Aku termenung di ujung Alun-alun Kidul, memandang gemerlapnya sudut kota ini, terbawa oleh rasa terasing di sekitar mahlub-mahlub yang sedang diterpa rasa indahnya cinta, entah cinta pertama atau yang kesekian kalinya, terasa ada perasaan asing menggangu di otak ini, apakah kehidupan ini memang penuh tanda tanya.
Tanya yang sulit untuk dijelaskan dalam sekejap kedipan mata, hm.
Terkagetkan oleh genggaman tangan hangat di pundakku, tangan yang mengalirkan suatu aliran yang begitu kuatnya, sampai menyentuh lorong-lorong terdalam dalam kalbuku. Seolah tersengat akan aliran listrik. Apakah aliran ini nyata, atau hanya ungahan dalam detupan jantungku. Sentuhan yang membangunkan mimpiku yang sedang bermimpi dalam melek mataku. Aku tersanjung akan lika-liku pinggul gadis di pojok pohon yang sedang bermesraan dengan kekasihnya, yang kurus tak bergairah untuk hidup. Tapi, cinta membuat seolah ia hidup, dalam keceriahan malam yang ditemani oleh bintang-bintang yang berterbangan di langit. Terlihat indah,mengikuti keindahan foto malam.
Malam yang indah darling, sorry agak terlambat. Kenalkan ini adik sepupuku, Ema.
Terasa dingin tangannya. Mengikat aku dalam kebekuan perasaan ini.
Aku terasa asing akan diriku sendiri. Ingin berteriak, ingin terbang tinggi, ingin merasakan rasanya di senggol ban mobil yang elok putarannya itu. Burung pun merasa asing berada di tempat yang asing tanpa dahan pohon untuk disinggahi. Rasa ini sungguh menyudutkan aku.
Aku menyukai ia, tetapi apakah aku mencintai ia atau tidak? Aku ingin merasakaan eforia jatuh cinta. Aku ingin merasakan jatuh cinta yang bisa membuat aku gila, gila akan dia, gila yang tidak bisa dijelaskan oleh teori psikologi. Hanya ia yang bisa memahami arti jatuh cintaku padanya. Cinta yang mengalir bersama nadi kehidupanku. Cinta yang berjalan bersama napasku. Cinta yang mengalir bersama darahku. Cinta yang membuat aku merasakan cinta yang sebenarnya, bukan cinta yang membuat aku terasing pada diriku dan pada dirinya.
Aku khawatir ini hanya panggung permainan yang akan menyeretku untuk terjatuh dalam gelapnya perasaan hatiku.
Burug jatuh ketika tertembak, sehingga ia tak berdaya untuk merasakan kebebasan. Andai aku terjatuh. Apa yang akan terjadi? Apakah aku akan hilang bersama perasaan ini? Seolah berlalu tanpa teringat akan sesuatu hal yang pernah aku alami. Mengasingkan diri dalam kekosongan jiwa yang sedang hampa. Memang terasa berat untuk dijalani, tetapi harus aku coba agar memahami arti sesunguhnya dari perasaan ini.
“Hai apa kabar?”
“Baik kak, kakak sendiri gimana kabarnya?”
“Baik nona, kalian baru dari mana?”
“Kami berdua dari kos kak.”
“Oh gtu ya, baguslah. Kok bisa telat datangnya?”
“Iya, saying tadi ada indisiden di jalan. Ada tabrakan beruntun, sambil berciuman antara motor dengan mobil Xenia. Akibat ciuman tersebut, pengendara hingga berdarah. Sehingga jalanan menjadi macet sekitar 1 jam. Kejadiannya di arah jalan simanjuntak.”
Ngeri sekali. Semua orang merasa asing satu sama lain. Semua orang terkadang menjadi lawan dalam medan perlombaan di jalan raya. Sayang sekali, seolah-olah seperti harimau yang merebut makanan.
Apa yang kita perebutkan dalam dunia ini? Apakah waktu? Memang sistem kapitalisme menciptkan orang seperti benda yang dikontrol dengan waktu. Jangan sampai terlambat. Nyawa bukan urusan,yang penting, yang terpenting adalah kita tepat waktu. Iya, waktu adalah segalanya. Tetapi, nyawa itu juga merupakan hal yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup kita.
Dunia yang tentram ini. Dunia yang harmoni ini. Dunia yang penuh cinta ini. Dunia yang indah ini. Dunia yang menjadi habitat kehidupan kita dewasa ini. Merupakan dunia yang sangat sempurna, tetapi menjadi asing ketika kita lupakan itu. Hanya ego dan emosi yang ada. Hanya mau menang sendiri pula. Sehingga jalan raya yang merupakan penghubung untuk memudahkan jalur aktifits kita, tetapi terkadang juga merupakan tempat saling memangsa satu sama lain.
Dunia yang terasing bagi kehidupan kita. Apakah dunia seperti ini yang kita inginkan? Pasti bukan. Semua mahlub hidup menginginkan dunia seperti Taman Eden. Menciptakan harmoni bersama untuk saling melengkapi dalam cinta, karena cinta mampu membuat kita merasakan rasa terasing. Tetapi, mampu juga untuk menghilangkan rasa terasing antara kita.
Love antara aku dengan z merupakan jembatan persahabatan yang berujung pada saling menyukai. Terpisah jarak umur sekitar 5 tahun membuat kita menjadi terasing satu sama lain. Karena terkadang ada ungkapan perasaan aneh dari Z tentang aku. Tetapi hal itu tidak mengurangi rasa rinduku padanya. Rasa cintaku padanya yang seiring waktu berjalan, ia bisa menyatu seperti aliran ombak yang selalu mengerti dan memahami butiran pasir yang begitu halus. Namun, padat sepadat aku mencintainya.
Mengapa rasa terasing ini selalu menghantui aku? Mengapa engkau ciptakan dia untuk aku? Apakah jarak umur selalu membuat kita saling membandingkan? Aku bertanya apakah yang engkau ragukan untuk aku? Aku bukan seperti yang engkau bandingkan. Aku adalah aku. Mungkin persoalannya, aku terlanjur menikmati matahari lebih dahulu dari engkau. Tetapi aku terlanjur mencintai engkau dalam rahim ibumu sebelum engkau menikmati matahari.
Apakah perbandingan dapat memberi arti tersendiri bagi aku? Apakah keraguan itu menjadi petunjuk bagiku untuk menasfsirkan apakah ini hanya permainan cinta darimu untuk pembalasan dendam?
Dendam yang menjadikan engkau seperti harimau yang siap untuk melahap setiap korban yang ada di depan matamu. Apakah aku salah satu korbanya? Apakah karena engkau adalah salah satu korban yang pernah dikhianati oleh sang tunanganmu? Itu kata temanmu pada aku, sebelum aku mengenal engkau Z.
Aku takut ketika engkau hanya menjadikan aku sebagai alasan pembalasan dendam bagi dirimu atas apa yang pernah engkau alami. Dalam perjalan tunangan dirimu, engkau dikhianati oleh nafsu sang kekasihmu karena selingkuh.
Aku adalah aku. Aku bukan sang tunangamu yang mungkin tidak menghargai cinta, tidak pula menghargai kehidupan. Aku bukan bahan permainan. Hidup hanya sementara, seperti kereta yang melaju meningalkan tatapan mata dalam hitungan detik. kita hanya persinggahan sementara di stasiun. Dalam waktu yang singkat itu seharusnya ada lukisan terindah yang menjadi kado perpisahan. Ketika kereta yang membawa kita menghilang dalam sekejap mata, oleh tatapan mereka yang mencintai kita dan kita juga mencintai mereka.
Hanya ada lambaian tangan dan tangisan perpisahan sebagai ungkapan kesediahan atas segala hari-hari terindah yang pernah kita ukir bersama. Dalam lukisan yang menjadi kado terindah atas kehidupan ini. Rasa terasing jangan menjadi beban bagi hidup kita.
Manisku, apakah engkau selalu menyiksa aku dalam omong kosong ini? Janganlah sayangku!
Sayangku, engaku menjadi mentari pagi yang selalu menyinari kegelapan jiwaku yang sedang menunggu seberkas harapan untuk hidup kembali. Hidup yang bukan sekedar hidup. Tetapi hidup yang dapat engkau rangkai menjadi sesuatu yang indah. Sesuatu yang memiliki arti. Arti yang memberi harapan untuk aku, untuk hari ini, dan selamanya. Janganlah engkau menjebakku dalam kepalsuan keterasingan ini sayangku.
“Oh my love.”
“Because I love you.”
Melebihi dari semua yang terindah di dunia ini. Karena engkau mahlub terindah bagi aku. Bagi hidupku, bagi impian masa depanku.
Bunga yang indah di taman selalu memberi arti berbeda bagi yang memandangi. Tetapi engkau oh bungaku. Bunga yang terindah yang akan bermekaran indah ketika datangnya saat mentari menyingsing di pagi hari. Hanya aku yang bisa memahami keindahan dirimu. Keindahan kepribadianmu. Karena engkau selalu memberi arti bagi harapan hidupku ini.
Hidup yang tingal menungu waktu untuk menghilang. Hidup yang tak mengerti arti siang dan malam. Hidup yang selalu berujung pada pesimisme kehidupan. Engkau adalah harapan kehidupan itu.
Z, mengapa engkau mengasingkan aku dari rasa keterasinganku sendiri? Kian terjebak pada penjara yang entah aku sendiri tidak mengerti untuk menemukan jalan keluar itu.
Apakah dunia ini begitu terasing bagi aku? Atau engkau yang membawa aku pada jalan yang tak aku mengerti untuk menemukan jalan kembali.
“Mengapa???”
Mengapa engkau ingin mengasingkan aku darimu? Aku hanya mahlub yang tak berdaya oleh kelembutanmu. Kedewasaanmu dalam memanjakan aku, yang menjadikan engkau sebagai sosok ibu.
Ibu bagiku adalah engkau. Karena engkau mengerti aku. Karena engkau memahami aku. Karena aku hanya bayi mungil yang sedang sekarat dalam dukanya hidup yang begitu keras ini.
Apakah ini hanya perasaan terasing yang aku ciptakan sendiri? Atau hanya perasaan yang menyekap diriku dalam lamunan kesendirianku ketika engkau ada maupun tidak ada di sisiku. Mengapa perasaan terasing ini begitu membara dalam diriku? Apakah aku sulit untuk menyatu bersama dirimu? Atau engkau yang sulit untuk menyatu bersama diriku? Lalu apakah yang harus aku lakukan untuk menghilangkan perasaan terasing ini,dari dalam diriku?
“Oh cintaku.”
Aku hanya bisa mengadu pada-Mu, wahai pemilik hati, wahai pemilik dua insan yang lagi sedang sekarat jatuh hati.
Oh angin, tolong semburkanlah sepoi-sepoimu dalam diriku. Agar dapat menyegarkan keraguan perasaan terasing ini dalam diriku. Aku berharap. Aku menunggu. Aku memohon, agar perasaan terasing ini dapat segera menghilang dari diriku, dari pikiranku, dan dari angan-angan khayalanku ini.
Oh angina, engkau harapan terakhirku.
Perasaan terasing ini sungguh menyiksaku.
Apakah ini berarti kami tak bisa menyatu?
Atau ini hanya perasaan galauku? Di kala rembulan malam di tepi Alun-alun Kidul Kota Yogya.
Isak (Mahasiswa Jurusan Ekonomi, Universitas Janabadra)