Sebenarnya aku mulai bosan memandang dinding kamarku yang dingin. Apakah benar aku harus berbincang dengan dinding yang sebenarnya adalah batu yang di tata rapi? Meskipun demikian tapi tak dapat membuatku kagum karena ia hanya dinding yang bisu. Tapi setidaknya dia melindungiku dari angin. Seketika kelopak mataku yang masih menampung banyak air kini tumpah lagi, masih mengingat apa yang terjadi, yakni ulang tahun termuram. Masih kubiarkan tubuhku tergeletak di atas ranjang besi berwarna putih pudar. Menatap ke arah jendela yang berdebu. Dua kupu-kupu hinggap disana yang mungkin ingin mengajakku bermain, tapi aku memang tak kuasa untuk mengangkat badan. Akhirnya kupu-kupu itu pergi dengan perasaan layu.
Satu setengah tahun lalu aku bertemu ayah. Ya, sejak kecil aku tak pernah bertemu dengannya karena ia meninggalkanku dan ibuku. Ayah dan ibu bercerai tanpa aku tahu alasan yang sebenarnya, dan aku terlalu takut untuk menanyakannya kepada ibu.
“Sebentar lagi akan ada yang menjemputmu, Candra.” Ya namaku Candrakanti yang berarti sinar rembulan, menurut ibu akulah yang akan menerangi siapapun di kala gelap. Begitu tutur ibu kepadaku.
“Siapa, Bu?” sahutku.
“Ayahmu akan kemari untuk menjemputmu, kamu begitu rindu dengan ayahmu bukan? Dan begitu ingin bersamanya? Ikutlah nak,” ibu sambil memegang tanganku erat.
Tinggal bersama ayah adalah keinganku sejak aku masih di menengah pertama. Meskipun ada ibu di rumah, aku masih merasa sendiri karena ibu begitu sibuk dengan pekerjaanya dan juga suami barunya. Hampir tak pernah ada waktu untukku. Akhirnya setelah ibu merelakanku pergi bersama ayah, aku merasa ada perubahan dalam hidupku. Aku merasa bebas, tak ada kekangan lagi. Ayah tiriku selalu mengekangku dengan berbagai macam peraturan, itu juga sebab aku selalu merasa sendiri.
Malam yang dingin itu saat kududuk di teras sambil memegang segelas coklat panas, dari kejauhan tampak seorang lelaki dengan setelan kaos “polo” dan kacamata. Sontak aku terperanjat karena sebelumnya belum pernah ada orang yang datang ke rumah. Aku merasa lelaki itu adalah orang yang aku cari?.
“Candra, benarkah kau itu?” tanya lelaki itu.
“Ya, benar,” jawabku singkat.
“Kau pasti tahu siapa saya, meskipun kita tak pernah bertemu sebelumnya, aku orang yang akan menjemputmu nak,” sahutnya.
Tanpa aku banyak berfikir aku sudah bisa menebak kalau lelaki itu adalah ayahku, orang yang aku cari selama ini. Lalu ia memintaku untuk ikut dengannya. Tuhan, inilah yang aku inginkan, terimakasih.
“Apakah Ayah benar-benar rindu aku?” tanyaku penasaran.
“Apakah Candra tak percaya alasan ayah menjemput Candra untuk tinggal bersama Ayah?” ia terdiam sejenak.
“Ayah sampai lupa sudah berapa tahun tak bertemu dengan anak Ayah yang ternyata memang cantik. Ayah sempat takut jika kau begitu marah dengan Ayah karena kesalahan Ayah dan ternyata kau begitu lembut hati. Nak”
“Yang jelas aku bahagia Ayah mau menjemputku dan tinggal bersama Ayah sekarang.”
“Apa kau tak ingin tinggal dengan Ibu lagi, Nak? Ibu sudah ada untukmu sejak kau masih kecil,” sahutnya.
Aku menghela nafas panjang hingga bisa melontarkan kalimat dari mulut yang mengatup.
“Ibu sibuk dengan pekerjaannya di warung nasi yang ia bangun dengan suami barunya, hampir tak pernah ada waktu untukku, aku selalu merasa sendiri di rumah Ibu karena akulah yang bertugas menjaga rumah ketika mereka bekerja.” mataku mulai berkaca-kaca. “Aku berharap Ayah tak akan meninggalkanku lagi,” pintaku
“Ayah akan selalu menemani harimu, Nak, menghabiskan waktu sepanjang hari denganmu, Ayah tak akan mengekangmu. Meskipun usiamu kini sudah 19 tahun Ayah tetap akan mengajakmu bermain,” hibur ayah dengan senyum yang begitu menenangkan.
“Terimakasih, Ayah, sebentar lagi usiaku kepala dua, apakah Ayah masih ingat?” tatapku manja.
“Bahkan Ayah masih ingat pertama kau lahir dengan dibalut jarik nenekmu, jelas Ayah masih sangat ingat, Nak”.
Setidaknya ayah memang benar akan selalu menemaniku dan bermain bersamaku meskipun aku bukan bocah lagi. Selama bersama ayah aku memang merasakan kehangatan dan jiwaku mulai ramai kembali, kabut hitam di otakku mulai berlalu. Mungkin seperti itulah kiasannya.
Suatu hari yang merupakan hari kelahiranku tiba juga, aku heran kenapa pagi ini ayah tak membangunkanku dan menawariku susu coklat hangat. Hanya ada sepucuk surat dan sebotol madu murni. Perlahan ku buka dengan penasaran dengan perasaan bertanya-tanya kenapa ada surat dan madu. Kubuka perlahan surat itu dengan perasaan aneh.
Candrakanti, kau memang jadi rembulan di malam yang hitam
Kau elok dan begitu bersinar
Betapa bahagianya jika kau selalu terang
Menemaniku yang mulai senja
Jangan pernah takut untuk sendiri
Candrakanti, kau putriku
Teruslah terang meskipun hanya saat gelap
Kalimat yang sederhana, namun menurutku jika ayah yang menulis maka menjadi sarat makna. Tapi aku tak tahu untuk apa ada madu, aku membalik botol madu itu dan ternyata ada kalimat yang bertuliskan, “Candra, jadikan aku pemanismu.” Tiba-tiba ayah berdiri di depan pintu dan membawa sebongkah roti dengan lilin angka 20.
“Selamat ulang tahun, anakku, Tuhan selalu memberkatimu.”
Aku menghampiri ayah dan memeluknya erat, seketika air matakupun pecah, “Terimakasih Ayah, Ayah benar-benar hadiah terhebatku.”
“Sebentar, Ayah masih punya kejutan lagi untukmu, Nak”
Namun ada yang membuatku heran, ayah begitu pucat sore itu. Mengapa ayah begitu terseok-seok? Apakah karena ayah kurang tidur? Entahlah, yang jelas aku bahagia. Langkah ayah semakin melambat, dan tiba-tiba ia terjatuh. Sigap aku menghampiri ayah. Aku bingung, apa yang terjadi dengan ayah.
“Nak, berjanjilah kau akan tetap bersinar dalam hal apapun,” kata ayah dengan nafas tersengal-sengal.
“Iya Ayah, Candra janji,” tangisku tak mampu kubendung.
Tak pikir panjang segera aku memanggil bantuan orang sekitar, dan ayahpun dimasukkan ke mobil lalu di bawa ke rumah sakit terdekat. Ayah masuk UGD, aku mulai khawatir. Aku tak ingin ada dokter yang tiba-tiba keluar dari UGD dan menanyakan mana keluarga pasien dan berkata maaf kami sudah berusaha semaksimal kami. Aku benci kata-kata itu. Aku melihat perawat yang nampaknya akan menghampiriku.
“Mari Mbak, saya antarkan bertemu ayah mbak,” Kata perawat itu. Tanpa aku bertanya Ayah sakit apa.
Tak berlama-lama lagi aku langsung beranjak dari tempat dudukku di ruang tunggu. Aku kaget, kenapa ayah ditutup selimut? Tak peduli dengan perawat dan dokter, aku langsung membuka selimut itu dan aku menemukan ayah sudah tak bernafas. Dokter dan perawat itu mencoba untuk menenangkanku namun aku tak menghiraukannya lagi. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku merasa kosong. Tuhan, inikah kado terbaik? Inikah maksud ayah dengan kalimat “tetaplah menjadi penerang?” Senja sore itu hanya aku habiskan dengan kesendirian, tapi aku merasa bahwa ayah tak pernah benar-benar pergi. Aya, rinduku belum sempat terobati.
Mukodah (Mahasiswa Ilmu Sejarah, FIS UNY 2013)