Ekspresionline.com–Anak pinggiran, atau sering disebut anak jalanan, merupakan salah satu kelompok masyarakat yang rentan menjadi korban marginalisasi sosial. Mereka umumnya hidup dengan keterbatasan dalam aspek ekonomi dan sosial. Kondisi ini tak jarang menyebabkan mereka kesulitan dalam mendapatkan hak dasar kehidupan, baik sebagai manusia, anak-anak, anggota masyarakat, maupun sebagai warga negara.
Salah satu hak anak pinggiran yang kerap tak terpenuhi ialah pendidikan. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut, mulai dari persoalan individu, sosial, ekonomi, hingga politik. Persoalan ini dapat membawa pengaruh yang besar pada kualitas hidup anak-anak tersebut di masa depan.
Realitas Pendidikan Anak Pinggiran
Dafid Slamet Setiana, dosen Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Yogyakarta, mengartikan anak pinggiran sebagai anak yang kerap dianggap tak memiliki kejelasan tujuan dan peran bagi masa depan.
“[Anak pinggiran adalah] anak-anak yang sekiranya, oleh mayoritas orang, dipandang sebagai anak yang tidak memiliki kontribusi yang jelas berkaitan dengan proses kehidupan maupun orientasi kejelasan masa depan,” ujarnya ketika diwawancarai melalui Whatsapp, Selasa (9/5/2023).
Mirisnya, mereka juga mendapatkan labelling dan stereotipe atas kondisinya. “Pada sudut pandang ekstrem, ada yang menyebutkan sebagai sampah masyarakat. Banyak stereotipe terhadap mereka sebagai anak-anak yang membahayakan atau merugikan ekosistem kehidupan,” lanjut Dafid.
Tak hanya itu, anak-anak pinggiran juga dianggap membahayakan pihak tertentu. Imbasnya, posisi mereka dalam masyarakat pun semakin terpojokkan.
“[Beberapa orang beranggapan bahwa mereka] membahayakan ataupun merugikan orang-orang tertentu,” terang Dafid, “Jelas, hal tersebut menjadi faktor pemicu semakin keluarnya mereka dari zona kehidupan yang semestinya.”
Sebagaimana anak-anak pada umumnya, anak pinggiran juga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 5 menyebutkan bahwa tiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Pendidikan dasar juga menjadi hal yang wajib didapatkan oleh warga negara yang berusia 7 hingga 15 tahun, sebagaimana tercantum pada pasal 6.
Namun, fakta di lapangan justru menunjukkan situasi yang berbeda dari peraturan tersebut. Alih-alih mendapatkan pendidikan bermutu, sekadar pendidikan dasar berupa kemampuan baca, tulis, dan hitung pun belum tentu diterima.
Keadaan ini semakin diperparah dengan permasalahan ekonomi yang melilit anak pinggiran. Akibatnya, anak pinggiran kerap menghabiskan banyak waktu untuk mencari nafkah membantu orang tuanya. Alhasil, waktu mereka untuk mengenyam pendidikan pun terpotong, bahkan terbuang.
“Anak-anak jalanan harus menghabiskan banyak waktu di jalan untuk bekerja membantu orang tua mereka dan menjadi tulang punggung keluarga,” ungkap Dafid. “Padahal, mereka pun membutuhkan pendidikan yang layak, sama seperti anak-anak pada umumnya.”
Lebih lanjut, anak-anak pinggiran perlu mendapatkan perhatian lebih dalam bidang pendidikan, karena kehidupan mereka yang rentan mendapat pengaruh-pengaruh negatif. Dafid berujar, “Anak-anak [pinggiran] yang menjadi penerus bangsa ini selayaknya mendapatkan pendidikan lebih karena keberadaan mereka sangat dekat dengan kriminalitas.”
Sekolah Alternatif bagi Anak Pinggiran
Guna memenuhi kebutuhan pendidikan bagi anak pinggiran, tumbuhlah sekolah-sekolah yang memberikan pendidikan alternatif bagi mereka. Sekolah-sekolah ini berdiri secara swadaya, tanpa mengandalkan sokongan dana dari pemerintah. Salah satunya ialah Komunitas Sekolah Marjinal (KSM) di Tambak Bayan, Kelurahan Catur Tunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman.
KSM mulai berdiri sejak November 2019. Awalnya, komunitas ini beroperasi di Kledokan, Kelurahan Catur Tunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman. Di sana, mayoritas warganya bekerja sebagai pemulung. Anak-anaknya mengikuti orang tuanya mencari nafkah dan tidak mendapatkan pendidikan formal. Berangkat dari hal tersebut, KSM mencoba untuk memberikan pendidikan dasar bagi anak-anak pemulung.
“Jadi, kami masuk ke masyarakat sana dan melihat bahwa ada urgensi di wilayah itu. Warganya bekerja sebagai pemulung dan anak-anak di sana ikut memulung bersama orang tuanya. Ternyata, anak-anaknya enggak mendapat pendidikan formal,” terang Jefferson Davids Soasa, ketua KSM, pada Senin (8/5/2023).
“Akhirnya, [kami] masuk ke sana, diusahakan [anak-anaknya] untuk mendapat pendidikan,” lanjut laki-laki yang kerap disapa Jeper ini.
Namun, pemukiman warga pemulung yang berada di Kledokan itu digusur pada Mei 2022 lalu. Mereka dipindahkan ke daerah Tambak Bayan dan bermukim di sana hingga saat ini, sehingga KSM pun turut pindah ke tempat yang sama.
Faktanya, di lingkungan yang baru, pengelola KSM melihat bahwa anak-anak warga asli Tambak Bayan juga membutuhkan sokongan pendidikan. Oleh karena itu, fokus KSM pun meluas; tak hanya mengajar anak-anak gusuran, tetapi juga anak-anak warga asli di sana.
“Jadi sekarang targetnya bukan [hanya] anak-anak bekas penggusuran, tapi juga ada warga lokal,” tutur Jeper.
Tantangan dalam Pendidikan Anak Pinggiran
Dalam memberikan pendidikan bagi anak-anak pinggiran, banyak tantangan yang perlu dihadapi. Salah satunya datang dari orang tua yang kurang menghendaki anaknya untuk bersekolah.
“[Beberapa] orang tua belum mendukung untuk anaknya mendapatkan pendidikan formal. Tapi kami usahakan untuk kasih pengertian ke orang tuanya, bahwa pendidikan itu penting,” ujar Jeper.
Keengganan orang tua untuk menyekolahkan anaknya bukannya tanpa alasan. Terdapat faktor ekonomi dan kultur yang mendorong munculnya pola pikir bahwa anak sebaiknya membantu mereka bekerja dibandingkan bersekolah. Hal itu didasari pada keterbatasan mereka untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
“Masalahnya bukan sebatas pada masalah ekonomi, tapi ternyata ada kultur dan struktur yang menopang masalah kemiskinan mereka,” ujar Jeper.
“Mereka [para orang tua] merasa bahwa kebutuhan primer mereka belum terpenuhi melalui pekerjaan biasa. Maka dari itu, anak-anak yang harusnya mendapatkan pendidikan formal akhirnya dialihkan untuk bekerja memenuhi kebutuhan sehari-hari,” lanjutnya.
Oleh sebab itu, KSM berusaha untuk mengubah pola pikir tersebut dengan memberikan pemahaman tentang pentingnya pendidikan formal melalui sosialisasi kepada warga. Sosialisasi tidak dilakukan secara ramai-ramai, tetapi dengan pendekatan secara pribadi melalui kunjungan ke rumah warga satu per satu.
“Kami sekarang mulai rutin untuk mengunjungi satu per satu warga. Kami tanya, permasalahan anak-anak sekarang apa, sih?” ujar Jeper.
Melalui cara tersebut, KSM mampu mengetahui permasalahan yang berubah seiring berjalannya waktu. Selain itu, KSM juga dapat membangun hubungan yang baik dengan warga untuk merancang program sesuai kebutuhan dan kondisi yang terjadi.
Tantangan Meraih Pendidikan Formal
Meskipun KSM menjalankan sistem pendidikan nonformal, mereka tetap mendukung siswa-siswanya untuk mengenyam pendidikan secara formal. Dukungan tersebut diwujudkan dengan membantu siswanya untuk mendaftar ke sekolah formal.
“Kami mengusahakan [anak-anak] dapat pendidikan formal,” tegas Jeper.
Namun, karena umur siswa di KSM beragam, terdapat beberapa anak yang terlambat satu hingga tiga tahun di pendidikan formal. Langkah yang dilakukan ialah mengarahkan siswa untuk mengikuti sistem kejar paket di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
“Jadi, mungkin umurnya sudah SMP tapi mereka belum dapat pendidikan formal di SD. Nah, itu ada sistemnya kejar paket, [lewat] sistem PKBM,” terang Jeper.
Di samping itu, Jeper mengungkapkan bahwa terdapat kendala dalam mendaftarkan siswa di sekolah formal. Syarat administratif menjadi salah satunya. Pasalnya beberapa warga tidak memiliki data kependudukan, sehingga tidak dapat mendaftar ke sekolah formal.
“[Ada beberapa warga yang] KTP [dan] kartu keluarganya enggak ada,” ujarnya.
Ketidaklengkapan administrasi kependudukan tersebut juga menyebabkan terhambatnya akses warga terhadap fasilitas yang disediakan pemerintah. Menurut Jeper, keberadaan data kependudukan ini sangat penting bagi orang-orang yang terpinggirkan dan akan membantu mereka mengakses fasilitas bantuan kesejahteraan dari pemerintah.
“Kalau dapat data kependudukan, mereka harusnya dapat akses kesehatan [dan] pendidikan melalui data kependudukan ini. Tapi, mereka enggak dapat,” katanya.
Oleh sebab itu, KSM mulai melakukan advokasi mengenai kependudukan bagi warga setempat untuk membantu mereka mendapatkan akses yang lebih baik ke layanan pendidikan dan kesehatan dari pemerintah.
“Mulai dari sekarang, kami sudah mau advokasi untuk kependudukan di sini,” terang Jeper.
Selain itu, KSM juga berencana untuk membangun Posyandu untuk memberikan dukungan pada bidang kesehatan.
“Jadi, kami sudah mulai membangun Posyandu di sini,” ujar Jeper. “Karena kami tahu bahwa [warga] di sini mungkin enggak mendapatkan pengetahuan dan akses kesehatan yang kami dapatkan.”
Pendidikan yang Tepat bagi Anak Pinggiran
Pendidikan bagi anak pinggiran, baik formal maupun nonformal, penting untuk terjamin pelaksanaannya. Hal tersebut, menurut Dafid, merupakan tanggung jawab semua pihak. Tak hanya pemerintah, tapi juga seluruh masyarakat.
“Yang memiliki tanggung jawab [untuk menjamin pendidikan anak pinggiran] adalah kita semua,” ujar Dafid. “Jika kita semua saling mendukung, akan dimungkinkan terjadi perubahan pada pola pikir berakibat positif pada kehidupan mereka [anak pinggiran] ke depannya.”
Pendidikan yang diberikan pun seyogyanya memiliki nilai kebermaknaan yang memberikan manfaat bagi kehidupan mereka. Tak hanya mengajarkan pengetahuan, tapi juga mengajarkan nilai-nilai kehidupan.
Menurut Dafid, perancangan pendidikan bagi anak pinggiran harus menjadikan kemiskinan sebagai titik pangkal. Hal ini disebabkan persoalan kemiskinan yang ada dalam hidup mereka merupakan suatu problem yang bersifat terus-menerus dan berlangsung dari generasi ke generasi.
Titik pangkal itu dimanifestasikan dalam berbagai aspek yang perlu dicakup dalam pendidikan bagi anak pinggiran. Aspek tersebut meliputi aspek konatif, kognitif, dan pengembangan kesadaran.
“Konatif yaitu pengembangan tekad untuk keluar dari belenggu kemiskinan, kognitif yaitu pemahaman sifat kemiskinan dan aspek etika sosial, dan pengembangan kesadaran adanya jalan yang baik dan kurang baik untuk keluar dari kemiskinan,” terang Dafid.
Akan tetapi, saat ini pendidikan anak-anak pinggiran masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Tidak terpenuhinya kebutuhan pendidikan itu berdampak pada ketertinggalan anak pinggiran dalam memperoleh ilmu pengetahuan hingga mengalami putus sekolah
“Sesungguhnya pemerintah harus selalu memberikan kontribusi yang layak terhadap pendidikan anak jalanan, guna memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan, pendidikan moral, maupun pendidikan agama yang memadai,” pungkas Dafid.
Nugrahani Annisa
Reporter: Annisa Fitriana, Feninda Rahmadiah, Nugrahani Annisa
Editor: Annisa Fitriana & Feninda Rahmadiah