Ekspresionline.com—Biennale Jogja mengadakan acara pembukaan Pameran Anak Saba Sawah pada Minggu (22/10/2023) di Balai Budaya Karangkitri, Kalurahan Panggungharjo, Bantul. Pameran Anak Saba Sawah yang digelar dari 22 Oktober—16 November 2023, mengangkat wacana mengenai menghidupkan kembali budaya lokal yang pernah redup.
Pameran Anak Saba Sawah diikuti oleh 90 anak dari berbagai sekolah formal maupun nonformal. Biennale Jogja mengundang beberapa sekolah seperti Sanggar Anak Alam, Sekolah Akar Rumput, dan Eko Nugroho Art Class. Sebelum pameran dimulai, mereka melaksanakan rangkaian program lokakarya, seperti membuat karya dari bambu, lukisan, kertas, bahkan membuat layang-layang, serta memainkannya.
Pembukaan dimulai pada pukul 15.30 WIB dengan penampilan musik eksperimental oleh komunitas Jogja Disability Art. Acara lalu dilanjut dengan sambutan dari Koordinator Pameran, Karen Hardini; Direktur Biennale Yogyakarta, Alia Swastika; dan Lurah Panggungharjo, Umi Hanniah.
Selain musik eksperimental, pertunjukan jaranan juga ditampilkan dalam acara pembukaan ini. Acara lalu dilanjutkan dengan permainan ancak-ancak alis. Pertunjukan ini sekaligus menjadi peresmian pembukaan pameran oleh Umi Hanniah dengan menggunakan permainan tradisional yang berbunyi nyaring, yaitu otok-otok.
Dalam sesi sambutan, Umi Hanniah menjelaskan mengenai ciri khas yang dimiliki Kalurahan Panggungharjo. Dulunya, Panggungharjo dikenal sebagai kampung dolanan, tetapi akhirnya julukan itu mulai redup. Selain kampung dolanan, Panggungharjo juga terkenal akan komitmen mengenai pengelolaan sampah.
“Tentunya, begitu masuk di area ini ingatan saya begitu diputar seperti masa kecil dulu, dengan suara angin macam mainan [kitiran] seperti itu, ini adalah khasnya Panggungharjo,” ujar Umi saat memberi sambutan.
Hal ini menunjukan bahwa pameran Anak Sobo Sawah tidak hanya ditujukan kepada anak-anak, melainkan semua orang yang berhasil menikmati pameran ini. Selain Umi, Karen Hardini juga menyetujui hal tersebut.
“Sebenarnya, yang kita rengkuh bukan hanya anak-anak, tetapi juga orang dewasa yang kita ingatkan kembali kepada permainan yang memiliki nilai moral yang luar biasa.” Ujar Karen.
Dengan Pameran Anak Sobo Sawah, Biennale Jogja ingin menumbuhkan keakraban dan rasa keingintahuan anak terhadap aktivitas di sawah, seperti kegiatan bercocok tanam. Harapannya, keingintahuan dan kedekatan dengan sawah akan membuat membuat mereka semakin mengenal lingkungan sekitar dan tidak memandang sebelah mata aktivitas para petani.
“Saba” sendiri merupakan kata yang diambil dari bahasa Jawa dan memiliki arti jalan-jalan ke atau bermain ke sawah. “Saba sawah artinya bermain di sawah, saba sawah ini menjadi menarik karena bisa menjelaskan aktivitas bertani, bertanam, bermain di pematang sawah,” jelas Umi.
Melalui pemilihan judul tersebut, Biennale Jogja ingin mengajak anak-anak untuk mengenal lingkungan sekitar melalui persawahan. Biennale Jogja yang sebelumnya juga melibatkan anak, tetapi hanya sebagai partisipan. Namun, pada kesempatan kali ini, Biennale Jogja membuat pameran khusus untuk anak.
“Kita sebelumnya selalu mengundang sekolah-sekolah, mengadakan workshop, selalu ada ruang untuk anak-anak seperti kids corner begitu. Hanya memang tahun ini, atau sepanjang Biennale, baru kali ini mengadakan pameran untuk anak-anak,” tutur Karen.
Jika dibayangkan, Pameran Anak Saba Sawah bukanlah pameran anak yang ideal. Pameran Anak Saba Sawah bukan layaknya pameran yang berada di ruangan tertutup yang memakai peralatan yang mumpuni.
“Sebetulnya, spirit kami bukan mewujudkan pameran anak anak yang ideal, tapi bagaimana kita merespon ruang-ruang seperti pendopo,” pungkas Karen.
Aldino Jalu Seto
Reporter: Aldino Jalu Seto, Faza Nugroho
Editor: Rosmitha Juanitasari