Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui air yang merupakan barang publik sebagai bagian dari hak asasi manusia. Sebagaimana hak-hak asasi manusia lainnya, negara wajib menjamin pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan hak tersebut. Menurut Habibullah, anggota Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), air berhubungan dengan hak hidup seorang manusia, sehingga air tidak bisa dilepaskan dalam kerangka hak asasi manusia.
Permasalahannya, air yang merupakan benda publik dipandang menjadi barang ekonomi yang lantas dikomodifikasi, diprivatisasi, dan dikomersialkan oleh tangan swasta. Kebijakan pemerintah berkenaan dengan privatisasi air ini pun tidak sejalan dengan amanat pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dr. Peter H. Gleick dalam bukunya The New Economy of Water: The Risk and Benefits of Globalization and Privatization of Fresh Water (2002) mengungkapkan bahwa komodifikasi adalah proses mengubah barang atau layanan yang sebelumnya merupakan subjek yang mengikuti aturan sosial nonpasar menjadi suatu subjek yang mengikuti aturan pasar dan menjadi barang. Untuk dapat menjalankan privatisasi dan komersialisasi, air harus diberlakukan sebagai barang ekonomi.
Dari sejarahnya, privatisasi di Indonesia dimulai dari keterlibatan sektor swasta dalam penyediaan air bersih di Indonesia. Hal tersebut terjadi di tahun 1990-an seiring semakin menurunnya peran pendanaan dari pemerintah pusat.
Belanja negara untuk layanan air dan sanitasi terbilang sangat rendah. Data KRuHA mencatat belanja sektor air dan sanitasi di anggaran pendapatan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) selalu kurang dari 1 persen.
Negara malah tergiur menyerahkan kewajibannya kepada swasta melalui skema Bank Dunia bernama public private partnership. Sejak itu malapetaka warga negara dalam urusan air dan sanitasi kian menjadi-jadi.
Pada tahun 1991, Bank Dunia menawarkan pinjaman sebesar $92 juta kepada Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya di Jakarta untuk memperbaiki infrastrukturnya. Tujuannya, agar PAM Jaya menjadi lebih menarik bagi investor dan layak untuk diprivatisasi. Pinjaman ini dibarengi dengan pinjaman dari Pemerintah Jepang melalui Overseas Economic Cooperation Fund (OECF) untuk membangun water purification plant di Pulogadung, Jakarta Timur.
Begitu pinjaman diberikan, dua perusahaan air raksasa, yaitu Thames Water Overseas dan Suez berebut untuk menguasai sistem air Jakarta. Pada tahun 1993, Thames beraliansi dengan Sigit Harjojudanto, anak dari Presiden Soeharto. Sementara Suez, langsung mendekati Anthony Salim, konglomerat yang merupakan kroni Soeharto. Akhirnya, pelayanan air Jakarta dibagi dua dan masing-masing perusahaan mendapatkan porsi yang sama.
Atas permintaan Thames dan Suez, pada tahun 1995, Presiden Soeharto memberikan perintah kepada menteri pekerjaan umum waktu itu untuk memprivatisasi PAM Jaya. Pada tahun 1997, PAM Jaya dan kedua perusahaan tersebut menandatangani sebuah kontrak konsesi berjangka waktu 25 tahun. Baik Suez maupun Thames mendirikan perusahaan lokal dengan partner Indonesia mereka. Thames memegang 80 persen saham atas perusahaannya dengan Sigit. Sementara itu, Salim Group memberikan 40 persen sahamnya kepada Suez.
Dalam kontrak tersebut, seluruh sistem pelayanan air Jakarta diberikan kepada kedua perusahaan tersebut, yaitu menyediakan air bersih, treatment plants, sistem distribusi, pencatatan, dan penagihan, juga bangunan-bangunan kantor milik PAM Jaya. Imbalannya, kedua perusahaan swasta tersebut setuju untuk membayar utang PAM Jaya sebesar US$ 231 juta. Akhirnya, kedua perusahaan transnasional itu memiliki saham hingga 95 persen dan mendirikan perusahaan baru menjadi PT Thames PAM Jaya (PT Aetra Air) dan PT PAM Lyonnaise Jaya (PT Palyja).
Privatisasi air di Indonesia setelah era reformasi ditandai masuknya program Water Resources Sector Structural Adjustment Loan (WATSAL). Program ini dirintis Bank Dunia sejak April 1998 disusul perjanjian pinjaman US$ 300 juta. Dana pinjaman tersebut diberikan dalam tiga tahap.
Dalam hal ini, Bank Dunia menyatakan, manajemen sumberdaya air yang efektif haruslah memperlakukan air sebagai barang ekonomi dan partisipasi swasta dalam penyediaan air umumnya menghasilkan efisien, peningkatan pelayanan, dan mempercepat investasi bagi perluasan jasa penyediaan.
Disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air merupakan agenda privatisasi yang telah didesakkan oleh Bank Dunia terhadap negara debitur untuk menerapkan sebuah konsep hukum air yang baru, yang didasarkan empat prinsip dasar dalam Dublin Principles pada tahun 1992. Salah satu prinsip dalam Dublin Principles yang penting adalah air memiliki nilai ekonomi bagi semua penggunanya.
Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu, 18 Februari 2015, telah membatalkan secara keseluruhan UU Nomor 7 Tahun 2004 melalui pengujian yang dilakukan Muhammadiyah, Al Jami’yatul Washliyah, sejumlah organisasi massa, dan beberapa pemohon perseorangan. Ketua Hakim menilai UU Sumber Daya Air tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa sumber daya air sebagai bagian dari hak asasi. Sumber daya yang terdapat pada air juga diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti untuk pengairan pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan untuk keperluan industri. Hal-hal tersebut tentu saja mempunyai andil penting untuk kemajuan kehidupan manusia dan menjadi faktor penting pula bagi manusia untuk dapat hidup layak.
Dengan pembatalan tersebut, MK menyatakan regulasi mengenai air dikembalikan ke UU nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan. Namun, pembatalan UU Sumber Daya Air dan diberlakukannya kembali UU Pengairan belum menjamin masyarakat dapat mengakses air secara layak. Maka dari itu, perlu political will (kemauan politik) yang kuat dari pemerintah untuk menjalankan amanah Pasal 33 UUD 1945.
MK pun sudah membuat pedoman bersamaan dengan dibatalkannya UU Sumber Daya Air, yang salah satunya membolehkan pemerintah mengizinkan usaha swasta melakukan pengusahaan atas air dengan syarat ketat. Sebelum memberi izin, pemerintah antara lain harus sudah memprioritaskan badan usaha milik negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah (BUMD), memastikan kebutuhan rakyat terpenuhi, dan menjamin masih ada ketersediaan air.
“Dengan demikian, swasta tidak boleh melakukan penguasaan atas sumber air atau sumber daya air tetapi hanya dapat melakukan pengusahaan dalam jumlah atau alokasi tertentu saja sesuai dengan alokasi yang ditentukan dalam izin yang diberikan oleh negara secara ketat,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto dalam pembacaan putusan MK.
Rakyat Harus Membayar Mahal Atas Air
Berdasarkan data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2012, hanya sekitar 20 persen dari total penduduk Indonesia yang dapat mengakses air bersih, itu pun di wilayah perkotaaan. Sementara sisanya, rakyat Indonesia masih mengonsumsi air yang tak layak secara kesehatan. Untuk diketahui, tingkat akses air bersih penduduk pedesaan di Indonesia adalah 69 persen, itu lebih rendah daripada Malaysia, 94 persen atau Vietnam, 72 persen, padahal Indonesia kaya sumber air.
Rumah tangga yang mempunyai akses terhadap air layak minum perpipaan yang disediakan pemerintah paling maksimal adalah 60 persen. Sementara itu, menurut Badan Kesehatan Dunia, ketersedian air bersih di Indonesia baru sekitar 50 persen. Dari cakupan tersebut, tak semua air bisa mengucur 24 jam. Parahnya sebagian besar air perpipaan tak layak minum. Target pemerintah, pada 2019 penduduk Indonesia sudah 100 persen dapat mengakses air layak minum.
Salah satu tokoh penggugat UU Sumber Daya Air, Marwan Batubara mengatakan, dampak privatisasi air menyebabkan hak masyarakat yang selama ini mengambil air dari sumber air di wilayahnya kian terancam. Mereka harus rela membagi air yang selama turun-temurun mereka ambil secara gratis, yang kemudian dikuasai swasta.
Bahkan, bukan tidak mungkin, mereka pun harus membayar, tergantung pada kebijakan pemerintah setempat. Fakta hari ini menunjukkan, pemerintah daerah kerap mendongkrak pendapatan asli daerahnya (PAD) ketimbang kebutuhan masyarakatnya. PDAM sebagai operator air negara harusnya go public, bukan berorientasikan untung-rugi.
Selain itu, studi-studi yang mengkritik privatisasi air menyebutkan bahwa privatisasi air dapat berdampak pada menurunnya produktivitas pertanian dan tidak terpenuhinya kebutuhan air bagi masyarakat. Masyarakat pun menjadi sangat dirugikan karena harus membayar mahal untuk memperoleh akses air bersih. Kerugian yang dialami tidak hanya kerugian ekonomi, namun juga kerugian ekologis.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Prof. Suteki pada acara Pengujian UU Sumber Daya Air pada medio Desember 2013 mengatakan, hendaknya negara dapat bercermin pada pengalaman buruk privatisasi PAM Jaya Jakarta. Di manapun tempatnya, privatisasi selalu diikuti dengan kenaikan tarif yang tidak selalu diikuti dengan peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan.
Air minum kemasan pun akhirnya menjadi pilihan. Rakyat rela membayar (mahal), karena kepraktisan dan juga anggapan bahwa air kemasan lebih higienis dibanding air PDAM. Dari masyarakat perkotaan hingga pedesaan, bisa kita lihat sendiri jika ada hajatan akan lebih memilih air minum kemasan dibanding mendidihkan air sendiri yang lalu dipakai untuk minum.
Selama kurun waktu 14 tahun penggunaan air minum kemasan kian bertambah. Terbukti, bisnis air minum kemasan di Indonesia pada tahun 2014 tercatat sebesar 23,1 miliar liter. Catatan tersebut semakin bertambah dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sebesar 20,48 miliar liter. Pada 2015, berdasar data dari Asosiasi Perusahaan Air Minum, terjadi kenaikan sebesar 11 persen penjualan air minum kemasan, dengan produksi sebanyak 24 miliar liter air. Peneliti kebijakan air Mova al Afghani mengatakan, selama kualitas air minum dari perusahaan air minum pemerintah belum potable (dapat diminum) dan hanya sebatas air bersih, maka selalu ada permintaan air minum kemasan.
Air Menjadi Pusat Gravitasi Pembangunan
Mendiang Lee Kuan Yew, Perdana Menteri Pertama Singapura mengatakan bahwa semua perencanaan pembangunan harus berpusat pada air sebagai barang sosial. “All development plans should follow water plan,” kata founding father negara yang berpisah dari Malaysia pada tahun 1965 itu.
“Arsitek” Singapura itu menjelaskan, seharusnya air mengatur bentuk pembangunan. Mau mendapatkan izin mendirikan bangunan, membangun permukiman, hydropower, pertanian, dan sebagainya, mesti melihat dulu tata kelola air, ketersediaan, dan konservasi air. Keseluruhan itu membutuhkan kapasitas sebuah negara untuk mengaturnya. Karenanya, Indonesia dengan pemerintahannya kini tak boleh berlama dalam situasi gamang antara menghidupkan retorika hendak memperbaiki kualitas sumber daya manusia, di saat yang sama terus meliberalisasi layanan dan infrastruktur air serta sanitasi dan mengorbankan kesehatan rakyat kepada mekanisme pasar. Setidaknya pemerintah bisa memperketat buasnya pasar dengan regulasi, penegakkan hukum, transparansi, dan partisipasi.
Arfrian Rahmanta