Ekspresionline.com–ARTJOG kembali menggelar pameran tahunan yang dimulai pada 20 Juni–31 Agustus 2025. Tahun ini, ARTJOG menyapa pengunjung dengan membawakan pemungkas trilogi MOTIF dari dua pameran sebelumnya, yaitu MOTIF: AMALAN.
Melalui laman artjog.id, makna “Amalan” pada tema yang dibawa tidak hanya terbatas pada definisi “pahala”, melainkan perilaku praksis seniman sebagai subjek aktif dengan konteks estetika, sosial, politik, dan sebagainya. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan pandangan terhadap seni sebagai “hadiah” yang tak dapat ditakar nilainya.
Murakabi Movement, selaku partisipan seni ARTJOG sejak 2019 silam, turut hadir menyuarakan isu pangan, sandang, dan papan. Pada kesempatan kali ini, Murakabi menyajikan instalasi seni interaktif berjudul “Tanah Air Beta”.
Melalui instalasi seni “Tanah Air Beta”, tertampil beberapa objek seni yang membentuk miniatur jalanan pedesaan lokal. Salah satu objek interaktif yang terdapat dalam instalasi seni tersebut adalah “Angkringan”.
Konsep “Angkringan” terbentuk atas perspektif Murakabi dalam memandang seni. Bagi Murakabi, seni tidak hanya berupa benda, tetapi juga dapat diartikan sebagai interaksi sosial dan kehidupan sehari-hari.
Jundi juga menyoroti bagaimana masyarakat masa kini mulai nyaman hidup secara individualis dan jarang bersosialisasi, sehingga pembentukan “Angkringan” dilakukan sebagai upaya dalam membangun ruang interaktif bagi siapapun.
“Kita pengen meningkatkan budaya diskusi dan juga seni bergotong royong. Saat ngeliat ini [Trasah Watu, ornamen jalanan berbatu dalam instalasi seni “Tanah Air Beta”] kan pembuatannya gak cuman seorang, tetapi banyak orang terlibat dalam pembuatan Trasah Watu itu sendiri,” ujar Jundi, selaku pihak Murakabi yang diwawancarai oleh LPM Ekspresi.
Selain pengonsepan seni, Jundi juga menyuarakan beberapa hal yang berkaitan dengan isu lingkungan. Salah satunya adalah keresahan terhadap alam dan air yang selalu menjadi bahan eksploitasi oleh perusahaan-perusahaan kapitalis.
Tak hanya itu, Jundi juga menyampaikan bahwa kehidupan petani, yang diketahui dapat menanam dan menghasilkan bahan pangan sendiri, justru mengalami ketidaksejahteraan.
“Sekarang petani-petani di Indonesia mereka apa-apa beli ke pasar, terus kayak misalkan sekarang petani membeli bibit ke pabrik, itu kan gak bisa cuman beli bibitnya aja, pasti sama pestisidanya, vitaminnya. Apakah itu layak bagi seorang petani?” tutur Jundi.
Menurut Jundi, petani seharusnya bisa melakukan transaksi kebutuhan pangan dengan sistem barter, atau saling menukar bahan pangan kepada sesama petani lainnya. Hal ini ia percaya sebagai bentuk kesejahteraan hidup petani, yang di mana petani dapat menghasilkan bahan pangan mereka sendiri tanpa perlu membeli ke pasar.




Lutfiya Lamya Dauratul Hikmah
Reporter: Lutfiya Lamya Dauratul Hikmah, Nur Fadlilah Amalia
Editor: Pramestya Kinanti Nurimastuti