Ekspresionline.com–Malam itu seperti biasa, jalan depan FMIPA tetap ramai oleh kendaraan yang melintas. Tepat di akhir pekan, orang-orang lalu lalang melepas penat untuk sementara waktu. Selepas isya, kerumunan orang mulai memenuhi jalan seberang Gedung Student and Multicultural Center UNY. Pintu timur jalan tersebut terbuka untuk menyambut kedatangan penonton. Tepat pada 29 Juli 2023, UNSTRAT menggelar pementasan teater bertajuk “Repertoar Teater”.
Pementasan yang diselenggarakan sebelum berjalannya perkuliahan itu mengundang antusiasme penonton. Satu per satu barisan penuh seiring berjalannya waktu. Hening panggung sebelum pementasan dan kesibukan di balik layar menunggu baris-baris itu sesak oleh penonton. Malam itu udara dingin dan angin sedang kencang, tapi penonton masih tak beranjak seperti replika batu di bagian barat panggung.
Repertoar kali ini mementaskan tiga judul, yaitu Terdampar, Kisah Rumah ’45, dan Rahim. Pementasan ketiga judul itu menghadirkan refleksi atas realitas disertai kritik lewat alih wahana suatu karya sastra. Secara garis besar, cerita yang diangkat berkutat pada persoalan antar manusia yang rumit, sampai-sampai melanggar budaya yang dicipta manusia sendiri.
Kritik Atas Tingkah Badut-badut Politik
Sekitar lebih dari seperempat jam lewat pukul tujuh malam, pementasan dibuka dengan pengenalan oleh MC. Saat teater pertama dimulai, tawa di barisan penonton mulai pecah sebab gelagat jenaka para aktor. Daun gugur dan angin malam serta irama musik mengiringi langkah-langkah kaki mereka. Sorot cahaya tak luput mewarnai raut muka para aktor.
Setiap ekspresi yang ditunjukkan para aktor menyimpan maksud tersembunyi yang menunjukkan kepentingan mereka masing-masing. Dalam hal ini, manusia sebagai subjek yang memahami keluasan pikiran dan perasaan manusia lain yang kompleks layaknya hamparan samudra atau lautan lepas. Hal itu ditampilkan pada teater pertama berjudul Terdampar yang sarat akan kritik sosial dan konflik kepentingan antar tokoh. Konflik itu berangkat dari kesamaan masalah yang dialami para tokoh.
Naskah teater Terdampar disadur dari Na Pelnym Morzu karya Slawomir Mrozek yang mengangkat pergolakan politik di Polandia selama 1956-1961. Naskah Terdampar sendiri merupakan hasil terjemahan oleh A. Kasim Ahmad. Konflik pada naskah terjemahan A. Kasim Ahmad ialah kelaparan yang dialami tiga tokoh yang terdampar dan tak menemukan persediaan pangan, sehingga salah satu dari mereka mau tak mau dikorbankan untuk disantap tokoh lainnya.

Konflik pada Terdampar sarat akan muatan politis yang mengkritik ketegangan sosial, pergolakan politik, dan krisis ekonomi. Konflik-konflik tersebut dikemas dalam komedi dengan celetuk konyol politisi-politisi negeri ini yang dikutip secara rapi untuk menyiratkan suatu ironi. Ungkapan-ungkapan itu muncul saat adegan kampanye yang dianggap sebagai cara orang berbudaya untuk mempertaruhkan nasib.
Keberadaan adegan kampanye barangkali memantik penonton untuk berpikir keras. Mungkin kelaparan digunakan untuk menggantikan sesuatu yang lebih besar, yakni kekuasaan. Setelahnya, dilakukan pemilihan siapa yang akan dikorbankan.
Tadinya, pemilihan itu hendak dilakukan secara demokratis, bebas, dan gotong royong. Namun, konflik dimulai saat Tonny menolak ketika terpilih menjadi santapan Maggie dan Biggie. Akarnya ialah jumlah surat suara yang lebih dari jumlah pemilih. Setelahnya, Tonny berkilah kalau pemilihan yang telah disepakati itu tak adil. Keadilan bagi Tonny ialah dengan tak menjadikan dirinya sebagai korban.
Kehadiran tokoh Jono sebagai tukang pos yang tak terduga seolah mendatangkan berkah bagi Tonny. Kehadirannya terbilang mengulur waktu dan menimbulkan konflik baru. Keadaan itu memaksa Maggie dan Biggie mencari cara untuk memenangkan kepentingan mereka. Jono digambarkan sebagai tokoh yang setia pada atasannya, yakni Tonny. Meskipun ia setia dan tak goyah akan iming-iming Maggie dan Biggie, kesetiaan Jono tak berarti sama sekali bagi nasib tuannya itu.
Nilai-nilai yang Mulai Luntur
Pementasan kedua mengangkat monolog berjudul Kisah Rumah ‘45 yang berbeda dengan pementasan pertama. Selain perbedaan jenis pementasan yang dilakukan, isu yang dikritisi juga tak sama. Pada pementasan pertama, yang disoroti ialah konflik antar tokoh, sementara konflik pada monolog dialami seorang tokoh saja. Konflik tersebut berkisar pada persoalan batin yang dialaminya sendiri. Monolog ini menampilkan seorang anak yang mengenang orang tuanya pada sebuah rumah. Suasana yang ditekankan ialah sedih, prihatin, bahkan menunjukkan kekhawatiran.
Pada mulanya, keberadaan Si Anak yang berada di barisan penonton menjelang penampilan monolog tak disadari penonton. Dari kerumunan penonton tiba-tiba seseorang berteriak. Ia berteriak menanyakan apakah penonton mengenali siapa dirinya. Segera ia berjalan ke panggung dan lampu sorot padam.
Di hadapan penonton, Si Anak mengeluarkan keluh kesahnya sembari mengenang kembali orang tuanya. Orang tua Si Anak ini pernah berpesan kepadanya untuk terus berpegang pada lima ajaran yang diajarkan mereka. Diketahui nama Si Anak ialah Pancasila, seperti yang disebutkan dalam akta kelahirannya. Wajar bila Si Anak menanyakan siapa dirinya di awal dan mengatakan dengan kesal kalau ia merasa takut dan diabaikan.
Pada suatu ketika, kedatangan orang asing mengusik Si Anak dengan menghina seisi rumahnya setelah dipersilakan masuk. Bukan suatu hal umum, orang-orang di sekitarnya tak acuh pada Si Anak, bahkan tak mau tahu dengan rumah Si Anak yang hampir roboh.
Barangkali rumah Si Anak yang hampir roboh itu dialamatkan pada Indonesia. Penghuni rumah itu ialah Si Anak yang bernama Pancasila, nama yang sama dengan dasar negara yang dihasilkan oleh pendiri bangsa dahulu. Si Anak yang diabaikan dan tak dipedulikan orang-orang ingin merefleksikan kondisi saat ini.
Nilai-nilai Pancasila dewasa ini mulai mendapati tantangan, hal itu juga dirasakan sang sutradara. Setelah pertunjukan berakhir, Emir, sutradara monolog Kisah Rumah ‘45, mengingatkan untuk mengamalkan kembali Pancasila. Emir juga mengingatkan hal sederhana semacam tidak menerobos lampu lalu lintas sepulang menonton pertunjukan teater di jalan.
Represi Atas Nama Revolusi
Dua perempuan masing-masing membawa meja dan kursi memasuki panggung. Peristiwa kelam menimpa mereka hingga akhirnya dijebloskan ke kamp tahanan. Disebut-sebut akibat ikut-ikutan demo September Merah membuat hidup mereka begitu. Pasca peristiwa Oktober, mereka diinterogasi dan digelandang aparat ke jeruji besi.
“Mengapa wajahmu terlihat aneh?” tanya kedua perempuan itu bergantian dengan saling bertatapan dengan raut muka keheranan satu sama lain. Seketika keduanya terhenti dan ketakutan setelah dibentak Edgar, Kepala Opsir. Setelahnya, Arda dan Gardu yang keduanya kacung Edgar, menarik kedua perempuan tersebut entah ke mana. Yang jelas, nasib kedua perempuan itu sangat tragis.
Nagari, tokoh utama teater Rahim, memasuki ruangan Edgar sesaat setelah penarikan dua perempuan tadi. Ia hadir bukan untuk mendapat pujian dari Edgar tentang karya-karyanya sebagai penulis dan penyanyi. Nagari hadir untuk diinterogasi oleh Edgar dengan cara-cara keji yang memojokkannya. Panggilan itu datang sebab keputusan yang Nagari ambil untuk memperjuangkan hidupnya.
“Apa hanya soal rahim busuk saya tak lagi gagah mengaku sebagai perempuan?” tegas Nagari. Ia terus dipojokkan sebab operasi rahimnya yang membusuk. Sakit yang diderita Nagari tak terhenti pada ruang operasi, tapi juga berlanjut sampai ke ruang interogasi.

Edgar mengajak Nagari untuk bekerja sama. Namun, kerja sama dalam persepsi Edgar ialah sikap kooperatif yang harus ditunjukkan Nagari. Ia memaksa Nagari agar sejalan dengannya dengan mencecar pertanyaan demi pertanyaan.
Operasi yang dilakukan oleh Nagari dianggap oleh Edgar mengganggu revolusi. Ia dituduh mengganggu stabilitas negara akibat operasi yang dilakukannya. Demonstrasi bermunculan setelah operasi tersebut. Parahnya, Arda dan Gardu memprovokasi Nagari yang tertekan di dalam sel tahanan.
Sorak-sorakan dari luar mengganggu hidup Nagari. “Selamatkan rahim perempuan, demi masa depan dunia!” seru para demonstran di luar. Nagari yang putus asa akibat tekanan hidup yang berlanjut membuat riwayatnya habis seperti dua pesakitan rezim di awal.
Demikianlah sekilas penampilan teater ketiga berjudul Rahim. Kisah ini berlatar tahun 1970-an bersamaan dengan dirintisnya Program Keluarga Berencana oleh rezim Orde Baru. Rahim sarat akan kritik terhadap program Keluarga Berencana masa pemerintahan Soeharto yang mendengungkan slogan dua anak cukup.
Program Keluarga Berencana bisa dibilang suatu bentuk revolusi yang diinisiasi Soeharto. Tujuannya, untuk menurunkan angka kelahiran. “Keberhasilan” Soeharto menjalankan revolusinya pada tahun 1970-an tak terlepas dari langkah-langkah medis yang ditempuh.
Langkah medis yang masif diterapkan berdampak pada masyarakat secara umum. Barangkali yang ingin dikritik di sini ialah praktik-praktik medis yang berdampak pada masyarakat. Melalui sosok Nagari kritik itu disampaikan, bahwa nyatanya program yang ditawarkan pemerintah untuk menurunkan angka kelahiran telah memakan korban.
Nagari ialah korban revolusi Soeharto. Nagari mengidap pembusukan pada rahimnya, sehingga ia terpaksa menerima rasa sakit yang diidapnya. Tentu demi melanjutkan hidup, ia mengorbankan rasa sakitnya itu. Nagari ialah sosok tegar yang malang, hidupnya direnggut rasa sakit dan kebebasannya diberangus di balik jeruji besi.
Dari penggambaran awal teater, sebenarnya memberi pengenalan lebih dalam terhadap konflik yang diangkat. Kemalangan nasib tokoh Nagari yang tak jauh berbeda dengan dua tahanan rezim menyiratkan ketidakadilan. Adanya penekanan terhadap kebebasan yang melekat pada setiap tokoh, utamanya penekanan terhadap hak memperjuangkan nasib sendiri.
Ajang Promosi dan Unjuk Diri dalam Bidang Seni di UNY
Repertoar kali ini menjadi momentum dari rangkaian latihan harian UNSTRAT. Pementasan ini juga sebagai apresiasi atas kerja keras awak UNSTRAT untuk mempersiapkan pementasan. Berdasarkan penuturan Bopa, Ketua Panitia Pementasan, para aktor dan sutradara telah mencapai titik untuk mempertontonkan hasil latihan harian yang telah dilakukan.
Dalam rentang waktu dua minggu, pertunjukan teater dipersiapkan. Mulai dari pembentukan tim, pemilihan sutradara, dan casting. Waktu sesingkat itu oleh para sutradara dicoba untuk menciptakan suatu pertunjukan yang memuaskan. Latihan dari ketiga pertunjukan teater digarap dalam waktu lima hari, dari Senin hingga Kamis. Sungguh usaha yang tak mudah untuk mempersiapkan suatu pementasan.
“Di sini kita adakan ini [pementasan] untuk percobaan seluruhnya,” ungkap Bopa terkait tujuan pementasan. Repertoar sebagai percobaan atau muara menuju samudra pertunjukan yang lebih luas. Selain itu, Repertoar dimaksudkan sebagai proses belajar yang menyenangkan untuk membentuk manusia sampai akhirnya bisa dan siap mementaskan pementasan berikutnya.
Pementasan ini juga ditujukan untuk mempromosikan UKM dengan memanfaatkan momentum PKKMB. UNSTRAT ingin menggaet mahasiswa untuk berkesenian, sekaligus menunjukkan eksistensi sebagai wadah kesenian di UNY. Selain menggaet mahasiswa, seperti yang dikatakan Bopa, pementasan ini juga untuk membangun semangat mahasiswa. “Menggaet dan membangun terutama, membangun semangat bahwa mahasiswa itu enggak hanya belajar tentang akademik yang kaku, tapi bisa berkesenian, senang-senang.”
Faza Nugroho
Reporter: Faza Nugroho
Editor: Nugrahani Annisa