Ekspresionline.com–Pemilu dan segala acara yang menyertainya telah terlaksana. Meskipun begitu, membahas kembali hal-hal yang telah terjadi masih cukup menarik untuk dilakukan. Misalnya, mengkaji lagi jawaban capres dan cawapres dalam perdebatan lalu. Jawaban-jawaban yang diberikan tak jarang menggelitik, hingga memancing keheranan dan membuat alis terangkat sebelah. Salah satunya ialah ujaran capres nomor urut 02 dalam menanggapi isu inklusivitas bagi teman difabel.
Ketika ditanya mengenai pemenuhan dukungan dan kebutuhan bagi difabel, capres tersebut menjawab akan mendorong dipenuhinya kebutuhan teknologi yang dapat membantu mereka. Tak ada masalah yang besar dari gagasan itu. Akan tetapi, diksi yang digunakan sungguh-sungguh mengganggu.
Penggunaan teknologi tersebut, menurut beliau, diharapkan dapat membantu para difabel untuk hidup dengan mandiri dan bekerja dengan kondisi yang “hampir mendekati orang-orang normal”.
Sekilas, ujaran tersebut terlihat biasa saja. Tapi, sebenarnya terdapat kesalahan fatal dan berpotensi semakin mendiskriminasi difabel dalam masyarakat. Penggunaan kata ‘normal’ dalam konteks ini membawa potensi semakin memperbesar jurang marginalisasi difabel, dan bisa jadi, menguruk upaya membangun inklusivitas yang sudah lama digaungkan.
Pemaknaan “Normal”
Untuk memahami apa itu normal, kita perlu memahami konteks awal penggunaan kata ini. Penggunaan kata normal dapat ditarik mundur hingga abad ke-17. Kata ini bermula dari dunia pertukangan, yakni normalis yang dalam bahasa Latin bermakna ‘sudut yang tepat, yang dibuat menggunakan penggaris/carpenter’s square’. Jadi, normal pada masa ini bersifat pakem dan terukur secara matematis.
Seiring berjalannya waktu, makna normal pun berkembang. Tak lagi hanya digunakan dalam konteks perhitungan matematis, tetapi juga berfungsi untuk menilai ketepatan maupun kewajaran konteks lainnya. Kini makna normal pun meluas, menjadi hal yang ‘sesuai dan tidak melanggar norma, aturan, maupun prinsip yang berlaku’.
Pada pemaknaan kedua, normal tak lagi mengukur suatu hal secara baku. Tak ada satuan yang pakem dan jelas untuk mengukur standar kenormalan. Bukan lagi satuan derajat yang digunakan, tetapi norma atau nilai yang tumbuh di masyarakat. Dan, berbicara mengenai masyarakat, berarti berbicara mengenai diversitas.
Manusia, sebagai individu, bersifat sangat dinamis. Kumpulan dari berbagai manusia tentu melahirkan situasi yang lebih dinamis lagi. Untuk itu, menentukan suatu hukum pakem yang dapat diukur secara pasti bagi masyarakat akan menjadi pekerjaan yang tiada habisnya. Pasalnya, setiap individu pasti memiliki perbedaan dalam memandang suatu hal. Bahkan, di saat seluruh anggota komunitas memiliki kesamaan pendapat, pasti masih terdapat perbedaan. Sebab, tiap individu memegang takaran penilaian yang berbeda meskipun sependapat.
Oleh karena itu, menentukan apa yang dianggap “normal” dalam masyarakat akan menjadi hal yang rumit. Perbedaan nilai, sejarah, kondisi alam, kepercayaan, kelas sosial dan ekonomi, pendidikan, serta banyak aspek lain dapat memberi penilaian mengenai apa yang dianggap wajar dan tidak wajar menjadi suatu hal yang bersifat subjektif. Menentukan sebuah hal sebagai “normal” tanpa memandang perbedaan-perbedaan tersebut akan menjadi sebuah tindakan yang gegabah dan minim kepekaan. Apalagi, jika penentuan tersebut dilakukan dalam lingkup yang besar. Negara, misalnya.
Dengan adanya hal yang dianggap “normal”, maka ada pula hal yang dianggap “abnormal”. Apa yang tidak masuk ke dalam payung “normal”, maka secara otomatis akan tergolong sebagai “abnormal”. Padahal, pelabelan “abnormal” cenderung membawa konotasi negatif dan akan dihindari oleh masyarakat, untuk menjaga diri agar tetap berada di koridor “normal”.
Seorang kenalan saya pernah berkata, bahwa istilah “normal” itu bersifat politis. Pendapat tersebut saya rasa masuk akal. Penggunaan kata “normal” dapat menyetir orang untuk melakukan berbagai hal demi menghindari ketidakwajaran dan isolasi sosial. Alhasil, masyarakat dapat diatur sedemikian rupa untuk mengikuti aturan, dengan harapan tidak keluar dari zona “normal”. Semua itu dapat digunakan demi kepentingan pihak tertentu yang diuntungkan dengan keberadaan “normal”.
Hati-hati dalam Diksi
Dalam konteks inklusivitas, nilai politis di balik kata “normal” ini dapat bersifat berbahaya. Terutama, bagi individu yang termarginalisasi oleh lingkungannya. Pelabelan bahwa kaum marginal merupakan orang-orang yang tidak mencapai titik “normal” akan semakin menggeser posisi mereka dalam masyarakat, sekaligus merenggut hak mereka sebagai manusia yang beradab.
Bagi difabel, misalnya, pemberian teknologi bantuan dengan dasar agar mereka “hampir mendekati orang normal”, juga bisa bermakna bahwa mereka itu “tidak normal”. Hal ini akan mendorong masyarakat untuk menilai kondisi mereka sebagai sebuah kekurangan, alih-alih sebagai sesuatu yang netral. Hasilnya, mereka akan dipandang dengan rasa kasihan karena tidak mencapai titik “normal”.
Framing tersebut tentu bersifat merugikan. Konsep inklusivitas berusaha memandang perbedaan sebagai sesuatu yang netral, bukannya hal yang negatif dan patut dikasihani. Inklusivitas berusaha untuk merangkul dan mengakomodasi tanpa memandang kondisi khusus yang dialami suatu individu sebagai suatu kekurangan, melainkan sebagai keragaman yang pantas dihargai.
Oleh karenanya, pemilihan diksi menjadi hal yang sangat krusial. Sebuah diksi–terutama yang dipilih oleh seorang tokoh–memiliki nilai politis yang dapat membawa kebaikan maupun kerugian bagi pihak yang terkait.
Dengan demikian, pemilihan diksi sangat perlu dilakukan secara berhati-hati. Diksi yang tepat akan memberikan framing yang tepat pula. Misalnya, dalam konteks inklusivitas, penggunaan diksi ‘difabel’ membawa konotasi yang lebih positif daripada ‘disabilitas’, ‘cacat’, ‘berkekurangan’, maupun ‘handicap’. Difabel berarti ‘differently abled’ atau ‘mampu dengan cara yang berbeda’. Jadi, diksi tersebut tidak berfokus pada kekurangan yang ada, tetapi pada potensi yang dimiliki serta memandang perbedaan sebagai sesuatu yang netral.
Jadi, kita perlu mengkaji ulang penggunaan kata “normal”, terutama dalam mendeskripsikan hal yang berpotensi menimbulkan diskriminasi kepada pihak tertentu. Kalau masih dengan mudah mengkotak-kotakkan suatu hal sebagai “normal” atau “abnormal”, mungkin kita perlu bertanya pada diri sendiri. Memang yakin, kalau kita normal?
Nugrahani Annisa
Editor: Annisa Fitriana