai “subjek setara dan bebas” itu tidak memiliki argumen sementara demokrasi hanya bisa dimenangkan lewat kata-kata, di situlah kaum Sofis dan Sukophantes menjadi tumpuan harapan.

Pada tulisan sebelumnya, telah dijelaskan soal apa dan siapa itu kaum Sofis, kali ini akan saya jelaskan apa dan siapa itu Sukophantes si kaum tumbak cucukan. Dalam khasanah demokrasi era Yunani Klasik, ada istilah sycophant. Tersusun atas dua kata: sukon yang artinya buah ara dan phanein yang artinya menunjukkan. Jadi arti secara bahasa adalah “orang yang menunjukkan buah ara”.

Secara literal, Sukophantes merujuk pada orang yang melaporkan adanya pihak yang memperjualbelikan buah ara selundupan, atau orang yang melaporkan mereka yang mencuri buah ara terlarang (yang berasal dari area suci tertentu sehingga tidak boleh sembarangan dipetik). Sukophantes dengan demikian merujuk pada orang yang profesinya adalah tukang pelapor (dengan makna peyoratif). Sukophantes dimaknai sebagai pemberi laporan palsu, pengadu laporan palsu (tumbak cucukan), pemfitnah, penjilat (karena memfitnah demi menyenangi bosnya), pemberi saksi palsu, penghianat, dan secara spesifik sukophantema adalah salah satu taktik argumen Sofisme.

Kaum Sukophantes memanfaatkan prosedur legal yang menjadikan warga mempraktikkan keutamaan sebagai warga demokrasi, mengubahnya menjadi sumber korupsi (pembusukan) demokrasi itu sendiri. Di Athena dulu, ada ostracism yang memberi peluang besar bagi siapa saja untuk mengadukan siapapun dengan alasan apapun. Awalnya, itu dilakukan demi “menjaga demokrasi dari bahaya tirani”, tetapi lama-kelamaan warga lupa. Ostracism menjadi lahan subur kaum Sukophantes untuk melaporkan siapa saja demi kepentingan yang tak berhubungan dengan demokrasi seperti dendam dan ketidaksukaan pribadi, kepentingan golongan, atau uang.

Di Indonesia sekarang, kaum Sukophantes dapat ditemukan di mana-mana. Mereka suka mengadu opini satu dengan opini lainnya. Mereka bisa ditemukan di kalangan politisi, pemuka agama, intelektual, artis, wartawan, maupun influenser media sosial yang bejubel pengikutnya. Mereka mempunyai ekspresi rasa memiliki yang tinggi dari (sebagian) warga, entah secara jujur maupun tidak, atas situasi negaranya secara umum. Mereka merasa paling tahu urusan negara dan merasa berhak menghina siapa saja yang mereka anggap bodoh. Orang-orang yang seperti itu lantas menjadi tumbak cucukan satu sama lainnya, sampai-sampai aparat capek memproses segala macam aduan dari berbagai pihak.

Dalam budaya Jawa, orang yang suka mengadu disebut tumbak cucukan karena berlidah sangat tajam bagaikan mata tombak. Orang jenis ini, ucapannya penuh kebencian, suka mencaci-maki, menghina, mengadu domba, menyebarkan berita bohong, atau memfitnah. Tak jarang, mereka berseteru dengan orang yang berwatak sama membuat gaduh suatu tempat. Meskipun mereka minoritas secara jumlah, tetapi mereka lebih populer karena suka bicara keras, kasar, dan memprovokasi di banyak tempat. Sialnya, saat ini media sosial berubah menjadi tempat penularan watak tumbak cucukan secara global. Tak heran, media sosial  semakin dipenuhi ujaran kebencian, adu domba, caci maki, umpatan, fitnah, dan berita bohong.

Dalam khasanah Yunani, kata kerja sukophantein (melaporkan) bersinonim diaballein (memfitnah). Saat kebebasan berpendapat merosot menjadi ajang saling melaporkan dan mengadu, opini dengan mudah berubah menjadi fitnah. Setiap pihak menebar gosip dan rumor yang membuat orang menjadi ragu-ragu. Apa betul hanya gosip? Mengapa diulang-ulang dan terus menyebar?

Kebebasan berpendapat dalam demokrasi menjadi gembos ditusuk-tusuki oleh lidah tajam kaum tumbak cucukan, merosot menjadi rumorokrasi (kekuasaan rumor/gosip). Orang tidak lagi percaya pada pengadilan, tetapi langsung menerapkan justice d’opinion (mengadili berdasarkan opini/gosip yang diterima). Saat rakyat bingung karena banyaknya rumor, argumen rasional tidak diperlukan lagi. 

Para Sukophantes hanya tinggal terus melaporkan satu sama lain “atas nama rakyat dan untuk rakyat”. Dengan begitu, mereka dapat menyentuh afeksi pemujanya dan akhirnya mereka menjadi “demagog”, istilah yang berasal dari kata “demos-agogos” yang secara netral berarti pemimpin rakyat, tetapi sekarang menjadi istilah peyoratif merujuk pada pemimpin yang pandai menghasut rakyat untuk merebut kekuasaan.

Solusi dari Romo Setyo Wibowo

Demokrasi tak bisa menghindari fenomena tumbak cucukan. Apa yang tidak terhindarkan bisa menjadi menakutkan bila mengakibatkan perpecahan permanen. Tetapi yang harus diingat adalah kita memilih sistem Demokrasi bukan karena dianggap ideal, tetapi karena paling sedikit mudaratnya. Semua rezim politik itu buruk, mau itu Aristokrasi, Teokrasi (Khilafah), Oligarki, ataupun Tirani. Demokrasi pun buruk, tetapi ia dipilih karena lesser evil (minus malum), sebuah keburukan yang lebih ringan daripada keburukan lainnya.

Manusia-manusia demokratis yang tiranik akan selalu ada. Selain pergantian penguasa secara teratur, ciri kedua demokrasi adalah tegaknya hukum yang berhak asasi manusia. Sejauh manusia-manusia tiranik tidak melanggar hukum, mereka harus dilindungi hukum. Namun bila terjadi tindakan kriminal, tentu hukum harus ditegakkan.

Tetapi, adanya hukum tidak mencegah orang menjadi tumbak cucukan. Bukankah itu menyebalkan? Maka yang harus dilakukan pertama adalah hukum harus baik dan ditegakkan. Kemudian yang kedua adalah menanamkan cara berdemokrasi yang baik dan beradab kepada generasi muda melalui pendidikan. Sebab kaum yang suka kubu-kubuan itu sudah terlalu tua untuk disuruh sekolah lagi.

Adapun solusi ketiga yaitu berhati-hatilah dalam memilih pemimpin supaya tidak menjadi korban demagog. Saran pemimpin yang baik seperti halnya yang disarankan oleh Plato yaitu figur kalos agathos (elok dan baik). Pemimpin jenis ini, di satu sisi secara motif pribadi tidak disetir oleh kepentingan pribadi dan bukan orang yang suka membuat retorika seolah-olah “mendengarkan suara rakyat”. Di sisi lain, orang ini juga tidak mudah begitu saja tunduk pada “hasrat-hasrat irasional rakyat/binatang buas yang tuli dan rabun jauh”. Ia melayani rakyat, tetapi ia tak gampang disetir rakyat.

 

Citra Widyastoto

Editor: Nugrahani Annisa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *