Ekspresionline.com–“Prit… prit…” bunyi peluit bersahutan menata kendaraan. Bersamaan dengan itu muncul celetukan dari seorang pria, ”Maju-maju, jangan dikunci stang.” Itu berasal dari petugas parkir yang menghampiri dan meminta transaksi parkir langsung dibayarkan. Tidak ada perlawanan dan perdebatan. ”Ini pak,” ujar seorang wanita dengan baju bercorak bunga yang segera menyerahkan nominal uang Rp3.000.
Kala itu puluhan langkah kaki tertuju di sebuah bangunan. Sendirian, berpasangan dan sekelompok orang mulai memasuki gerbang gedung pertunjukan. Taman Budaya Yogyakarta menjadi tempat pementasan lakon ”Mertobat: Anyaput Pedhut Agripto Laku Utomo”, ketoprak garapan UKM Kamasetra UNY.
Tepat di Selasa malam (12/9/2023), Mertobat dipentaskan. Terhitung ratusan orang dari keluarga besar UKM Kamasetra, mahasiswa UNY, mahasiswa kampus lain, dan masyarakat sekitar antusias untuk menghadiri pementasan itu. Langkah kaki mereka bergerak penuh gesa menuju pintu masuk.
Registrasi dilakukan dari pukul 18.00–19.00 WIB di samping tangga pintu masuk gedung pertunjukan. Padat merapat menjadi deskripsi yang jelas dari situasi masa itu, tepatnya bagi kedua petugas registrasi yang tengah memastikan pengunjung datang membawa tiket pendaftaran. ”Bisa ditunjukkan tiketnya dulu ya, Kak,” ungkap salah satu petugas registrasi.
Adapun jauh sebelum hari pementasan dihelat, calon pengunjung perlu mengisi formulir pendaftaran. Hal itu digunakan sebagai syarat menonton, meski tidak ada pungutan biaya yang dibebankan.
Bentuk Pengingat terhadap Wos Kehidupan
Memasuki ruang pementasan, suasana sakral tercipta dari iringan gamelan yang berasal dari pemutar suara. Samar-samar, seorang wanita muda berambut ikal duduk di pojok ruang mengkoordinasikan acara. Ani Setyarini namanya, sutradara lakon “Mertobat”.
Dibarengi dengan kegaduhan pengunjung yang berlalu-lalang memilih tempat duduk, Ani menjelaskan pemilihan slogan Anyaput Pedhut Agripto Laku Utomo. Tuturnya, kalimat tersebut bermakna menghilangkan hal-hal buruk dan menciptakan hal-hal yang baik. ”Ini kita sesuaikan dengan wos [arti], atau istilahnya amanat. Amanat dari naskah yang kita pakai.”
Mertobat mengusung naskah dari Ki Joko Krisnanto, seorang sutradara ketoprak dari Klaten, Jawa Tengah. Menurut Ani, lakon tersebut bertujuan untuk mengingatkan bahwa manusia yang berbuat salah ada kalanya bertobat dan tidak melakukan kesalahannya kembali. Di samping itu, kegiatan lakon ini juga digelar untuk merealisasikan salah satu program kerja UKM Kamasetra. ”Pentas warga itu adalah salah satu program kerja Kamasetra yang sudah tetap,” jelas Ani.
Selanjutnya, dengan bersemangat Ani menerangkan harapan yang ingin dicapai, yakni sebagai upaya meningkatkan kerukunan antaranggota. ”Semoga dengan adanya pentas ini kita juga bisa semakin rukun, menjaga kekompakan lagi. Apa yang bisa kita ambil dan pelajari dari pementasan ini nanti digunakan untuk kegiatan-kegiatan selanjutnya.”
Kala itu jelas terlihat sebagian dari panitia tengah berlalu-lalang mengarahkan penonton untuk segera menempati tempat duduknya. Tak lama dari kesibukan itu, disertai gumaman pengunjung yang bercengkrama, alunan gamelan dimatikan dan lampu mulai dipadamkan. Dalam gelap, sinden dan pengrawit mulai memasuki ruangan. Kemudian, lampu dihidupkan kembali dan para penabuh gamelan mulai mengalunkan musiknya.
Representasi Kisah Bertobat
”Dalan uriping manungsa sapa sing ngerti? Amung Gusti kang maha nguwasani. Lelakon kang wus kelakon ora bisa digetuni adile mung dilakoni lan nyuwun pangapura marang Gusti…”
Pembacaan sinopsis “Mertobat” oleh MC dengan bahasa Jawa itu menjadi tanda bahwa lakon akan dimulai. “Mertobat” mencoba menunjukkan jalan hidup manusia yang tidak diketahui siapapun selain Tuhan.
Ketika layar terbuka, adegan bercengkrama antara ketiga pria, disusul dengan lenggak-lenggok penari yang mengelilingi mereka menggambarkan keadaan suka ria. Nampaknya pesta tengah dihelat oleh sekumpulan perampok pria yang dipimpin oleh Panggiring, sang tokoh utama lakon ini.
Selang waktu, beberapa orang datang dengan menyeret lelaki bernama Adi Tambi. Adi Tambi merupakan korban perampokan yang berusaha melawan dan meminta hartanya dikembalikan. Ia diinterogasi, dipukuli, diteriaki dan ditanyai tentang daerah asalnya. ”Candisari. Aku seko Candisari,” rintih Adi Tambi.
Mendengar hal itu, Panggiring murka dan segera memerintahkan anak buahnya untuk melepaskan Adi Tambi. ”Wong iki uwalono, bondo rampasanmu balekno. Kowe kabeh tak ijoli bondo rampasanmu.”
Panggiring ternyata mengenali lelaki dari Candisari itu. ”Aku Panggiring, Lik. Bocah sing dilungakke karo bapakku kewalon. Perwito Candisari, kula Panggiring, Lik.”
Adi Tambi menimpali bahwa ia juga mengenali Panggiring, lalu menjelaskan kondisi desanya yang saat ini sedang membutuhkannya. ”Pangiring, Panggiring, opo kepeng Candisarimu iki mung dadi pengeling-eling? Desamu saiki lagi diperes karo wong-wong golongan ireng, Sekar Jagad. Butuh wong-wong sing sentoso, koyo koe.”
Adi Tambi mencoba membujuk Panggiring kembali ke desanya dan menemui ibunya. Akan tetapi, Panggiring menolak. ”Mboten, Lik Tambi, kula pun bacut nyempung ten jagad kula, Lik. Kula nitip simbok lan adi kula Bramanti.”
Panggiring digambarkan sebagai seorang bandit, perampok, dan pembunuh. Kehidupannya sarat akan kejahatan; jauh dari keluarga dan berkecimpung dalam dunia kelam. Namun, ia mulai bertobat setelah pertemuannya dengan Mbok Welas, sosok yang menolong tanpa menilai siapa dirinya.
Mbok Welas merupakan seorang janda tua yang telah kehilangan anaknya akibat dibunuh oleh Panggiring. Meskipun mengetahui pembunuh anaknya, Mbok Welas tidak menyimpan dendam dan memperlakukan Panggiring selayaknya anak sendiri.
Atas kebaikan tersebut, Panggiring menyesali perbuatannya. Ia meminta maaf dengan sungguh-sungguh kepada Mbok Welas, bertanya-tanya mengapa perempuan itu tetap menolong dirinya.
“Yen sampean wis ngerti, yen aku Panggiring sing wis mateni anakmu, geneya, geneya aku tok tulungi, Mbok? Geneya aku tok rumat? Geneya ora tok paneti aku wae, Mbok?” tangisnya penuh rasa sesal. ”Ngapuranen aku, Mbok.”
Dengan penuh ketulusan hati, Mbok Welas menerima maaf dan memberi kekuatan bagi Panggiring yang berniat untuk bertobat. ”Panggiring, Gusti maha welas asih; yen tulus mertobat lan ora baleni tumindakmu kui bakal ditampa.”
Bertekad untuk bertobat, Panggiring menemui Adi Tambi untuk menyampaikan keinginan kembali ke kampung halaman dan meminta maaf pada ibunya. ”Kula pengen wangsul Lik, kula pengen kumpul keluarga. Kula sampun mertobat, Lik Tambi, lan sampun sumpah ing ngarsaning Gusti niat kilar pakarti wangsul ing dalan kautaman lan ora bakal mangsuli tindakan kula ingkang ora bener.”
Pertobatan dan Penerimaan
Ketika Panggiring telah kembali ke Desa Sambisari, sang adik, Bramanti, menolak dengan tegas. “Aku ora sudi Kakang Panggiring bali!”
Pertengkaran hebat pun terjadi. Sang Ibu menangis karena tidak menginginkan perselisihan itu dan mencoba mendamaikan keduanya. Sementara, Bramanti tetap keras kepala mengajak Panggiring berkelahi. Akhirnya, demi menghindari perselisihan itu, Panggiring mengalah dan memilih pergi dengan langkah gontai mengiringi kesedihannya.
Adi Tambi geram melihat bebalnya Bramanti. Dengan nada tinggi, ia mengungkapkan fakta mengenai kepergian Panggiring dari Candisari kepada Bramanti, meski ditahan oleh Sang Ibu.
“Koe kelingan kapan panggiring lungo soko Candisari?” tanyanya dengan menggebu. Bramanti terdiam, tidak menjawab. Adi Tambi lantas menceritakan tentang Bramanti yang kepalanya terluka akibat batu pada usia 4 tahun. Panggiring kebingungan menolong adiknya yang bersimbah darah, tetapi ayah Bramanti justru tak peduli.
“Panggiring malah diajar, pungkasane Panggiring malah ditudung minggat soko desane soko omahe dewe,” ujar Adi Tambi. “Kui ngger yen koe pengen ngerti kepiye Panggiring iso keblasuk, ya kui mau.”
Mengetahui fakta itu, Bramanti lemas dan putus asa menyadari sikapnya yang keterlaluan pada sang kakak, Panggiring. Di tengah perasaan kalut itu, tiba-tiba terdengar suara minta tolong.
“Tulung! Tulung!” seorang pemuda desa tergopoh-gopoh datang. “Sekar Jagad menyerang Desa Candisari!”
Sekar Jagad adalah pemimpin perampok golongan ireng yang kerap merampok di Desa Candisari. Ia datang sebagai bentuk balas dendam setelah mengetahui anak buahnya terbunuh oleh Bramanti, saat berusaha melakukan perampokan. Bramanti bergegas menghadang Sekar Jagad dan perkelahian pun tak terhindarkan.
Dalam perkelahian itu, Sekar Jagad hampir membunuh Bramanti. Namun, hal itu diketahui oleh Panggiring, sehingga Bramanti terselamatkan. Pertikaian masih berlanjut dan Panggiring menjadi terancam oleh Sekar Jagad. Dengan sigap, Bramanti segera menyelamatkannya. Akhirnya, Sekar Jagad pun terhunus oleh pedang Bramanti.
Di akhir pertarungan tersebut, kedua bersaudara itu berbaikan. Bramanti yang telah mengetahui betapa besar rasa sayang sang kakak kepadanya lantas menerima kembali kehadiran Panggiring. Mereka meminta ampunan pada Sang Ibu dan Tuhan.
Suara parau tangisan sang ibu gemetar menyebut anak-anaknya. “Ngger, Ngger, Ngger.”
Sontak, kedua raut yang penuh akan linangan air mata, seketika bersimpuh pada lutut sang Ibu sambil merintih, “Mbok, ngapuranen aku, Mbok.”
Seluruh adegan tersebut diselimuti cahaya kebiruan, yang perlahan menghitam dan menjadi gelap. Tepat pukul 22.55 WIB, pertunjukan diiringi gema tepuk tangan penuh apresiasi dari penonton.
Barangkali permintaan ampun yang dilakukan merupakan perwujudan bahwa sejatinya makhluk tidak luput dari kesalahan, baik kepada Tuhan maupun antarsesamanya. Teguh, tegar dan tabah dalam bertaubat menjadi pegangan tatkala bertekad untuk kembali ke jalan kebajikan.
Annisa Fitriana
Editor: Nugrahani Annisa